Selasa, 11 Februari 2014

Meluruskan Demokrasi

Oleh: Yudi Latief
Kompas, 21 Januari 2014

DEMOKRASI sudah gagal bahkan sebelum dijalankan. Akar dari segala akar kegagalan demokrasi adalah kekeliruan pemahaman. Berpuluh-puluh tahun lalu ratusan buku dan dunia akademik mengajarkan bahwa demokrasi berasal dari akar kata demos (rakyat) dan kratos/cratein (pemerintahan), dengan menunjuk Athena sebagai pangkal tradisi demokrasi.

Adalah John Keane, mahaguru jempolan dalam sejarah demokrasi dari Universitas Westminster (Inggris), yang melihat kesalahpahaman umum ini dan mengoreksinya dalam The Life and Death of Democracy (2009). Dalam pandangannya, akar istilah demokrasi masih merupakan sesuatu yang misterius. Namun, ia memastikan bahwa istilah démokratia tidaklah berasal dari Athena. Kalaupun masih dalam lingkungan kebahasaan sekitar Yunani, istilah itu mungkin berasal dari periode Mycenaean dan Phoenician, tujuh hingga sepuluh abad lebih dini dari Athena (1500-1200 SM). 

Dalam bahasa Mycenaean dikenal kata dámos yang merujuk pada kelompok orang-orang lemah yang menghuni tanah yang sama. Namun, menurut dia, istilah démokratia boleh jadi berakar lebih jauh di Timur dalam tradisi Sumeria. Di sini dikenal kata dumu yang berarti ’penduduk’ atau ’anak-anak’ dari suatu lokasi geografis.

Keane juga memastikan bahwa praktik demokratis dari majelis permusyawaratan orang-orang setara tidaklah berasal dari Yunani. Tradisi majelis dari pemerintahan rakyat pertama-tama muncul di kawasan Timur Tengah, di sekitar negara yang kini disebut sebagai Iran, Irak, dan Suriah, atau yang dulu merupakan kawasan peradaban Sumeria dan Babilonia, yang mulai berkembang sekitar 2500 SM. Dari sana, tradisi majelis rakyat itu menyebar ke anak benua India sekitar 1500 SM dan akhirnya diadopsi oleh kota-kota di sekitar Yunani: pertama oleh Phoenician dan akhirnya oleh Athena sekitar 5 abad SM. Fase pertama sejarah difusi demokrasi ini berakhir di era awal Islam sebelum abad ke-10.

Dengan penjelasan ini, Keane ingin meluruskan demokrasi dari bias prasangka Barat. Ia mencontohkan bias ini dengan menunjuk pemahaman umum bahwa periode setelah kejatuhan imperium Romawi sering dipandang sebagai zaman gelap kemerosotan demokrasi. Padahal, menurut dia, ketika di Eropa Selatan demokrasi mengalami pasang surut, di belahan dunia lainnya—seperti di dunia Islam—demokrasi justru mengalami pasang naik.

Keane ingin menegaskan bahwa nilai-nilai demokrasi yang bermula dari tradisi ”musyawarah majelis rakyat” itu sesungguhnya tidak hanya bersumber dari Barat, tetapi juga bisa ditemukan di belahan dunia lainnya. Bahkan, awalnya muncul di Timur.

Selain itu, Keane juga menyimpulkan bahwa makna demokrasi pun terus berubah sepanjang waktu. Apa yang disebut ”rakyat” dalam demokrasi Athena, misalnya, tidak termasuk perempuan, budak, dan orang-orang di luar polis (kota). Bahkan, ”rakyat” dalam demokrasi Amerika Serikat tidak termasuk perempuan hingga seusai Perang Dunia II. ”Rakyat” setelah revolusi Perancis lebih berasosiasi pada orang-orang borjuis, sementara rakyat biasa ditepikan. Bahkan, dalam pemilu di banyak negara demokratis hari ini, meski secara teoretis melibatkan seluruh rakyat, partisipasi ”rakyat” dalam pemilu pada umumnya di bawah 50 persen.
Alhasil, tidak ada model tunggal demokrasi. Suatu model demokrasi yang dijalankan di suatu masyarakat belum tentu bisa ditiru sepenuhnya oleh masyarakat lain. Gagasan ”demokrasi permusyawaratan” merupakan usaha sadar dari para pendiri bangsa untuk membuat—dalam istilah Robert Putnam (1993)—”demokrasi berjalan” (making democracy work), atau apa yang disebut Michael Saward (2002) ”mengakar” (to take root), dalam konteks keindonesiaan. Suatu model demokrasi dengan cita-cita kebudayaan berdasarkan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa Indonesia sendiri, sesuai sifat-sifat ”tanah air”, kondisi sosial, dan perjalanan sejarah bangsa.

