Selasa, 23 November 2010

Islam: Sebuah Paradigma Yang Terbuka

Melihat judul tulisan di atas nampaknya kita harus kembali beberatus tahun ke belakang. Sekitar abad ke-8 sampai abad ke-15an, saat masa pemerintahan dinasti Abbasiah ilmu pengetahuan Islam mencapai puncaknya sehingga sering disebut zaman emas Islam. Sebagai contoh, Seorang dari Khalifah-khalifah yang sangat berbakti dalam mewujudkan Kebudayaan Islam saat itu, ialah Khalifah Al-Mansur, Khalifah yang kedua dari dinasti Abbassiah. Khalifah Al-Mansur adalah seorang yang saleh, taat beragama, ahli dalam ilmu fiqh, sangat menyukai ilmu pengetahuan, terutama ilmu astronomi dan ilmu kedokteran. Para ahli ilmu pengetahuan dengan tidak memandang agama, sama-sama bekerja diistananya dengan mendapatkan nafkah, yang tentunya tidak kecil. Diantaranya ialah Maubacht, ahli astronomi dari Persia, awalnya ia beragama Majusi, kemudian masuk Islam dengan disaksikan sendiri oleh Al-Mansur. Para ahli ini terus-menerus tinggal diistana Khalifah sampai anak cucunya, bekerja memperdalam ilmu astronominya. Melihat begitu besarnya minat Khalifah Al-Mansur memajukan ilmu astronomi tersebut, berdatanganlah ahli ilmu dari India, Persia, Romawi berkumpul di Bagdad, bekerja dengan sungguh-sungguh menuntut ilmu tersebut, dibawah perlindungan pemerintahan Islam, Kitab-kitab lama yang sudah terbenam kedalam jurang kegelapan dinegeri Romawi, diminta oleh Khalifah Al-Mansur supaya diterbitkan kembali isinya yang berharga tersebut.
Dengan jalan beginilah banyak ilmu-ilmu yang berharga, yang hampir lenyap dari muka bumi, kembali terpelihara. Berikut merupakan kitab-kitab yang telah dipelajari dan diterjemahkan oleh para ahli Islam di zaman itu, antara lain adalah kitab ketatanegaraan dari Plato, kitab-kitab matematika dari Euclydes dan beberapa kitab astronomi dari Ptolemeus. Malahan ada beberapa kitab yang sampai sekarang tidak ketemu lagi aslinya, selain hanya dapat diketahui dari terjemahan kedalam bahasa Arab, buah karya penulis Islam dimasa “zaman terjemahan" tersebut.
Saat orang-orang di Barat mengharamkan mempergunakan akal, mereka memburu dan membunuh seorang yang bernama Galileo Galilei, karena ia pernah menyampaikan bahwa bumi ini berputar. Hal ini berbeda dengan Islam diwaktu itu, masyarakat Islam berkeyakinan bahwa memajukan ilmu dan kebudayaan pada umumnya merupakan kewajiban setiap individu. Pemerintah mencari, memanggil dan melindungi para ahli ilmu dan seni dari berbagai pihak dan bermacam-macam agama. Disaat agama lain menjaga agar agamanya tidak rusak dengan melarang pemeluknya membaca kitab yang berisi keyakinan lain dan lantas memasukkan kitab-kitab yang berbahaya tersebut kedalam daftar kitab-kitab yang tak boleh dibaca oleh pemeluknya, Islam dizaman keemasan itu memerintahkan untuk menterjemahkan kitab-kitab dari ber-macam- macam agama dan mazhab yang ada pada masa itu, agar dapat dipelajai oleh semua ahli ilmu dari kaum Muslim. Merka tak enggan menerima kebenaran walaupun berasal dari pihak lain, tak takut menolak kebatilan se-sudah diperiksa dan diselidiki, walaupun berasal dari pihak sendiri.
Ditangan Islam lahirlah kembali kebudayaan-kebudayaan yang hampir hilang dan timbullah satu ruh kebangkitan “renaissance", yakni 600 tahun lebih dulu dari renaissance di Eropa Barat yang lahir pada abad ke 15 itu. Dari uraian di atas Menurut Natsir ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Muslim saat ini yaitu:
