Syukur Alhamdulillah dengan
cucuran darah dan air mata telah kita beli kemerdekaan ini sehingga kita
mempunyai sebuah Negara yang besar, mungkin ke-6 yang terbesar di dunia ini. Salah
satu dasar yang kita pilih ialah kebangsaan. Seperti pepatah lama, “Yang di awak segala benar, yang di orang segala
bukan", rasa kebangsaan bisa menjadi kekuatan namun bisa juga menjadi
chauvinism kebangsaan yang sempit. Rasa kebangsaan dapat menimbulkan
“Hitler-isme” dan hal tersebutlah yang menghancurkan Jerman.
Indonesia
terdiri dari berbagai macam suku bangsa, yang masing-masing mempunyai
kemegahannya sendiri, mempunyai “dongeng” masing-masing tentang kebesaran nenek
moyangnya, serta pahlawan khayal mereka. Jika orang Jawa membanggakan Gajah
Mada, Minangkabau mempunyai Cindur Mata, serta Melayu dengan Hang Tuah-nya.
Menjadi suatu kebiasaan, walaupun “pahlawan khayal” tersebut telah lama
meninggal dibuatlah berbagai macam dongeng sehingga mereka berubah dari manusia
biasa menjadi layaknya dewa. Oleh karena itu, kebangsaan yang demikian dapat
memecah persatuan serta merenggut kemerdekaan yang telah kita capai.
Tidaklah keluar
dari koridor ilmu sejarah, apabila dikatakan bahwa Islam ikut menanamkan rasa kebangsaan
yang ada sekarang ini sejak ratusan tahun yang lalu. Islam menekankan
pentingnya rasa pengabdian di mana saja kita tinggal. Tidaklah ditanya apa suku
bangsanya melainkan amal serta perbuatannya. Berkali-kali sejarah menunjukan
bahwa orang dari daerah lain dapat menjadi besar dalam suatu negeri di seluruh
kepulauan Indonesia ini meskipun nama Indonesia belum dikenal pada saat itu.
Maulana Hidayatullah
atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, merupakan keturunan campuran
Arab dan Aceh yang menyebarkan Islam di Jawa Barat serta mendirikan kerajaan
Banten dan Cirebon. Ki Gedeng Suro, seorang bangsawan Demak. Ia melarikan diri
ke Palembang ketika terjadi kekacauan di Demak dan diangkat menjadi Raja
pertama di Kerajaan Palembang. Orang-orang melayu dari Malaka yang terpaksa
meninggalkan tanah airnya, karena serangan Portugis pada tahun 1511, mereka
kemudian mengembara sampai ke Sulawesi dan menyiarkan Islam di Makasar. Mereka
sangat dihormati sebagai saudara dan gelar “incek” masih digunakan oleh para
keturunan Melayu di Makasar sampai saat ini. Demikian juga dengan kerajaan Goa
dan Tallo secara resmi menerima Islam pada tahun 1603 yang dibawa oleh para
Muballigh dari Minangkabau. Mereka diterima dengan tangan terbuka, karena yang
mereka bawa bukanlah permusuhan, melainkan “Nur Cahaya Illahi”.
Hangatnya nafas
Islam telah menjalar pada seluruh rongga jiwa masyarakat Bugis dan Makasar.
Maka, setelah Bugis dan Makasar dapat dikuasai oleh VOC, merekapun berlayar
mengembara ke seluruh Indonesia, kadang kala menghalangi perjalanan kapal-kapal
VOC, di lain waktu menjadi penyiar agama Islam. Karaeng Galesong pergi ke
Madura, disambut dan diterima dengan baik bahkan dijadikan mantu oleh
Trunojoyo. Mereka berdua kemudian berjuang bersama menghadapi VOC. Syekh Yusuf
Taju’l Khalwati mengembara dari Makasar sampai ke Banten, diterima menjadi
Mufti Kerajaan Banten dan ikut berjuang melawan VOC bersama Sultan Ageng
Tirtayasa. “Si Untung” dianugrahi gelar bangsawan “Surapati” oleh Sultan
Cirebon, dan juga gelar “Wironegoro” oleh sultan Amangkurat Mataram, meskipun
dia bekas budak dan kafir penyembah berhala dari Bali. Tetapi karena dia
menjadi muallaf dan berjuang melawan VOC untuk kemerdekaan, maka dia diterima
menjadi bangsawan Jawa.
Setelah
hilangnya garis keturunan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, beberapa
kali keturunan Arab menjadi Sultan di Aceh, bahkan sampai empat kali. Selain
Aceh, Siak, Pontianak dan Perlis juga mengangkat keturunan Arab menjadi Sultan
mereka. Dan setelah keturunan Arab juga mengalami kepunahan, maka keturunan
Bugis menggantikannya menjadi Raja di Aceh, bahkan sejak tahun 1870 secara
turun temurun tujuh Raja Aceh yang melawan VOC ialah keturunan Bugis. Dan perlu
diketahui Sultan Deli merupakan keturunan Raja-raja Moghul di India.
Islam tidak
membedakan antara keturunan Arab, dengan budak dari Bali, dan para penjelajah
lautan dari Bugis, semuanya diterima dengan “ahlan wasahlan”. Bukan bangsa dan
keturunan, tetapi bakti, jasa dan tujuan hidup yang dihitung dalam Islam.
Inilah pusaka nenek moyang, warisan ajaran Islam yang harus kita pegang teguh
untuk menegakkan kebangsaan Indonesia saat ini. Janganlah kita kembali ke jaman
“jahiliyah”, dengan membuka luka lama yang dapat menimbulkan sakit hati dan
dendam.
Dengan bertambah
mendalam kefanatikan Islam di suatu daerah, harusnya bertambah lapang dadanya
menerima “tetamu”, meskipun ia seorang Kristen. Perlu diingat pada masa
perjuangan kemerdekaan saat IJ Kasimo yang beragama Khatolik, jalan dari desa
ke desa bersama Dr. Soekiman, walaupun masyarakat tahu bahwa beliau seorang
Khatolik, namun masyarakat tetap menghormati beliau layaknya pernghormatan
masyarakat kepada pak Soekiman. Hingga terlontar candaan dari pak Kasimo, “ah! Biarlah
saya menjadi penasehat Masyumi saja”. Saat Hoetasoit dan Ir. Sitompul ikut
mengungsi ke Minangkabau pada masa Agresi Militer Belanda ke-II, mereka
disambut layaknya menyambut keluarga sendiri, meskipun masyarakat tahu mereka
beragama Kristen.
Demikian murninya
ajaran Islam, yang memandang orang karena amal dan perbuatannya, bukan karena
sukubangsanya, maka sudah seharusnya kita kembali kepada ajaran tersebut di
dalam membina kebangsaan kita saat ini.
NB: lihat Hamka (1982). Dari Perbendaharaan Lama.
Jakarta: Pustaka Panjimas