Yang esensial dalam demokrasi bukanlah langsung atau tidaknya pemilihan atau seberapa banyak rakyat terlibat, melainkan bagaimana orang-orang yang mewakili rakyat itu sungguh-sungguh menjunjung daulat rakyat dengan menjadikan rakyat sebagai subyek yang harus dihormati, bukan obyek tindasan tirani militeristik atau tirani modal. Daulat rakyat dijunjung dengan mengedepankan permusyawaratan demi kebajikan seluruh rakyat, menjalankan kepemimpinan hikmat-kebijaksanaan dengan kesiapan mendengar dan menerima argumen bermutu secara inklusif, serta menunaikan pertanggungjawaban publik demi keadilan dan kesejahteraan. Semuanya terkandung dalam sila keempat Pancasila.

Hanya mengandalkan pemilu dan pilkada langsung, bahkan dengan biaya begitu mahal, tidak membuat demokrasi yang kita jalankan semakin menjunjung daulat rakyat. Demokrasi era reformasi justru kian meluaskan kekecewaan publik, seperti tecermin dari semakin merosotnya kepuasan rakyat pada kinerja pemerintah dan menurunnya tingkat partisipasi rakyat.

Meskipun rakyat bisa saja punya andil dalam menciptakan problem demokrasi ini, masalah utamanya tidaklah pada ”sisi permintaan” (demand side) seperti sering didalihkan politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, dan kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya terletak pada kelemahan ”sisi penawaran” (supply side) dari ketidakmampuan aktor-aktor politik membangkitkan kepercayaan rakyat.

Pengalaman menunjukkan, partisipasi rakyat dalam pemilu/pilkada meningkat seiring kemunculan figur-figur politik yang dapat membangkitkan kepercayaan publik. Di tengah apatisme politik, figur politik yang secara tulen menjalankan nilai-nilai demokrasi Pancasila-lah yang sanggup membangkitkan kembali antusiasme rakyat dalam demokrasi. 

KEMAKMURAN MENURUT ISLAM.

Oleh: M. Natsir

Bukan hidup yang diracuni oleh dendam-kusumat antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Menurut Natsir, pembangunan Negara dan perekonomian Negara harus dikoordinir dan disesuaikan dengan pendidikan. Pendidikan yang berdasarkan intelektual semata seperti yang pernah dijalankan di zaman penjajahan, hanya akan menghasilkan tenaga-tenaga buruh, bukan menghasilkan orang-orang yang sanggup bekerja dan berinisiatif sendiri.

Dari desa lari kekota.
Keadaan yang berlaku sekarang, tidak  berbeda dengan masa penjajahan, orang masih lebih memilih sekolah-sekolah umum dari pada sekolah-sekolah kejuruan. Kalau ada juga yang belajar di sekolah-sekolah kejuruan seperti pada STM, maka tenaga-tenaga tersebut, telah diijonkan kepada perusahaan-perusahaan asing, persis seperti petani-petani yang mengijonkan padinya sebelum padi itu dapat dipanen. Ijon dalam pendidikan ini terkenal sekarang dengan nama “beasiswa" atau ikatan dinas. Tenaga-tenaga yang seperti ini tentu saja tidak dapat diharapkan untuk turut langsung terjun dalam lapangan pembangunan Negara dalam arti kata yang luas, yang lebih mengkhawatirkan lagi, adalah terlalu banyaknya pemuda-pemuda desa lari ke kota untuk memburuh, sedangkan desa yang menjadi dasar pembangunan Negara ditinggalkan sepi. Berduyun-duyun orang tua, pak tani di desa menyekolahkan anak-anaknya di kota, dengan harapan setelah mereka tamat anak-anaknya itu akan kembali ke desa. Tetapi anak-anak itu setelah menamatkan pelajarannya tidak sudi lagi kembali ke desanya untuk menyerahkan kepandaian dan kecakapannya kepada masyarakat di desa, melainkan mereka lebih senang memburuh di kota-kota dengan penghasilan yang tidak seberapa.