1. Agama Islam menghormati akal manusia dan mendudukkan akal tersebut pada tempat yang terhormat serta memerintahkan agar manusia mempergunakan akal tersebut untuk menyelidiki keadaan alam.
2. Agama Islam mewajibkan pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan, menuntut ilmu. „Tuntutlah ilmu dari buaian sampai keliang lahad", sabda Nabi Muhammad S.A.W.
3. Agama Islam melarang bertaklid-buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama atau dari ibu-bapak dan nenek-moyang sekalipun. Dan janganlah engkau turut apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan atasnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan ditanya tentang itu. (Q.s. Bani Israil: 36.)
4. Agama Islam menyuruh memeriksa kebenaran, walaupun datangnya dari kaum yang berlainan bangsa dan kepercayaan.
5. Agama Islam membiasakan dan menganjurkan pemeluknya pergi meninggalkan kampung halaman berjalan kenegeri lain, menghubungkan silaturrahim dengan bangsa dan golongan lain, saling bertukar pendapat dan pandangan. Wajib atas tiap* Muslimi yang mampu, pergi sekurangnya sekali seumur hidupya mengerjakan haji. Pada saat itulah terdapat suatu pertemuan yang akrab antara segenap bangsa dan golongan diatas dunia ini. Keadaan itu menimbulkan perhubungan persaudaraan dan perhubungan kebudayaan (akulturasi) yang sangat penting artinya untuk kemajuan tiap-tiap bangsa.
Itu sebabnya, sekali lagi kita tidak dapat bersikap dikotomis karena sikap seperti itu hanya akan menjadikan kita ekslusif. Tampaknya kita perlu terus menyadari bahwa kita mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia. Itu artinya kita tidak membangun dari sebuah vacuum. Semua peradaban dan semua agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang sejarah. Oleh karena itu, hampir tidak mungkin kita bersikap eksklusif. Sikap seperti itu adalah sikap yang a-historis dan tidak realistis.
Dalam bidang ilmu dan teknologi, kita tidak boleh bersikap tertutup. Sekalipun kita yakin bahwa Islam itu bukan Timur dan bukan pula Barat, ini tidak berarti kita harus menutup diri dari keduanya. Bagaimanapun Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban Dunia. Dalam sejarah kita melihat Islam mewarisi peradaban intelektual Yunani-Romawi di Barat, dan peradaban-peradaban Persia, India, dan Cina di Timur. Selama abad ke-7 sampai abad ke-15, ketika peradaban-peradaban besar di Barat dan Timur itu tenggelam dan mengalami kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian diambil alih oleh peradaban Barat sekarang melalui Renaisans. Jadi, islam menjadi mata rantai yang penting dalam sejarah peradaban dunia. Dalam kurun selama delapan abad itu, Islam bahkan mengembangkan warisan-warisan ilmu pengetahuan dan teknologi dari peradaban-peradaban tersebut.
Banyak contoh yang dapat dijadikan bukti tentang peranan Islam sebagai mata rantai peradaban dunia. Islam misalnya mengembangkan matematika India, ilmu kedokteran dari Cina, sistem pemerintahan Sasanid (Persia), logika Yunani, dan sebagainya. Tentu saja dalam proses peminjaman dan pengembangan itu terjadi dialektika internal. Jadi, misalnya untuk bidang-bidang pengkajian tertentu Islam menolak logika Yunani yang sangat rasional dan menggantikannya dengan cara berfikir intuitif yang lebih menekankan rasa seperti yang dikenal dalam tasawuf. Ini merupakan suatu proses yang wajar. Dengan proses ini pula Islam tidak skadar mewarisi, tapi juga melakukan enrichment dalam subtansi dan bentukntya. Melalui inilah, Islam akhirnya mampu menyumbangkan warisan-warisannya sendiri yang autentik.

