Selasa, 15 November 2016

Kebangsaan Dengan Dasar Islam*



Syukur Alhamdulillah dengan cucuran darah dan air mata telah kita beli kemerdekaan ini sehingga kita mempunyai sebuah Negara yang besar, mungkin ke-6 yang terbesar di dunia ini. Salah satu dasar yang kita pilih ialah kebangsaan. Seperti pepatah lama, “Yang di awak segala benar, yang di orang segala bukan", rasa kebangsaan bisa menjadi kekuatan namun bisa juga menjadi chauvinism kebangsaan yang sempit. Rasa kebangsaan dapat menimbulkan “Hitler-isme” dan hal tersebutlah yang menghancurkan Jerman.



Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, yang masing-masing mempunyai kemegahannya sendiri, mempunyai “dongeng” masing-masing tentang kebesaran nenek moyangnya, serta pahlawan khayal mereka. Jika orang Jawa membanggakan Gajah Mada, Minangkabau mempunyai Cindur Mata, serta Melayu dengan Hang Tuah-nya. Menjadi suatu kebiasaan, walaupun “pahlawan khayal” tersebut telah lama meninggal dibuatlah berbagai macam dongeng sehingga mereka berubah dari manusia biasa menjadi layaknya dewa. Oleh karena itu, kebangsaan yang demikian dapat memecah persatuan serta merenggut kemerdekaan yang telah kita capai.



Tidaklah keluar dari koridor ilmu sejarah, apabila dikatakan bahwa Islam ikut menanamkan rasa kebangsaan yang ada sekarang ini sejak ratusan tahun yang lalu. Islam menekankan pentingnya rasa pengabdian di mana saja kita tinggal. Tidaklah ditanya apa suku bangsanya melainkan amal serta perbuatannya. Berkali-kali sejarah menunjukan bahwa orang dari daerah lain dapat menjadi besar dalam suatu negeri di seluruh kepulauan Indonesia ini meskipun nama Indonesia belum dikenal pada saat itu.



Maulana Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, merupakan keturunan campuran Arab dan Aceh yang menyebarkan Islam di Jawa Barat serta mendirikan kerajaan Banten dan Cirebon. Ki Gedeng Suro, seorang bangsawan Demak. Ia melarikan diri ke Palembang ketika terjadi kekacauan di Demak dan diangkat menjadi Raja pertama di Kerajaan Palembang. Orang-orang melayu dari Malaka yang terpaksa meninggalkan tanah airnya, karena serangan Portugis pada tahun 1511, mereka kemudian mengembara sampai ke Sulawesi dan menyiarkan Islam di Makasar. Mereka sangat dihormati sebagai saudara dan gelar “incek” masih digunakan oleh para keturunan Melayu di Makasar sampai saat ini. Demikian juga dengan kerajaan Goa dan Tallo secara resmi menerima Islam pada tahun 1603 yang dibawa oleh para Muballigh dari Minangkabau. Mereka diterima dengan tangan terbuka, karena yang mereka bawa bukanlah permusuhan, melainkan “Nur Cahaya Illahi”.



Hangatnya nafas Islam telah menjalar pada seluruh rongga jiwa masyarakat Bugis dan Makasar. Maka, setelah Bugis dan Makasar dapat dikuasai oleh VOC, merekapun berlayar mengembara ke seluruh Indonesia, kadang kala menghalangi perjalanan kapal-kapal VOC, di lain waktu menjadi penyiar agama Islam. Karaeng Galesong pergi ke Madura, disambut dan diterima dengan baik bahkan dijadikan mantu oleh Trunojoyo. Mereka berdua kemudian berjuang bersama menghadapi VOC. Syekh Yusuf Taju’l Khalwati mengembara dari Makasar sampai ke Banten, diterima menjadi Mufti Kerajaan Banten dan ikut berjuang melawan VOC bersama Sultan Ageng Tirtayasa. “Si Untung” dianugrahi gelar bangsawan “Surapati” oleh Sultan Cirebon, dan juga gelar “Wironegoro” oleh sultan Amangkurat Mataram, meskipun dia bekas budak dan kafir penyembah berhala dari Bali. Tetapi karena dia menjadi muallaf dan berjuang melawan VOC untuk kemerdekaan, maka dia diterima menjadi bangsawan Jawa.



Setelah hilangnya garis keturunan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, beberapa kali keturunan Arab menjadi Sultan di Aceh, bahkan sampai empat kali. Selain Aceh, Siak, Pontianak dan Perlis juga mengangkat keturunan Arab menjadi Sultan mereka. Dan setelah keturunan Arab juga mengalami kepunahan, maka keturunan Bugis menggantikannya menjadi Raja di Aceh, bahkan sejak tahun 1870 secara turun temurun tujuh Raja Aceh yang melawan VOC ialah keturunan Bugis. Dan perlu diketahui Sultan Deli merupakan keturunan Raja-raja Moghul di India.



Islam tidak membedakan antara keturunan Arab, dengan budak dari Bali, dan para penjelajah lautan dari Bugis, semuanya diterima dengan “ahlan wasahlan”. Bukan bangsa dan keturunan, tetapi bakti, jasa dan tujuan hidup yang dihitung dalam Islam. Inilah pusaka nenek moyang, warisan ajaran Islam yang harus kita pegang teguh untuk menegakkan kebangsaan Indonesia saat ini. Janganlah kita kembali ke jaman “jahiliyah”, dengan membuka luka lama yang dapat menimbulkan sakit hati dan dendam.



Dengan bertambah mendalam kefanatikan Islam di suatu daerah, harusnya bertambah lapang dadanya menerima “tetamu”, meskipun ia seorang Kristen. Perlu diingat pada masa perjuangan kemerdekaan saat IJ Kasimo yang beragama Khatolik, jalan dari desa ke desa bersama Dr. Soekiman, walaupun masyarakat tahu bahwa beliau seorang Khatolik, namun masyarakat tetap menghormati beliau layaknya pernghormatan masyarakat kepada pak Soekiman. Hingga terlontar candaan dari pak Kasimo, “ah! Biarlah saya menjadi penasehat Masyumi saja”. Saat Hoetasoit dan Ir. Sitompul ikut mengungsi ke Minangkabau pada masa Agresi Militer Belanda ke-II, mereka disambut layaknya menyambut keluarga sendiri, meskipun masyarakat tahu mereka beragama Kristen.



Demikian murninya ajaran Islam, yang memandang orang karena amal dan perbuatannya, bukan karena sukubangsanya, maka sudah seharusnya kita kembali kepada ajaran tersebut di dalam membina kebangsaan kita saat ini.



NB: lihat Hamka (1982). Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Pustaka Panjimas