Kemakmuran menurut Islam
Selanjutnya atas pertanyaan mengenai kemakmuran menurut Islam, oleh Natsir dikatakan, bahwa Islam mendasarkan susunan masyarakatnya kepada keseragaman, yang di Indonesia terkenal dengan istilah gotong royong. Pokok pikiran Islam dalam hal ini ialah “hidup dan memberi hidup". Orang harus memasukkan modal guna produksi proses, yang memberi kerja kepada orang lain. Islam tidak kenal “struggle for life" yang berdasarkan “survival of the fittest" itu. Juga Islam tidak mendasarkan kemakmuran itu kepada hidup yang diracuni oleh dendam-kesumat, dengki dan benci antara suatu golongan dengan golongan yang lain. Islam berdasarkan kepada ajaran, mengangkat si lemah dari kelemahannya dan menimbulkan tanggung jawab individu terhadap masyarakat dan tanggung jawab masyarakat terhadap anggotanya.

Ringkasan ceramah di depan mahasiswa Fakultas Ekonomi di Palembang, 18 Juli 1953.
Harian Pedoman, Jakarta

Senin, 10 Februari 2014

MUNCULNYA KEBUDAYAAN JAWA Bag 3*

Sultan Agung merupakan seorang yang sangat besar sekali cita-citanya untuk menyatukan seluruh tanah Jawa untuk menghadapi VOC. Beliau pernah menyerang Batavia beberapakali walaupun belum berhasil sampai akhir hayatnya. Sultan Agung meninggal pada tahun 1654, dan kemudian digantikan oleh Pangeran Ario Prabu Adi Mataram yang bergelar Amangkurat I (Amangku: memangku, Rat: Bumi). Jika Sultan Agung berusaha membangun suatu filsafat kenegaraan dengan menggabungkan Tauhid Islam dengan segala macam khurafat Hindu/Buddha, namun hal ini tidak ditemukan pada Amangkurat I yang lebih keras sikapnya pada Islam. Para Ulama di pesisir tidak mau mengakui bahwa raja Amangkurat I merupakan mutlak wakil Tuhan untuk memerintah alam. Para Ulama lebih menyukai cara pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, yakni para Ulama diberi kebebasan lebih dalam menyiarkan dan menegakan agama Islam. Semesti Raja tidak hanya menenangkan hati golongan di luar Islam, sehingga kemajuan Islam terhambat. Apalah artinya tanah Jawa menerima Islam sebagai agama, namun hukum Islam belum dijalankan, bahkan upacara-upacara agama Hindu/Buddha masih dilakukan. Sehinnga, didorong oleh jiwa Tauhid yang bergelora dalam dadanya, para Ulama kadang-kadang bersikap “kurang ajar”. Mereka datang ke istana menggunakan “pakaian arab” memakai serban, jubbah, tasbih di tangan dan tidak mau sujud menyembah kepada “Ingkang Sinuhun” (yang disembah) Sultan Amangkurat I.
Amangkurat I
Terdapat perbedaan yang besar antara Sultan Agung dengan Amangkurat I. Sultan Agung dapat membawakan dirinya dengan baik dalam kalangan para Ulama, sedangkan Amangkurat I sangat benci melihat para Kiyai tersebut yang sombong, tidak mengenal hormat dan sering berbicara terus terang dihadapan raja dan tidak mempedulikan tata-bahasa istana yang mencakup 5 tingkatan. Kalau ditanya mengapa demikian, mereka menjawab "sedangkan kepada Allah SWT, kami hanya mengucapkan engkau saja (anta), bagaimana mungkin kepada Raja kami akan mengucapkan lebih daripada itu?" Apakah yang diinginkan baginda? Yang diinginkan baginda ialah agar Islam yang tegas tersebut tidak diajarkan kepada rakyat. Ulama tidak boleh berhadapan langsung dengan masyarakat, yang bertanggung jawab menghadapi rakyat cilik hanyalah lurah, kemudian carik, dari carik ke camat, camat kepada wedana atau demang, kemudian bupati atau adipati, selanjutnya baru kepada”Kanjeng Gusti Ingkang Sinuhun”. Sedangkan Ulama yang sah, hanyalah yang resmi dalam pemerintah (Jogosworo), dan kerjanya hanya mengurus masjid, tinggal disekitar Kauman, jama’ahnya pun hanya diperbolehkan 40 orang. Apabila ajaran para Ulama sampai kepada rakyat kecil, kacaulah pemerintahan karena hilangnya ketaatan masyarakat kepada Raja.