Senin, 15 November 2010

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintangan untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah …

Anda pasti tahu kelanjutan syair lagu diatas, atau setidaknya pernah mendengar lagu tersebut. Iwan Fals dengan begitu puitis namun gamblang menggambarkan beratnya kehidupan yang harus dijalani seorang ibu demi mendidik dan membesarkan buah hatinya, Kita!

Mari hadirkan kembali wajah sang ibu dalam bayangan kita, dengan seizin Allah genangan air mata akan membanjiri kelopak mata yang mungkin sudah sekian lama kita biarkan tak menyapanya. Kerut di pipinya mengisyaratkan kelelahan yang sangat, tenaga yang mulai habis dimakan waktu seolah tak lagi sanggup sekedar mengangkat tubuh rapuhnya. Di bola matanya, nampak jelas guratan berat kehidupan yang telah dilaluinya. Semua itu, dilakukannya hanya untuk kita, yang dicintainya.

Cinta anak sepanjang gala, cinta ibu sepanjang masa. Pepatah yang biasa kita dengar untuk melukiskan betapa kita, anak-anak ibu, tidak akan pernah sanggup membayar (berapapun dan dengan apapun) cinta yang pernah diberikannya. Huwaish al Qorni, sahabat Rasulullah, rasa ingin membalas cinta sang ibu membuatnya rela ingin menggendong ibunya pulang pergi ibadah haji. Bahkan sahabat lain, dilarang pergi berperang bersama Rasul, lantaran tidak ada yang mengurus ibunya yang sudah renta. “rawat dan layani ibumu,” perintah Rasul kepada pemuda itu.

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun… (QS. Lukman:14). Bahkan dalam ayat lain, begitu tegas Allah menekankan dan mengingatkan kesusahan ibu saat mengandung serta memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada ibu (QS.Al-Ahqaf:15).

Ketika Nabi SAW ditanya tentang siapa yang paling patut dihormati dan diperlakukan sebaik-baiknya, Nabi menjawab: “Ibumu”. Dan hal itu diulangnya sampai tiga kali, sebelum ia menyebut “bapakmu”. Dalam hadits lain yang masyhur, Nabi SAW berkata bahwa surga terletak dibawah telapak kaki kaum ibu.

Dalam perjalanan bersama ibu, perlakuan kasar kerap kita layangkan kepadanya. “Uf”, “ah,” “cis” menjadi kosa kata yang biasa terlontar dari mulut kotor ini. Tak pernah kita menghargai keringatnya kala menyiapkan sarapan dan makan malam. Andai kita tahu, air matanya tak pernah kering di pertengahan malam, kala ia mengadu kepada Allah perihal anak-anaknya. Bibirnya tak pernah berhenti berdo’a agar kita menjadi anak yang bisa dibanggakan. Tak peduli darah menjadi penghias kakinya demi menghantarkan sang buah hati menggapai cita.

Sekarang, imbalan apa yang diterima ibu dari anak-anak yang mungkin kinipun sudah beranak. Tidak jarang kesibukan kerja dan keluarga membuat kita melupakannya. Bahkan mungkin rasa cinta kepada istri dan anak-anak mengikis habis cinta kepada ibu (tentu cinta kepada Allah dan Rasulullah diatas segalanya). Tak sedikit waktu kita luangkan sekedar untuk tahu keadaannya, meski handphone tak pernah lepas dari tangan.

Sekarang, Kita semakin sombong, seolah tak membutuhkannya. Terlebih saat senang dan berkecukupan. Tak sadar kita, ia begitu ikhlas atas air susu dan keringatnya.

Begitu banyak masalah kehidupan kita hadapi. Terkadang kita mengeluh, putus asa, tidak tahan dengan berbagai cobaan yang menerpa. Tak sadar, semua yang kita alami saat ini sesungguhnya pernah dilalui ibu, dan berhasil!

Kita terlalu lemah, cengeng dan selalu merasa kalah dalam mengarungi bahtera hidup. Padahal sering kita memandang sebelah mata ‘kekuatan’ ibu yang sudah renta. Tak sadar kita, garis wajahnya jelas-jelas memancarkan kekuatan teramat dahsyat.

Ia hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia, meski ia tidak sebahagia yang kita bayangkan. Tak sadar, sesungguhnya kita butuh kembali kepadanya, memandangi keteduhan wajahnya, membelai tangan keriputnya, menciumi kakinya dan meminta do’anya.

Ingin ku dekap dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu do’a-do’a baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas, Ibu …

NenekPemungut Daun Sampah

Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan.

Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.
Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. "Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu, "Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya."

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa.
Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.

Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya."

BELAJAR DARI IBRAHIM

Wah dah Idhul adha ni...klo gini jadi keingetan sate,gule,dan program pa,bahan gizini....tapimungkin ada yang lebih dari semuanya tu..ya jadi keingetan Nabi Ibrahim A.S...bapaknya para Nabi yang sangat bertakwa pada Allah SWT...ya bener...nabi Ibrahim sangat bertakwa pada Allah SWT....saat mendapat perintah dari AllahSWT Nabi Ibrahin ndak banyak komentar,ndak banyak tanya kaya orang2 Yahudi...tapi langsung aja perintah tsb dilaksanakan...ya Belajar dari Ibrahim...belajar Bertakwa Kepada Allah SWT.....