Setelah Ki Gede Pamanahan dapat merebut kekuasaan dari
Pajang dan memindahkannya ke Mataram, semakin terasa perbedaan antara "Islam
Pesisir" dengan "Islam Pedalaman”. Dalam gelar yang digunakan oleh
Sutawijaya putera Ki Gede Pamanahan yang menggantikan beliau pada tahun 1575
telah nampak, bahwa kebudayaan Hindu digabungkan dengan, kebudayaan Islam,
sebagai dasar keagungan raja. Sutawijaya bergelar "Senopati ing
Alogo" (panglima medan perang) ditambah dengan "Sayyidin
Panatagama" (Yang dipertuan pengatur agama).
Panembahan Senopati meninggal pada tahun 1601, beliau
kemudian digantikan oleh puteranya Mas Jolang yang meniggal pada tahun 1613,
dan tahta kemudian diserahkan kepada puteranya Mas Ransang. Pada masa Mas
Ransang inilah mulai dibentuk Filsafat Jawa yang sejati, puncak kemegahan
Mataram. Beliau menggunakan gelar-gelar yang merupakan penggabungan antara
agama Hindu dan Islam, sebagaimana dahulu Kertanegara juga menggabungkan antara
agama Hindu (Siwa) dengan Budha. Dicarilah persamaan antara Hindu dengan Islam
sehingga munculah “agama baru” yang bukan Hindu dan bukan pula Islam. Gelar
"Senopati" warisan kakeknya tetap digunakan. "Senopati ing
Alogo" ditambah dengan “Ngabdurrahman”, Ditambah lagi gelar lain, yaitu “
Prabu Pandito Cokrokusumo", disebut juga "Hanyokrokusumo", dan
pernah dikirimnya pula utusan ke Mekkah, agar Syarif Mekkah memberinya gelar
Sultan, sehingga beliau terkenal dengan nama Sultan Agung.
Sultan Agung kemudian mengarang filsafat pandangan
hidupnya yang dituangkan dalam bentuk tembang yang terkenal dengan sebutan
“Sastra Gending”. Beliau menyuruh para pujangga istana untuk menyusun silsilah
garis keturunannya, sehinnga bisa kita dapati silsilah garis keturunan tersebut
merupakan perpaduan antara Hindu dan Islam bahkan juga cerita-cerita mitos
sehinnga tidak dapat kita percayai dengan menggunakan akal pikiran yang sehat.
Di dalam silsilah tersebut menyebutkan bahwa beliau merupakan keturunan dari Nabi
Adam dan Nabi Syis, tetapi juga keturunan sang Hyang Nur Cahaya, sang Hyang Nur
Rasa dan sang Hyang Nur Wening. Beliau juga keturunan Batara Guru, sang Hyang
Tunggal dan Brahmana dan Arjuna; tetapi juga memiliki hubungan dengan Hayam
Wuruk dan Brawijaya, serta merupakan keturunan dari Raden Patah dan Ariya
Damar.
Karena hal tersebutlah para ulama termasuk dua dari
sembilan dewan wali (wali sanga) yang terkenal serta para pengikutnya yang
hidup di pesisir memandang bahwa filsafat jawa yang dibuat oleh Sultan Agung
sangat membahayakan bagi perkembangan Islam. Oleh karena itu, maka dijadikanlah
Giri sebagai pusat penyebaran agama Islam sekaligus benteng pertahanan Islam.
Datanglah para santri yang hendak belajar dari segala penjuru Nusantara
terutama bagian timur selain itu dikirim pula para Mubaligh ke seluruh pelosok
Nusantara. Beberapa Bupati di Jawa Timur dapat dipengaruhi oleh Sunan Giri
sehingga beliau dikenal sebagai Sultan Agama. Diantara para bupati tersebut
ialah Bupati Surabaya yakni Pangeran Fakih.
Selain membangun Negara dengan dasar Filsafat Jawa
yang kuat, sultan Agung juga mempunyai cita-cita menyatukan seluruh tanah Jawa
dalam pemerintahannya. Beliau hendak memasukan wilayah Banten ke dalam
kekuasaan Mataram. Namun, untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, Sulatan Agung
harus menghadapi tantangan dari VOC yang pada saat itu juga sedang berkembang. Kiyai Suro Dono seorang Ulama dan ahli Tasawuf yang merupakan pembantu Utama
Sultan Agung kemudian mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Suroantani untuk
menaklukan Jawa Timur. Mendengar kabar datangnya tentara dari Mataram, Adipati
Surabaya bersama Sunan Giri berusaha menyatukan para bupati di Jawa Timur. Lasem,
Tuban, Japan, Wirosobo, Pasuruan, Arisbaya (di Madura), Sumenep dan tentunya
Surabaya kemudian bersatu, tidak hanya untuk bertahan akan tetapi bersiap untuk
menyerang Mataram. Namun, sesampainya di Pajang, karena kekurangan makanan maka
tentara persatuan para Bupati Jawa Timur tersebut dapat dipukul mundur oleh
Sultan Agung pada Tahun 1615. Memanfaatkan keadaan yang ada, Sultan Agung
kemudian menaklukan Wirosobo, tetapi pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir
tidak dapat ditaklukan karena angkatan laut Mataram kurang kuat. Pada tahun 1616
lasem dapat direbut, kemudian Pasuruan dapat ditaklukan oleh pasukan Mataram
yang dipimpin oleh Marto Loyo. Setelah Tuban dapat ditaklukan maka pada tahun
1622 dikirimlah 80.000 pasukan untuk menaklukan Surabaya, akan tetapi karena
perbekalan habis maka pasukan tersebut terpaksa kembali ke Mataram. Dalam
perjalanan pulang, pasukan Mataram sempat menghancurkan Gresik dan Jaratan,
sehingga hingga kini nama Jaratan tidak terdengar lagi.
Dua tahun kemudian tepatnya pada tahun 1624, Sultan
Agung mengirim pasukan dibawah pimpinan Sujonopuro untuk menaklukan Madura.
Saat itu Madura terdiri dari lima kabupaten yakni Arisbaya, Pamekasan, Sumenep,
Sampang dan Balega. Madura dapat bertahan dengan gagah perkasa, kelima Bupati
yang ada di Madura bangkit bersama, sehingga tentara Mataram yang baru mendarat
dapat dipukul mundur. Pada malam hari laskar Madura menyerang dengan tiba-tiba
sehingga Kiyai Sujonopuro terbunuh dan pasukan Mataram tercerai berai. Karena pukulan
keras tersebut, tentara Mataram terpaksa bertahan dan menunggu bantuan. Sultan
Agung kemudian mengirimkan bantuan pasukan di bawah pimpinan Kiyai Juru Kiting
sehingga Madura dapat ditaklukan.
Sultan Agung merupakan seorang raja yang berpandangan
luas dan pandai dalam hal perang dan politik. Setelah Madura dapat ditaklukan,
baginda kemudian mengangkat anak dari saudara Bupati Arisbaya yakni Raden
Praseno menjadi Adipati untuk seluruh Madura dengan gelar Cakraningrat. Pangeran
Cakraningrat sangat senang menerima kebaikan hati dari Sultan Agung. Sultan
Agung sangat mengerti jika pengaruh agama Islam sangat besar di Madura dan
penduduknya juga lebih senang bila dipimpin oleh orang asli Madura. Oleh karena
itu, baginda taklukan dengan lemah lembut, beliau muliakan Cakraningrat dengan
segala kebesarannya, sehingga Cakraningrat sering menghadap ke Mataram bahkan
memimpin langsung pasukan untuk membela Sultan dan Kerajaan Mataram.
Setelah Madura dapat ditaklukan, Sultan Agung
mengarahkan pasukannya yang beliau pimpin sendiri untuk menaklukan Surabaya.
Melihat jumlah tentara Mataram yang sangat besar dan sudah takluknya Madura,
maka Adipati Surapaya yakni Pangeran Fakih mengirimkan utusan kepada Sultan Agung
dengan maksud menawarkan perdamaian. Saat Pangeran Fakih datang untuk menghadap
pada Sultan, disambutlah dengan upacara kebesaran layaknya para raja. Pangeran
Fakih diperlakukan dengan baik. Sultan Agung menunjukan kebesaran jiwanya,
walaupun beliau meruakan seorang “senopati”, pemimpin perang yang hebat, namun
wajah manisnyalah yang diperlihatkan kepada musuhnya tersebut. Sultan hendak
menaklukan Surabaya layaknya Madura dengan cinta dan kasih sayang.
Sultan Agung sangat pandai membawa dirinya, ia mampu
menunjukan sikap toleransinya dengan baik sebagai Raja baik dalam wilayah yang
beragama Islam maupun Hindu. Penaklukan Surabaya tidak pernah disebut-sebut
lagi karena hati Pangeran Fakih sendiri yang sudah takluk. Sultan Agung
meminang Pangeran Fakih untuk dinikahkan dengan puteri kesayangannya yakni
Puteri Pandan Sari. Suatu strategi yang sangat hebat dan tentunya sulit untuk
ditolak, apalagi Puteri Pandan Sari merupakan seorang puteri yang sangat
cantik. Dengan sendirinya Surabaya berada dibawah Mataram karena Pangeran Fakih
merupakan menantu dari Sultan Agung. Apatah lagi Ratu Wandan Sari pun seorang
puteri yang cantik rupawan.
Puteri Pandan Sari kemudian melanjutkan siasat ayahnya
dengan membujuk Pangeran Fakih untuk menyerang Giri. Hal ini merupakan ujian
yang sangat besar bagi Pangeran Fakih, bujuk rayu istrinya tersebut
mengakibatkan Pangeran Fakih tega untuk melawan gurunya sendiri. Surabaya
kemudian menyerang Giri, namun gagal karena Sunan Giri melakukan perlawanan
dengan gigih. Pada akhirnya Puteri Pandan Sari yang memimpin penyerangan yang
kedua dengan menyamar sebagai laki-laki, dan pada saat itulah Sunan Giri dapat
dikalahkan kemudian ditangkap dan dibawa ke Mataram. Pada saat berdialog dengan
Sultan Agung, Sunan Giri dengan terus terang menyatakan tidak senang hatinya
karena Sultan Agung tidak sungguh-sungguh dan benar dalam menegakan Islam. Akan
tetapi, Sultan tetap pada pendiriannya dan berjanji tidak akan mengganggu
perkembangan Islam dan kepemimpinan Giri dalam hal agama Islam. Sunan Giri
diangkat kembali dan diberi izin untuk memimpin Giri seperti semula, hanya
gelarnya sebagai “Sunan” diturunkan hanya menjadi Panembahan.
* Judul asli Islam di Madura bagian kedua, Hamka (1982), Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta:
Pustaka Panjimas