Pada akhirnya pertentangan antara para Ulama dengan Amangkurat I semakin meruncing, sehingga Susuhunan memerintahkan untuk menangkap seluruh Kiyai dan Santri dalam wilayah Mataram yang kurang lebih sekitar 7.000 orang  dan dihukum gantung. Hanya Ulama yang diakui Keraton yang boleh hidup, sedangkan yang sempat melarikan diri, terus lari ke daerah lain.
Di sisi lain, setelah meninggalnya Sultan Agung, VOC mulai bergerak dan mengatur rencananya untuk menguasai Mataram. VOC sudah dapat menguasai Banten, Ambon, Ternate dan Makassar, sedangkan Hitu (Maluku) yang merupakan lapangan perniagaan orang-orang Jawa, sejak daerah tersebut dikuasai oleh VOC mengakibatkan Jawa menjadi miskin. VOC kemudian dating dengan mengajukan perjanjian, bahwa VOC mengakui keagungan Mataram, dan VOC mengirimkan delegasinya setiap tahun ke Mataram sebagai tanda persahabatan. Akan tetapi, apabila orang Mataram hendak ke wilayah yang dikuasai oleh VOC haruslah dengan izin dari VOC. Hal ini menyebabkan rasa tidak puas dari masyarakat terutama dari wilayah pesisir, para Ulama memandang Amangkurat I merupakan mush Islam.
Di Madura muncul rasa dendam terhadap Mataram, apalagi Cakraningrat II sebagai adipati Madura lebih dekat hatinya ke Mataram daripada ke Madura. Jodoh yang dipilih merupakan puteri dari Mataram bukannya puteri dari Madura. Menjadi Adipati di Madura tetapi sangat jarang berada di Madura, dan jika pulang membawa adat-istiadat Mataram yang sangat berat dan tidak sesuai dengan jiwa orang Madura
Karaeng Galesong
Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang sangat merugikan Makassar menimbulkan rasa tidak puas dari kalangan masyarakat. Perahu-perahu Makassar boleh berlayar hanya dengan izin dari VOC. Hanya VOC yang boleh memasukan kain-kain dan barang-barang dari Tiongkok ke Makassar. Selain itu, Makassar juga diwajibkan membayar ganti rugi perang kepada VOC. Lebih menyakitkan lagi karena yang dijadikan alat untuk menaklukan dan mengalahkan Makassar ialah anak Bugis sendiri yakni Aru Palaka yang merupakan anak Raja Sopeng. Dari situlah kemudian banyak pahlawan Bugis dan Makassar yang mengembara meninggalkan kampong halamannya dengan perasaan sedih. Mereka pergi ke Jawa, baik Jawa Timur atau Jawa Barat dan dimana saja daerah yang melakukan perlawanan terhadap VOC, dengan tanpa berpikir panjang mereka turut membantu berjuang melawan VOC. Diantara mereka terdapat nama-nama besar seperti Syekh Yusuf yang menjadi Mufti Kerajaan Bantem pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa. Selain itu, ada Karaeng Galesong yang bertemu Trunojoyo di Madura dan melakukan perlawanan terhadap VOC.
Rasa tidak puas para Ulama di bawah pimpinan Giri, bertambah dengan rasa sakit hati dari Karaeng Galesong dan kecewanya masyarakat Madura terhadap Adipati Cakraningrat II inilah yang berkumpul menjadi satu untuk mengobarkan “Perang Trunojoyo” yang tercatat dalam sejarah pada abad ke-17.Trunojoyo merupakan anak bangsawan Madura dan dianggap sebagai pemimpin Perang Sabil. Jika pada masa Sultan Agung, musuh utamanya ialah VOC, dan VOC  membantu Adipati Surabaya untuk melawan Mataram, sekarang keadaannya menjadi terbalik. Hidup-mati dan naik-turunnya Mataram sejak pemerintahan Amangkurai I merupakan hasil belas kasih dari VOC. Tentara Matamam dibantu oleh tentara VOC berbaris rapat untuk untuk menghadapi perlawanan dari Trunojoyo. VOC tidak membantu dengan Cuma-Cuma, untuk itu Amangkurat I terpaksa mengorbankan kemerdekaan Mataram. VOC berjanji akan membantu sampai menang dengan bayaran 250.000 rial dan 3.000 pikul beras. Apabila perang berlangsung lebih lama, maka Susuhunan harus menambah biaya 20.000 rial lagi. Selain itu, VOC harus dibebaskan dari cukai pajak memasukan barang-barang impor di seluruh pelabuhan Mataram. VOC juga berhak mendirikan kantor (loji) dan mendapat bayaran 4.000 pikul beras menurut harga pasar.
Setelah perjanjian tersebut disetujui oleh Amangkurat I, VOC kemudian mengirimkan tentara di bawah pimpinan Speelman untuk menghadapi gabungan tiga pahlawan yakni Trunojoyo, Karaeng Galesong dan Pangeran Giri. Spellman yang merupakan otak dibalik perjanjian Bongaya, memainkan siasatnya disamping perang menggunakan senjata. Akan Tetapi, Trunojoyo merupakan orang yang sangat keras pendiriannya dan tidak dapat ditawar, laksana pegunungan kapur yang ada di Madura. Setiap pertempuran yang dijalaninya selalu membawa kemenangan yang mengakibatkan VOC semakin terdesak. Wilayah yang dikuasainya semakin luas, hampir seluruh pesisir Jawa dapat direbutnya.  Perlawanan pun timbul di berbagai daerah, seperti Banten dan Priangan di Jawa Barat bahkan hingga Kediri di Jawa Timur menyatakan terang-terangan bergabung dengan Trunojoyo.
Di ibu kota sendiri, bertambah kebencian masyarakat terhadap Susuhunan Amangkurat I. Dengan terang-terangan mereka berani memuji Trunojoyo di hadapan Baginda. Baginda dianggap mendapat “karma” dari para kiyai dan santri yang baginda bunuh. Selain itu, Raden Kejoran yang merupakan orang kepercayaan Susuhunan, tiba-tiba menghilang dari ibu kota dan kemudian pergi ke Kediri untuk bergabung dengan tentara Trunojoyo. Sangatlah besar tekanan yang dirasakan oleh Amangkurat I, negeri sendiri terjual, rakyat menjadi benci, para Ulama menghujat, sehingga pada akhirnya jiwa beliau terganggu dan memutuskan untuk keluar meninggalkan Istana secara diam-diam. Ke luarnya Susuhunan dari istana dipandang melanggar adat-istiadat Mataram, karena istana tempat baginda bersemayam dipandang memancarkan “Shri” atau “Syakti” berupa sinar simbol kegemilangan Mataram. VOC yang mengetahui hal ini dengan segera mengangkat Pangeran Adipati Anom (Amangkurat II) untuk menggantikan Amangkurat I.
Amangkurat II
Sebelum Amangkurat II naik tahta, dibuatlah perjanjian-perjanjian baru yang lebih mengikat. Pertahanan Mataram yang lemah mengakibatkan Amangkurat II terpaksa menerima perjanjian tersebut. Selain itu, VOC juga mengancam akan membawa kembali Amangkurat I apabila perjanjian tersebut tidak ditandatangani.  Pangeran Puger adik dari Amangkurat II, tidak menerima hal tersebut dan kemudian melakukan perlawanan dan diangkat pula menjadi Susuhunan oleh para pengikutnya. Sedangkan itu, Amangkurat I mengembara dari satu daerah ke daerah lainnya dalam keadaan sakit akibat tekanan jiwa yang dialaminya, karena kebesaran Mataram menjadi hancur-lebur di tangannya, apalagi ia merasa dalam keadaan tersebut sangat membutuhkan Agama Islam sebagai pegangan hidup, namun para Ulama sudah habis dia bunuh. Pada akhirnya, karena sakit kerasnya tersebut, sesampainya di daerah bernama Wonoyoso beliau wafat dan dikuburkan di daerah Tegal, di suatu tempat bernama Tegal Wangi atau Tegal Harum.

Trunojoyo
Setelah VOC berhasil mengambil alih kekuasaan yang ada di Mataram, maka dimulailah gerakan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo, Karaeng Galesong dan Pangeran Giri. Karena bala bantuan yang terus-menerus datang dari Batavia, semakin lama posisi Trunojoyo mulai terdesak, tetapi bukan karena tentara VOC, melainkan oleh Aru Palaka yang didatangkan oleh VOC dari Makassar. Setelah Aru Palaka mengalahkan Karaeng Galesong, maka terbukalah jalan untuk VOC yang kemudian berhasil merebut daerah Porong sanpai ke Ngantang di Timur Laut. Trunojoyo yang terdesak kemudian bertahan di lereng Gunung Kelud. VOC kemudian mengirimkan Kapten Jongker seorang tentara keturunan Ambon untuk mengepung Trunojoyo. Karena pengepungan yang dilakukan oleh Kapten Jongker, lama kelamaan perbekalan trunojoyo menjadi habis sehingga pertahanannya mulai lemah. Dalam kondisi terjepit seperti itu, Trunojoyo mengirimkankan utusannya dengan membawa kerisnya kepada Kapten Jongker sebagai tanda menyerah pada tanggal 27 Desember 1679. Dalam suratnya Trunojoyo berkata “Saya serahkan diriku kepadamu Kapten, karena aku lihat engkau seorang satria yang kuat memegang janji. Aku hanya menyerah kepadamu, bukan kepada Susuhunan. Engkau harus memperlakukanku sebagai tawanan perang”. Pada awalnya Kapten Jongker dapat menepati janjinya, namun janjinya tersebut tidak dapat dipertahankannya karena desakan VOC yang menyuruh untuk menyerahkan Trunojoyo kepada VOC dan selanjutkan akan diserahkan kepada Amangkurat II. Saat Trunojoyo dibawa ke Mataram dan menghadap kepada Susuhunan, dengan sigap Amangkurat II menikam Trunojoyo tepat dikerongkongannya dengan menggunakan kerisnya sendiri dihadapan semua orang yang hadir di dalam Keraton. Sedangkan Kapten Jongker pemuda Islam keturunan Ambon, merasa ksakit hatinya melihat sikap pengecut yang diperlihatkan oleh Amangkurat II yang tega membunuh orang yang sudah menyerahkan diri. Kapten Jongker merasa dirinya gagal dalam memenuhi janjinya kepada Trunojoyo, sehingga 10 tahun kemudian Jongkerpun dihukum mati VOC karena terlibat dalam pemberontakan di Batavia pada tahun 1798. Selain membunuh Trunojoyo, Amangkurat II juga membunuh Pangeran Giri bersama dengan semua keturunannya tanpa tersisa, keris nenek moyangnya yang digunakan untuk melawan kerajaan Majapahit dirampas oleh Amangkurat II.
Demikianlah sejarah perjuangan Islam di Nusantara pada abad ke-17. Semenjak saat itu, kekuasaan VOC semakin tertanam kuat atas Kerajaan Mataram dan seluruh tanah Jawa, sehingga kemudian masih muncul beberapa kali pemberontakan baik di Jawa Barat (Pangeran Purbaya, Kiyai Topo) atau di Jawa Timur (Untung Suropati). Sejak saat itu, para pujangga bekerja keras untuk membuat sajak, gending maupun tembang untuk menghina para Ulama, mengolok-olok sorbannya, sehingga muncul istilah “Mutihan” dan “Ngabangan”. Karena merasa hanya menjadi bahan ejekan, para Ulama menyingkir ke daerah pesisir seperti Jawa Timur dan Madura, sehingga banyak di daerah tersebut berdiri pondok-pondok persantren tempat para santri untuk belajar. Waktu terus berjalan, walaupun banyak upaya untuk membuat Islam hanya sebagai agama yang diritualkan bukannya menjadi dasar dan pegangan hidup yang sejati, namun pelopor penegakan syariat Islam yang kembali memakai pakaian yang dahulu menjadi bahan ejekan yaitu jubbah dan sorban, rambut dicukur rapid dan menggunakan kopiah putih dengan keris tersisip di pinggang dan tasbih di tangan bersama pedang, ia masih keturunan Amangkurat dan Sultan Agung yakni Pangeran Amiril Mukminin Abdul Hamid Diponegoro yang dibantu oleh kiyai Mojo. Walaupun berusaha disingkirkan di Jawa Tengah, namun kebangkitan perjuangan Islam dipelopori oleh seorang anak bangsawan yakni Haji Oemar Said Cokroaminoto. Selain itu, dari kalangan “abdi dalem” Keraton Yogyakarta, yakni Kiyai Haji Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah. Itulah Mu’jizat dari Islam, meskipun dia dihalangi dan dicoba untuk dihancurkan, kadang-kadang keturunann dari yang menghalanginya itu menjadi pembela daripada apa yang dahulu dihalangi oleh para leluhurnya.



* Judul asli Islam di Madura bagian Pertama, Hamka (1982), Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas