Sabtu, 24 Desember 2011

Kebangkitan Islam: Belajar dari Sejarah Perang Salib


Seperti yang disampaikan oleh Ibnu Katsir di atas, Umat Islam sebelumnya mengalami masa kegelapan atau periode terburuk dalam perjalanan sejarah umat manusia setelah mengalami kekalahan pada Perang Salib pertama. Titik balik kemudian diperoleh umat Islam setelah jatuhnya Edessa ke tangan umat Islam pada tahun 539 H/1144 M, yang saat itu dipimpin oleh Imam al-Din Zanki/Imaduddin Zengi, ayah dari Nur al-Din Zanki/Nuruddin Zanki yang merupakan paman dari Shalahuddin al-Ayyubi yang kemudian lebih dikenal sebagai pahlawan Islam pembebas Jerusalem pada tahun 1187.[1]
Perang Salib dimulai pada tahun 1095, dan pada tahun 1099, Jerusalem jatuh ke tangan pasukan salib/Frank. Meskipun memiliki negara dan pemerintahan (kekhalifahan Abbashiyah), umat Islam saat itu sangat lemah dan terpuruk. Khalifah di Baghdad tidak mempunyai wibawa di mata rakyatnya, wilayah Islam terpecah-pecah dengan para panglima militer/atabegh sebagai para pemimpin pemerintahan di wilayah tersebut.

Sekitar 88 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1187, Jerusalem dapat dikuasai kembali oleh umat Islam yang dipimpin oleh Shalahudin al-Ayyubi. Akan tetapi jarang diketahui oleh umat Islam saat ini bahwa pembebasan Jerusalem/Al-Aqhsa, bukanlah produk instan dan keajaiban yang turun dari langit dalam waktu yang singkat. Dalam bidang politik dan militer, Imaduddin Zengi dan Nuruddin Zanki telah bersusah payah terlebih dahulu untuk membukakan jalan bagi Shalahudin. Di bidang spritual, dua ulama besar saat itu Imam Al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani, berusaha sangat keras memperbaiki akhlak dan moral masyarakat pada saat itu, sehingga kemudian muncul generasi baru yang hebat seperti Shalahudin al-Ayyubi dsb. Dalam hal ini, penulis akan lebih menitik beratkan pada hal spritual terlebih dahulu.

Seperti yang disampaikan oleh seorang ulama pada masa awal Perang Salib yang bernama al-Sulami, saat jatuhnya Jerusalem ke tangan pasukan Salib, menurutnya berjihad melawan orang-orang kafir adalah kepura-puraan bila tidak didahului dengan jihad yang lebih besar (al-jihad al-akbar) atas diri sendiri. Dalam hal ini, al-Sulami berpendapat hal pertama yang harus dilakukan oleh umat Islam sebelum ia melakukan jihad ialah memperkuat kembali dimensi moral untuk mengakhiri proses kemunduran spiritual umat Islam. Al-Sulami menegaskan bahwa jihad yang lebih besar tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu bila ingin meraih kemenangan dalam jihad melawan orang-orang kafir/tentara salib.

Dalam hal ini, al-Ghazali kemudian mencari faktor utama dari kelemahan umat Islam dan kemudian berusaha mengatasinya, daripada menyibukan diri dengan menuding dan menghujat para tentara salib. Menurutnya, masalah paling utama yang dihadapi oleh umat Islam pada saat itu ialah rusaknya pemikiran dan jiwa umat Islam yang berkaitan dengan aqidah dan kemasyarakatan. Al-Ghazali tidak menolak adanya perubahan strategi di bidang politik dan militer, tetapi menurutnya perubahan yang paling mendasar harus didahului pada aspek pemikiran, akhlak, dan perubahan jiwa manusia itu sendiri.

Setelah melakukan perenungan yang sangat mendalam mengenai kondisi umat Islam pada saat itu, al-Gahzali sampai pada suatu kesimpulan bahwa yang pertama kali harus dibenahi dari umat Islam adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Secara ringkas dapat kita pahami, setelah mengalami kekalahan di Perang Salib pertama kemudian kaum muslimin berhasil menggabungkan konsep Jihad al-Nafs dan jihad melawan musuh dalam bentuk peperangan dengan sangat baik. Dalam permasalahan jihad al-Ghazali menekankan akan pentingnya menyatukan berbagai potensi yang ada, baik harta, jiwa, dan juga keilmuan. Selain itu, al-Ghazali juga menekankan pentingnya aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar, aktivitas tersebut menurutnya merupakan kutub terbesar dalam urusan agama, dan merupakan suatu hal yang penting. Karena misi terbutlah Allah SWT mengutus para nabi. Jika aktivitas tersebut hilang maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar dan kebodohan akan merajalela, satu negeri akan binasa begitupula dengan umatnya secara keseluruhan.

Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara konperehensif terhadap problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Saat itu, umat Islam dihadapi dengan berbagai masalah baik politik, keilmuan, moral, sosial dan sebagainya. Problematika tersebut perlu dianalisis dan didudukan secara adil dan proposional.

Al-ghazali dan para ulama pada masa itu, berusaha membenahi cara berpikir para ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi para ulama yang jahat. Sebab ilmu yang rusak dan ulama yang jahat adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya.

Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan oleh ulama-ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan akan selalu mendapatkan perlawanan yang kuat secara ilmiah. Karena itulah kerusakan dalam bidang keilmuan harus mendapat perhatian dari umat Islam.

Edessa-Rantau Jaya II
Akur Wijayadi

[1] Lihat Carole Hillenbrand, Perang Salib: Sudut Pandang Islam, Jakarta: Serambi, 2007.

Selasa, 16 Agustus 2011

66 Tahun Yang Lalu, Ramadhan Saat Itu....

Kurang lebih pukul 10.00 waktu setempat di halaman sebuah rumah yang sederhana namun asri, Ir. Soekarno didampingi oleh sahabatnya Drs. Mohammad Hatta, membacakan beberapa kalimat yang cukup singkat dan sederhana namun sangat bermakna bagi bangsa ini. Kedua orang tersebut mewakili seluruh rakyat Indonesia mengunggkapkan pada seluruh dunia bahwa Indonesia sudah merdeka lepas dari pendudukan bangsa asing.

Benar pada saat itu tanggal 17 Agustus tahun 1945, dengan persiapan yang sederhana dan seadanya, tiang bendera dari bambu, bendera merah-putih hasil jahitan tangan ibu Fatmawati, dikumandangkanlah proklamasi kemerdekaan RI. Dihadiri tidak lebih dari puluhan orang upacara tersebut berlangsung secara khidmad.

Mungkin jarang diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, bahwa pada hari itu juga bertepatan dengan bulan Ramadhan. Kalau kita lihat tanggalan hijriah, tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan 1366 H. Hal ini memang jarang disebutkan dalam buku-buku mata pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah dengan berbagai macam alasan, akan tetapi kita beruntung saat ini banyak sejarawan yang berusaha mengungkapkan hal ini.
Mungkin benar bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan yang pernuh berkah dan rahmat. Seakan-akan Allah SWT ingin menjawab sekian lama doa dari masyarakat “pribumi” Indonesia, dengan memeberikan kemerdekaan pada bulan Ramadhan pada tahun 1945 tersebut.

Masyarakat Indonesia saat itu memang dikenal sangat religius, tidak mengherankan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-2 disebutkan bahwa kemerdekaan bangsa ini merupakan hasil dari rahmat Allah SWT dan keinginan yang kuat dari bangsa ini untuk lepas dari penjajahan.

Bila kita renungkan secara mendalam, tanpa mengesampingkan perjuangan dari Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura, Teuku Umar dan para pahlawan yang telah berusaha melawan penjajahan melalui cara-cara fisik maupun peperangan, seakan-akan Allah SWT telah mempersiapkan kemerdekaan bangsa ini jauh-jauh hari sebelumnya. Bila saja perjuangan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura, Teuku Umar dsb tersebut berhasil mengusir penjajahan mungkin bangsa ini tidak akan pernah lahir atau mungkin setelah itu bangsa ini akan kembali dijajah karena belum siapnya bangsa ini menjadi suatu negara yang modern.

Dalam perjalanannya Allah SWT seakan-akan telah mempersiapkan sebuah Negara-bangsa yakni Indonesia menjadi suatu negara yang modern. Disaat kaum pribumi Indonesia masih terjerembab dalam kebodohan, dengan perantara pemerintahan kolonial Hindia-Belanda yang kemudian memberlakukan poltik etis atau balas budi dengan mendirikan berbagai macam sekolah seperti, Sekolah Angka Dua, MULO, ELS, STOVIA dan lain sebagainya, bahkan dalam perkembangan berikutnya banyak dari para penduduk pribumi yang kemudian bisa melanjutkan sekolahnya di universitas-universitas terkemuka di Belanda. Walaupun hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang mengenyam pendidikan pada saat itu, akan tetapi kemudian muncullah apa yang kemudian disebut sebagai golongan elit baru  yakni mereka yang mengenyam pendidikan model Barat. Dari mereka kemudian kita kenal berbagai tokoh dengan kepakaran ilmunya masing-masing seperti, Ir Soekarno yang ahli di bidang arsitektur, Hatta yang ahli Ekonomi, Cipto Mangunkusumo seorang dokter yang namanya sekarang digunakan sebagai nama rumah sakit terkemuka di Jakarta,  atau Mr. Soepomo seorang ahli tata negara dan merupakan guru besar di Belanda yang kemudian meletakan dasar-dasar negara ini, dan lain sebagainya.

Dari para elit baru inilah kemudian timbul suatu sikap kesadaran, kesadaran akan pemderitaan yang diakibatkan oleh penjajahan yang kemudian pada akhirnya memunculkan sikap nasionalisme. Kemudian para elit baru ini memperjuangkan kesadaran akan pentingnya Indonesia yang merdeka dengan berbagai cara dalam bermacam bidang seperti, politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan.

Akan tetapi kesadaran nasionalisme mereka ternyata masih belum dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang belum mengenyam pendidikan. Nampaknya masih terdapat jarak antara para tokoh tersebut dengan sebagian besar rakyat pribumi, sehingga apa yang dicita-citakan oleh intelektual muda indonesia belum bisa dimengerti oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang masih tenggelam oleh kebodohan. Hal ini bisa dimengerti karena pemerintah kolonial Hindia-Belanda berusaha menjauhkan para pemimpin nasional dari rakyat dengan berbagai macam cara seperti pemenjaraan dan pengasingan ke luar pulau atau bahkan luar negeri.

Kemudian dengan kebesaran dan rahmat Allah SWT pulalah pada akhirnya nanti jarak antara para pemimpin nasional dan sebagian besar rakyat Indonesia dapat dipangkas habis. Allah SWT dengan perantara orang-orang Jepang ingin lebih mendekatkan para pemimpin nasional dengan rakyatnya. Setelah berhasil menguasai nusantara, Jepang segera melakukan berbagai macam kebijakan yang sedikit berbeda dengan pemerintah Hindia-Belanda. Jepang mempercayai kepemimpinan birokratis kepada para pemimpin nasional Indonesia seperti, Soekarno dan Hatta dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), dalam bidang agama Jepang kemudian membentuk MIAI dengan KH. Wachid Hasyim sebagai ketuanya. Selain itu dengan dibentuknya badan-badan militer maupun semi-militer seperti PETA, Heiho dsb, kemudian semakin mendekatkan cita-cita kemerdekaan dengan rakyat Indonesia. Dengan adanya wajib militer oleh Jepang, para pemuda terpelajar dari kota dipertemukan dengan para pemuda yang berasal dari desa, seorang guru seperti Sudirman dipertemukan dengan para petani, para pemuda peranakan Cina dengan para santri dari pesantern, dengan hal inilah pada akhrinya cita-cita kemerdekaan dapat tersebar luas keseluruh Nusantara dan menjadi cita-cita bersama bangsa ini.
Dan sekali lagi Allah SWT memudahkan bangsa ini untuk memeproleh kemerdekaan. Setelah Jepang dikalahkan oleh sekutu dengan dijatuhkannya bom atom di kota Hirosima dan Nagasaki. Status kuo Hindia-Belanda segera dimanfaatkan oleh para pemuda Indonesia, diawali dengan peristiwa Rengasdengklok, pada akhirnya draff teks proklamasi dapat diselesaikan menjelang makan sahur, sehingga kemudian tepat pada hari Jum’at legi pada pukul 10.00 wib pada tanggal 17 Agustus 19945 atau 9 Ramadhan 1366 H, suatu Negara modern telah lahir yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bila kita perhatikan dengan seksama, Allah SWT tidak hanya memberikan keberkahan di bulan Ramadhan kepada bangsa ini dengan memerdekakannya pada tanggal 17 Agustus 1945 atau bulan ramadhan 66 tahun yang lalu, akan tetapi Allah SWT telah mempersiapkan lahirnya Negara Indonesia dengan melalui proses yang sangat panjang. Selain itu, Allah SWT juga memberikan modal bagi bangsa ini berupa kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) yang melimpah, posisi yang strategis, keindahan alam, kebesaran sejarah masa lau, keanekaragaman budaya dsb, kepada bangsa ini, sehingga sudah sepantasnya kita sebagai warga Negara Indonesia khususnya kita sebagai umat Islam mengucapkan syukur atas rahmat dan keberkahan yang diberikan Allah SWT kepada bangsa ini.

Pada akhirnya dengan bersamannya momentum hari kemerdekaan Indonesia pada saat ini dengan bulan Ramadhan, bulan penuh berkah dan merupakan bulan dimana diturunkannya Al Qur’an, semoga Allah SWT senantiasa memberikan keberkahannya kepada bangsa ini. Kita sebagai masyarakat Indonesia sudah sepantasnya kita bekerja keras agar bangsa ini dapat segera bangkit, sudah terlalu lama ibu pertiwi sedih dan berduka lara, sekarang saatnya kita menghapus air mata tersebut dengan senyum penuh prestasi

16 Agustus 2011
Dari Rantau Jaya untukmu Negeriku
Akur Wijayadi

Rabu, 15 Juni 2011

Bangkit Untuk Impian

Pada saat naik tahta menggantikan ayahnya, usianya masih 12 tahun. Usia yang terbilang masih remaja atau malah kanak-kanak untuk ukuran seorang manusia yang mengemban suatu amanah yang maha berat, bayangkan ia harus memerintah suatu kesultanan(Penulis masih bingung dengan konsep khilafah sehingga penulis menganggap Turki Utsmani sama dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang mewariskan tahtah berdasarkan garis keturunan. Selain itu dari beberapa literature yang pernah dibaca oleh penulis, penulis lebih sering menjumpai para pemimpin Turki Utsmani menggunakan gelar sultan dari pada khilafah) yang luasnya hampir duapertiga dunia. Hal ini menyebabkan keraguan di dalam maupun luar kesultanan. Para pemimpin Nasrani di Eropa sangat bersyukur karena dengan sultan yang masih anak-anak ini tentunya tidak ada ancaman dari kesultanan Turki Ustmani. Di dalam negeri para Wazir, Ulama sampai para rakyat pun sangat mengkhawatirkan kondisi kesultanan Turki Ustmani yang diperintah oleh seorang anak kecil.  Akan tetapi berbekal ilmu dan kedisiplinan tingkat tinggi dari sang guru Ahmad Gurani serta harapan kecil dari sang ayah Sultan Murad, sang Sultan kecil naik tahta dengan percaya diri dan tidak menggubris segala cemooh dari kebanyakan orang.
Melihat ada kesempatan emas di depan mata, para pemimpin Nasrani melanggar perjanjian genjatan senjata dan mulai menyerang kekuasaan Turki Ustmani. Pasukan Salib mulai bergerak, sehingga terjadilah peperangan di kota Varna. Disisi lain kondisi dalam negeri yang mulai kacau akibat masuknya sekte Syiah, pemberontakan yang terjadi di berbagai kota dan diperparah oleh pemberontakan yang dilakukan oleh pasukan Janisari(Pasukan Janisari ialah pasukan khusus/elit Kesultanan Turki Utsmani yang sebagian besar direkruk dari nak-anak beragama Nasrani yang kemudian di-Islamkan. Terkait pemberontakan Pasukan Janisari dikarenakan hasutan oleh sang Wazir yakni Halil Pasha yang melihat kelemahan yang ada pada diri Sultan) sudah cukup menjadi alas an bagi sultan Murad untuk mengambil alih kekuasaan dari tanggan sang anak dan mengasingkannya ke kota Manisa.
Kekalahan perang di Varna, pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri, dan kemudian di asingkan dari pusat pemerintahan membuatnya sangat terpukul. Beruntung dia mempunyai guru sehebat Ahmad Gurani dan penasehat yang cerdas sekelas Shibabettin Pasha serta Zaganos Pasha. Sang Sultan Kecil perlahan namun pasti bangkit dari keterpurukannya, dengan dibantu oelh sang guru dan para penasehatnya, waktu Sembilan tahun tidak dibuang percuma olehnya melainkan digunakan untuk mengevaluasi diri dan belajar dan terus belajar. Sang Sultan kecil belajar banyak hal, mulai dari politik, adsminitrasi pemerintahan, geografi hingga sejarah dan biografi para kaisar-kaisar besar seperti Alexander Agung. Pada waktu inilah ia menenukan sebuah mimpi mengenai jatuhnya kerajaan Heraclius yakni penguasa konstatinopel pada masa Rosulullah SAW,   di sebutkan di dalamnya bahwa sebaik-baiknya pemimpin ialah pemimpin dari para pasukan yang merebut kota konstatinopel. Ia semakin bersemangat dalam belajar dan berharap ia yang berhasil mewujudkan mimpi Rosulullah tersebut. Semua pelajaran ia serap dengan begitu baik dan penuh kedisipilnan di bawah arahan sang guru. Ia yakin semua ilmu yang dipelajarinya akan bermanfaat suatu hari nanti, saat ia diberi kesempatan kedua untuk memimpin kembali Turki Utsmani sepeninggal ayahnya.
Pada tanggal 5 Februari 1451, ayahnya Sultan Murad meninggal. Secara otomatis ia naik tahta kembali sebagai Sultan Turki Ustmani. Setelah tujuh tahun menunggu dalam ketidak jelasan mengenai posisinya dan dalam bayang-bayang kegagalan sebelumnya, akhirnya kesempatan kedua tersebut datang juga pada hari itu. Ia bukan lagi si bocah berumur dua belas tahun yang tidak tahu harus berbuat apa, sekarang ia telah menjadi remaja berumur Sembilan belas tahun yang sudah dewasa melampaui umurnya pada saat itu. Memanfaatkan kesempatan kedua dan tidak ingin gagal untuk yang kedua kalinya, ia bergerak dengan cepat, pasti namun terarah untuk segera mewujudkan mimpinya tersebut, mimpi Rosulullah dan mimpi seluruh umat Islam. Dengan kedisiplinan tingkat tinggi ia rombak struktur birokrasi, ia bangun kekuatan perang paling dasyat dan menakutkan pada saat itu. Ia adaptasi ilmu perkapalan dan pembuatan meriam dari orang-orang Nasrani di Eropa sehingga nantinya ia memiliki armada laut dan arteleri darat paling besar pada zamannya. Ia lakukan beberapa inovasi setelah melakukan evaluasi beberapa penyerangan bangsa Arab sebelumnya yang selalu gagal terhadap Konstatinopel dan dengan inovasi inilah nantinya ia berhasil menaklukan kota tersebut. Dengan manajemen yang hebat ia dapat memaksimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki oleh Turki Ustmani, sampai-sampai para sejarahwan Eropa memuji manajemen dari sang sultan yang begitu rapi tersebut. 
Pada akhirnya setelah persiapan yang memakan waktu hampir dua tahun, pada awal bulan Maret semua pasukan baik darat maupun laut diberangkatkan dengan tujuan satu merebut Konstantinopel. Dentuman meriam pertama tanggal 6 April 1453 menandakan dimulainya usaha untuk mewujudakan mimpi tersebut. Ia sedari awal sadar untuk mewujudkan mimpi tersebut tidak semudah membalikan telapak tangan, karena sebelumnya ia sudah  mempelajari kegaalan-kegagalan penyerangan sebelumnya yang terbentur oleh kokohnya benteng Konstantinopel. Setelah mengerahkan mesin perang yang begitu dasyat selama hampir dua bulan, pada akhirnya tepat pukul 06.00 waktu setempat tanggal 29 Mei 1453, Konstantinopel dapat ia kuasai sepenuhnya.
Tanggal 29 Mei 1453 menjadi hari istimewa bagi seluruh umat Islam pada saat itu terutama bagi sang sultan karena ia berhasil mewujudkan mimpi Rosulullah SAW. Tepat saat umurnya 21 tahun lebih 2 bulan, ia berhasil mewujudkan mimpi tujuh abad umat Islam setelah usaha pertama yang dilakukan oleh Bani Ummayah pada tahun 669 M. sultan yang kemudian kita kenal dengan nama Muhammad al Fatih tersebut berhasil bangkit dari keterpurukannya untuk dapat meraih sebuah impian, tidak saja imipian dari dirinya melainkan impian dari Rosulullah SAW dan bahkan seluruh umat Islam. Sultan Muhammad II berhasil memanfaatkan kesempatan kedua yang datang menghampirinya sehingga ia berubah dari seorang pesakitan menjadi pahlawan Umat Islam yang gemilang.
Sebagai seorang manusia yang tentunya pernah mengalami fase kegagalan dan kesuksesan di dalam hidup kita, sudah sewajarnya kita bisa belajar dari perjalanan hidup Muhammad al Fatih, yang ternyata juga pernah mengalami kegagalan di awal karirnya sebagai Sultan. Seperti ia yang tidak larut dalam meratapi kegagalannya dan terus berusaha dengan banyak-banyak belajar, kita juga harus seperti bliau yang yakin bahwa akan selalu ada kesempatan kedua, ketiga aatau keempat dan seterusnya, kita harus bisa memanfaatkan kesempatan yang dating kemudian dengan catatan kita sudah mengevaluasi kegagalan kita sebelumnya agar tidak terperosok pada jurang yang sama.
Sekarang semuanya pilihan ada pada diri kita, apakah akan menghabiskan sisa umur kita dengan meratapi sebuah kegagalah ataukah bangkit dengan berusaha untuk meraih kegemilangan sebuah impian. Seperti seorang bayi yang baru belajar jalan yang mengalami proses jatuh bangun, kehidupan kita juga demikian, kita tidak akan langsung memperoleh kesuksesan, di dalamnya pasti aka nada proses jatuh bangun. Pilihannya apakan kita akan menyerah hanya karena tersandung oleh sebuah kerikil, atau kita tetap fight dengan menyingkirkan kerikil2 yang ada.
Rabu, 15 Juni 2011
Varna-Manisa-Edirne-Konstantinopel-Rantau Jaya

Senin, 10 Januari 2011

ISLAM dan “Kemerdekaan Berfikir”

Dalam Islam akal diletakkan pada tempat yang terhormat dan menjadikannya sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan. Banyak terdapat dalam Al-Quran, pertanyaan-pertanyaan yang menarik untuk kita cermati, menyuruh kita sebagai manusia untuk mempergunakan akal dan pikiran kita dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh: “Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?; Pernahkah kamu perhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?; Maka pernahkah kamu memperhatikan tentang api yang kamu nyalakan (dengan kayu)? Kamukah yang menumbuhkan kayu itu ataukah Kami yang menumbuhkan?” (Q.s. Al-Waqi'ah : 63-64; 68-69; 71-72).

Setiap manusia yang berakal dan mempergunakan akalnya tersebut pasti akan sangat terkesan terhadap Islam, seperti ayat-ayat Al Qur’an di atas Islam dengan indahnya membawa manusia mengenal akan Tuhannya yaitu Allah SWT. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa salah satu jasa Islam terhadap manusia ialah bahwa Islam “memobilisasi akal”, membuka pikiran, dan membuka akal manusia selain tentunya jiwa dan raganya. Tidak percaya? Coba bukalah Al Qur’an halaman mana saja, ayat berapapun atau surat apapun, pasti bagi yang membacanya akan merasakan betapa besarnya dorongan Islam terhadap manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya sebagai suatu rahmat Allah SWT yang sangat berharga.

Seorang Muslim diwajibkan baginya untuk menggunakan akal dan pikirannya dalam menelaah Al Qur’an sehingga dapat mengerti akan maksud dan tujuannya, karena ayat-ayat Al Qur’an tersebut diturunkan bagi mereka yang mau berpikir, dan mau untuk mengambil suatu makna dari dalam Al Qur’an. ...”sesungguhnya telah kami jelaskan tanda-tanda (kebesaran Kami) kepada orang-orang yang mengetahui” (Q.s. Al-An'am ; 98). Islam sangat tidak menyukai kepada mereka yang tidak mempergunakan akalnya, orang-orang yang sangat terikat pikirannya dengan kepercayaan dan isme-isme yang tidak berdasarkan pada suatu dasar yang benar. Islam juga sangat benci kepada mereka yang tidak mau memeriksa apakah kepercayaan dan isme-isme yang mereka anut tersebut benar atau berdasarkan kepada suatu yang benar atau tidak. Secara tegas, Islam melarang kita untuk bertaklid-buta terhadap kepercayaan dan isme-isme yang tidak berdasarkan pada wahyu Allah SWT, yaitu kepercayaan atau isme-isme hasil dari “pemikiran liar” manusia semata dan diturunkan secara turun-temurun tanpa adanya pemeriksaan tentang baik atau tidaknya. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Q.s. Bani Israil: 36).

“Kemerdekaan Berpikir”, telah membebaskan kaum Muslim dari kekakuan berpikir yang membekukan otak dan telah melenyapkan kemalasan berpikir dari masyarakat Muslim. “Kemerdekaan Berpikir” telah melahirkan seorang yang bernama Washil bin Atha yang telah berani menentang arus dan berani beri’tizal memisahkan diri dari mazhab gurunya Imam Hasan Basri. “Kemerdekaan Berpikir” telah memunculkan Abu Huzhail Al’Allaf dan para pemikir-pemikir lainnya yang pada akhirnya mereka melahirkan sebuah aliran atau mazhab baru dalam Islam, yaitu mazhab Muktazilah. Muktazilah yaitu sebuah mazhab yang berkaitan dengan teologi. Di sini para ahli memandang Islam dengan pikiran Rasionalis sehingga mereka berpendapat bahwa Al Qur’an merupakan makhluk ciptaan Allah SWT. Mazhab Muktazilah berkembang pada masa dinasti Abbasiyah terutama saat kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun.(Philip K. Hitti: 2002). Namun, dengan “Kemerdekaan Berpikir” pula lahirlah seorang yang bernama Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari (935-936 M) salah satu keturunan Abu Musa al-Asy’ari arbitrator dari pihak Ali bin Abi Thalib dalam konflik dengan Mu’awiyah.(Philip K. Hitti: 2002) Ali al-Asy’ari merupakan murid seorang teolog Muktazilah, yaitu al-Zubbai. Pada perkembangan berikutnya Ali al-Asy’ari merubah pandangannya dan berani memisahkan diri dan meninggalkan mazhab Muktazilah dan membantah beberapa ajaran-ajaran “rasionalis” kaum Muktazilah dengan menggunakan senjata kaum Muktazilah sendiri yakni “Kebebasan Berpikir” tersebut.

Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari dengan filsafatnya mengemukakan teori tentang ‘ainus-syai’ yang lebih hebat bila dibandingkan dengan teori “Das Dingansich” yang dikemukakan oleh Immanuel Kant. Ali al-Asy’ari dengan teori Qadha dan Qadhamnya lebih baik dibandingkan dengan teori Harmonia Praestabilita yang dikemukakan oleh Leibniz. “Kemerdekaan Berpikir” telah melahirkan al-Ghazali, Ibnu Thaimiyah, Muhammad ‘Abduh dan lain-lainnya, para ulama yang tidak bisa dipungkiri lagi kecerdasan dan keshalehannya.

Namun sebaliknya, karena “Kebebasan Berpikir” tersebut kemudian muncul paham-paham atau isme-isme yang berdasarkan pada paham anthropomorphisme yakni paham yang mendefinisikan Tuhan/Allah SWT mempunyai sifat dan bentuk layaknya seorang manusia, hal ini tentunya sangat bertentangan dengan Aqidah, ruh dan spirit Islam. Karena “Kebebasan Berpikir” tersebut pula muncul paham pantheisme yaksi suatu paham yang meyakini Tuhan adalah segalanya dan segalanya adalah Tuhan, serta Alam Semesta ini adalah Tuhan dan sebaliknya, dalam kalangan para ahli tasawuf. Mengapa hal ini dapat terjadi? Karena “Kebebasan Berpikir” mereka yang tidak mau tahu dengan aturan atau tata cara menafsirkan Al Qur’an dan Hadist. Mereka dengan seenaknya mengatasnamakan “Kebebasan Berpikir” membolak-balikan dan membelokan makna dari Al Qur’an dan Hadist sesuai dengan kehendak nafsu mereka dan kepentingan mereka yang berdasarkan pada pemikiran “liar” mereka pula. Maka tidak heran bila karena ‘Kebebasan Berpikir” tersebut lahirlah seorang manusia semacam Al-Halladj yang mengungkapkan “ana Al-Haqq" yang atrinya akulah Tuhan! Na’uzhubillahi min zhalik.

Karena “kebebasan berpikir’ pulalah, demi mengatasnamakan humanisme akhir-akhir ini muncul paham atau isme yang menganggap semua agama itu pada intinya sama dan benar. Apakah “pikiran liar” mereka tidak bisa memaknai kata-kata berikut ini: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yng Maha Esa, Allah tempat meminta segala sesuatu, (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. Al-Ikhlas: 1-4). Islam tidak hanya berbicara mengenai benar dan salah. Islam tidak hanya mengenai perbuatan baik atau jahat. Akan tetapi Islam berbicara lebih dari pada itu yakni, segala sesuatu yang baik dan benar tersebut ditujukan pada siapa, segala yang buruk dan jahat tersebut dipertangungjawabkan kepada siapa, tentunya semua itu kepada Allah SWT. Islam menghargai keberagaman, Islam juga menghormati pluralitas. Akan tetapi dengan sikap menghargai tersebut tidak menjadikan yang benar sama dengan yang salah, yang benar adalah benar yang salah adalah salah, karena kebenaran hanya satu.

“Kebebasan Berpikir” bisa memperkuat dan memperteguh iman kita. Menambah khusyu’ dan tawadhu’ kita terhadap kebesaran Allah SWT, serta membantu kita memahami rahasia-rahasia firmanNya. “Kebebasan Berpikir” menolong kita memahami hikmah-hikmah yang terkandung dalam setiap perintah dan ajaran agama, serta mempertinggi dan memperhalus perasaan keagamaan kita. “Kebebasan Berpikir” dapat membersihkan agama kita dari kotoran-kotoran berbahaya yang bertentangan dengan agama Islam itu sendiri. “Kebebasan Berpikir” membukakan jendela alam pikiran kita agar dapat udara apek dan busuk dengan udara yang bersih dan segar.

Akan tetapi, “kemerdekaan berpikir” dapat pula menghancurkan tiang-tiang agama, menggulirkan bola panas yang melebihi batas. Ia tidak hanya dapat memasukan angin sejuk dan segar saja melainkan juga dapat memasukan angin topan yang menghancurkan apa saja yang berada di lintasannya. “Kebebasan berpikir” bagaikan api yang berbentuk lampu yang gemerlapan memandu kita dalam kegelapan, akan tetapi sering pula ia menyala berkobar-kobar membakar rumah dan sebagainya. Betapa indahnya “kebebasan berpikir”, betapa berbahayanya “kebebasan berpikir”. Jadi sekarang apakah kita hanya akan berpegangan pada “kebebasan berpikir” semata? Tentunya tidak dengan disiplin mempelajari Islam dapat membawa kita pada esensi Islam yang sesungguhnya.

Rantau Jaya, 10 Januari 2011
Akur Wijayadi

Selasa, 04 Januari 2011

Kaum Muslim Modern Indonesia: Akar Pendidikan Barat Pada Masa Pemerintahan Hindia-Belanda

Kaum Muslim Modern Indonesia:
Akar Pendidikan Barat Pada Masa Pemerintahan Hindia-Belanda

A.     Pendahuluan
Saat memasuki abad ke-19, kaum terpelajar Nusantara seolah berdiri di ambang persimpangan jalan. Jalan pengetahuan ke Mekkah yang diwarisi dari abad-abad sebelumnya melalui jaringan ulama internasional masih terbentang. Pada saat yang sama, pendalaman penetrasi kolonialisme dan kapitalisme  Belanda secara tak terelakkan membawa rezim pengetahuannya sendiri, yang membuka jalan intelektual baru ke “Barat”.[1] Penetrasi kapitalis pada paruh kedua abad ke-19 dalam era kolonial Belanda berperana penting dalam mendorong pemerintah kolonial untuk memperkenalkan sistem pendidikan bergaya Barat ke masyarakat Hindia Belanda. Pada perkembangan selanjutnya, kebijakan “politik etis” yang dipromosikan oleh politisi “sayap kanan” di Belanda pada dekade-dekade awal abad ke-20 membawa proses transformasi di dunia pendidikan ini ke tahap yang lebih jauh.
Dibangkitkan oleh gelombang pasang gerakan-gerakan liberal dan revolusi demokratik di Eropa sekitar 1840-an[2], sayap Liberal di negeri Belanda yang dipimpin oleh Jan Rudolf Thorbecke dengan cepat merespons momentum politik itu dengan mengubah haluan Undang-Undang Dasar negeri tersebut dari konservatisme menuju liberalisme. Dengan UUD 1848 ini, Belanda berubah menjadi sebuah negara monarki konstitusional, dengan sang Ratu menjadi bertanggung jawab kepada parlemen. Sebagai konsekuensinya, negara Belanda berubah dari kekuasaan dengan otoritas absolut menjadi kekuasaan dengan hukum. Dalam bidang pendidikan, UUD 1848 menjamin pendidikan secara bebas bagi setiap orang di negeri Belanda yang selanjutnya memiliki “efek turunan ke bawah” berupa lahirnya sebuah sikap baru terhadap persoalan pendidikan di Hindia Belanda.[3]
Dalam konteks aspirasi-aspirasi kaum Liberal mengenai kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi, upaya untuk memperoleh kendali atas keuntungan-keuntungan kolonial berarti mendesak pemerintahan kolonial untuk melindungi modal swasta dalam rangka mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan yang baru. Peralihan menuju ekonomi Liberal pada kenyataannya memerlukan bukan hanya reformasi konstitusional, melainkan juga dukungan infrastruktur, terutama perbaikan pelayanan-pelayanan birokrasi yang pada gilirannya menuntut perbaikan sektor perbaikan di Hindia Belanda.
Pada tahun 1888 ketika posisi kaum konservatif  lama digantikan oleh kekuatan aliansi antara kaum Anti-Revolusioner dengan Kalvinis dan “Romanis”,[4] yang menyempal dari sekutu tuanya, yakni Partai Liberal, yang kemudian membentuk sebuah Partai Kristen baru sebagai sebagai Sayap Kanan untuk berhadapan dengan Sayap Kiri, kelompok sekuralis. Barang kali secara tak terduga, partai Kanan itulah justru yang pertama kali mendeklarasikan sebuah kebijakan kolonial baru yang menegaskan bahwa eksploitasi, entah oleh negara maupun oleh perusahaan swasta, haruslah didasarkan pada sebuah kebijakan yang bertanggung jawab secara formal.[5]
Yang menjadi pendorong bagi munculnya kredo dari Partai Kristen itu adalah adanya kemerosotan yang terus menerus dalam kehidupan sosial di Hindia Belanda sebagai akibat dari stagnasi ekonomi, kegagalan panen, penyakit ternak, kelaparan, dan kondisi-kondisi kesehatan yang memperihatinkan. Beragam malapetaka sosial ini merupakan konsekuensi-konsekuensi tak diinginkan dari ekonomi Liberal yang kemudian menciptakan sebuah iklim opini baru di negeri Belanda. Semua partai yang ada menjadi lebih mendukung aktivitas negara dalam persoalan ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan, yang menempatkan kesejahteraan Hindia-Belanda sebagai latar depan dari kebijakan kolonial. Maka, setelah Pemilihan Umum 1901 yang menghasilkan kemenangan sayap kanan, liberalisme menjadi sebuah kredo yang usang, dan digantikan oleh semangat kasih Kristen.[6]
Partai Kristen berhasil meraih kekuasaan karena posisinya sebagai pembela tanggung jawab moral. Dengan semangat tanggung jawab moral itu pula, Ratu Wilhelmina dalam pesan tahunnannya yang disampaikan di hadapan Dewan Parlemen pada tahun 1901 mengemukakan “utang budi” dan tanggung jawab etis negeri Belanda kepada rakyat Hindia Belanda. Orientasi baru dalam perlakuan kolonial terhadap Hindia-Belanda ini dikenal dengan istilah “Politik Etis”.
Datangnya era Etis ini juga membawa sebuah kisah baru dalam perlakuan pemerintah kolonial terhadap Islam, terutama di bawah pengaruh seorang ahli kebudayaan Arab dan Islam yaitu Christiaan Snouck Hurgronje yang datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1889. Pada tahun yang sama, dia ditunjuk sebagai seorang penasihat bagi Kantor Urusan Orang Pribumi dan Arab.[8] Dalam posisinya tersebut, dia mulai memperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk mengahadapi persoalan-persoalan yang menyangkut Islam.
Snouck melakukan kaunter terhadap ketakutan orang Belanda terhadap Islam, baik di tingkat Internasional maupun lokal, dengan mengkritik miskonsepsi-miskonsepsi orang Belanda mengenai Islam. Dia menekankan watak damai dari perangai Islam di kepulauan Hindia-Belanda, meskipun ia juga mengakui adanya potensi bahaya dari minoritas kecil ulama fanatik yang terpengaruh oleh gagasan pan-Islamisme. Sehubungan dengan itu, dia mengajukan rekomendasi-rekomendasi kebijakan terhadap Islam dalam suatu kerangka kerja yang disebut “splitsingstheorie”.[9] Teori ini membagi Islam menjadi dua bagian, yang pertama yaitu Islam yang bersifat keagamaan, dan yang kedua yaitu Islam yang bersifat politik. Pemerintah kolonial harus menghormati dimensi kehidupan Muslim yang pertama, sedangkan untuk dimensi Islam yang kedua tidak ada toleransi untuknya.
Pergeseran dalam kebijakan kolonial terhadap Islam ini ternyata merupakan langkah awal dalam visi Snouck untuk terciptanya Hindia-Belanda yang ideal pada masa depan. Snouck percaya bahwa kepemimpinan masyarakat Hindia-Belanda pada masa depan tidak bisa bergantung pada kaum Muslim yang taat dan pada para tetua adat. Menurutnya, kaum Muslim yang taat tidak bisa terlalu diharapkan untuk bisa mengembangkan sebuah ikatan yang lestari antara negeri Hindia-Belanda dengan negeri Belanda. Sementara itu, para tetua adat yang telah lama menjadi pengahadang terkuat untuk melawan Islam, terlalu konservatif untuk bisa diharapkan sebagai pengusung tujuan-tujuan jangka panjang pemerintahan kolonial. Karena sebuah Hindia-Belanda yang modern tak bisa dipimpim baik oleh kaum Muslim maupun para tetua adat , maka Snouck menyadari pentingnya menciptakan para elite Hindia-Belanda yang baru yang berorientasi Barat. Para elite yang berorientasi Barat inilah yang diharapkan bisa merawat masyarakat Hindia-Belanda modern seiring dengan garis-garis kebijakan “asosiasi”. Kata “asosiasi” yang dimaksudkan di sini ialah upaya untuk mewujudkan sebuah negara Belanda Raya, yang terdiri dari dua wilayah terpisah secara geografis, tetapi merupakan bagian-bagian yang terkait secara spiritual. [10]
Demi tercapainya tujuan tersebut, Snouck memberikan rekomendasi kepada pemerintah kolonial untuk mengenalkan instisusi pendidikan berskala-luas di atas landasan universal dan bersifat netral secara keagamaan sehingga akan bisa memisahkan elite baru dari keterikatan keagamaanya. Dalam konteks ini berarti menjauhkan elite baru dari ajaran Islam. Dengan demikian, proses kelahiran kesadaran nasional Hindia-Belanda akan dipandu melalui kerja sama dengan, dan arahan dari pihak Belanda, dan tidak dirahkan oleh gerakan pan-Islamisme yang berbahaya secara politik. Mengutip retorika yang disampaikan oleh Snouck:
Mengasuh dan mendidik merupakan sarana-sarana untuk mencapai tujuan itu. Bahkan, di negeri-negeri yang kebudayaan Muslimnya jauh lebih tua dibandingkan dengan kepulauan ini, kita bisa melihat hal tersebut bisa bekerja secara efektif untuk membebaskan para pemeluk Islam dari beberapa sampah Abad Pertengahan yang telah dihela sekian lama oleh Islam dalam gerak hidupnya.[11]
Introduksi kebijakan-kebijakan Liberal dan Etis sudah barang tentu mencitakan struktur peluang politiknya tersendiri, yang bisa menghalangi atau memungkinkan perkembangan-perkembangan dalam bidang tertentu dalam bidang pendidikan, intelektual, politik dan keagamaan di Hindia-Belanda.
B.     Dari Misionaris Hingga Sistem Liberal
Keberadaan dan ketiadaan bentuk-bentuk pendidikan tertentu dalam sebuah masyarakat memberikan tidak hanya skemata bagi pembedaan kelas dan prinsip-prinsip fundamental dari kemapanan tertib sosial, melainkan jugamenjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif. Konsepsi pendidikan sebagai sebuah medan gaya dari relasi-relasi kuasa yang penuh konflik dtujukan dengan baik oleh situasi pendidikan selama kekuasaan kolonial Belanda. Di bawah kekuasaan tersebut, pendidikan semakin meneguhkan perbedaan status. Dengan begitu, pendidikan menjadi faktor yang mempersatukan orang-orang dalam aneka kelompok sekaligus yang menjadi sekat pemisah antara kelompok-kelompok itu.[12]
Sampai pada abad ke-19, pengetahuan dan institusi pendidikan di Hindia-Belanda masih serupa dengan pengetahuan dan institusi pendidikan di kebanyakan sistem religio-politik tradisional di seluruh dunia. Pengetahuan dan pendidikan dalam dunia pra-modern cenderung disubordinasikan pada hal-hal yang sakral. Agama menjadi dasar alasan, tujuan, dan isi dari pendidikan tradisional, sekaligus menjadi penyedia guru-guru dan tempat bagi proses belajar. Penguasa mengayomi proses pembelajaran sebagai bagian integral dari patronase keimanan. Situasi demikian juga merupakan gambaran situasi pendidikan di Hindia-Belanda sebelum diperkenalkannya sistem pendidikan sekuler yang disponsori oleh pemerintah kolonial Belanda. Di wilayah-wilayah dimana Islam mempunyai pengaruh yang sangat kuat, anak-anak dari golongan bangsawan, dari para pedagang Muslim, dan keluarga-keluarga yang taat pada agama lainnya dimasukan ke dalam sekolah-sekolah Islam tradisional seperti pesantren, surau, atau barang kali ke pusat-pusat belajar Islam di Timur Tengah.
Kepentingan ekonomi dan keinginan untuk tetap mempertahankan perbedaan status merupakan beberapa alasan dibalik ketidaktertarikan pemerintah kolonial terhadap persoalan pendidikan kaum pribumi. Ada semacam rasa superioritas Barat di kalangan orang-orang Belanda yang membuat mereka merasa tak terpanggil untuk memperkenalkan dunia kehidupan peradaban Barat kepada kebudayaan-kebudayaan pribumi.
Di tengah ketidaktertarikan pihak pemerintah kolonial terhadap urusan pendidikan kaum pribumi, usaha rintisan untuk memperkenalkan sistem pendidikan modern Barat kepada lapisan-lapisan masyarakat Hindia-Belanda tertentu dilakukan oleh misi-misi Kristen. Kegiatan misionaris dalam pendidikan demi tujuan-tujuan evangelis semakin tampak nyata pada tahun 1816 sehingga muncul istilah yang disebut dengan “Zaman Misi”.[13] Mengikuti jejak misi Katholik, mulai dari 1820-an dan seterusnya misi-misi dan sekolah-sekolah Kristen menyebar luas di seluruh pulau-pulau di Hindia-Belanda­­__kecuali di daerah-daerah tempat Islam telah berakar kuat.
        Di samping menjadikan sekolah-sekolah sebagai sarana menyebarluaskan Injil dan menarik para pengikut Kristen baru, sekolah-sekolah ini juga menawarkan keuntungan-keuntungan lain buat para pengikut barunya . menjadi Kristen , juga berarti menjadi terBaratkan, dan pendidikan merupakan bagian integral dari westernisasi.
            Titik balik sikap pemerintah kolonial terhadap urusan pendidikan kaum pribumi di Hindia-Belanda berlangsung pada paruh kedua abad ke-19 sebagai akibat dari pengaruh politik kaum Liberal dalam persoalan-persoalan tanah jajahan. Untuk memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi kaum Liberal di negeri jajahan, perluasan birokrasi pemerintahan merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Dalam konteks inilah, baik kantor pemerintahan sipil untuk orang Eropa dan juga kantor pemerintahan sipil untuk kaum Pribumi dalam pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka dan merekrut banyak pekerja terampil. Ini pada gilirannya mendorong pemerintah kolonial untuk lebih memberikan perhatian kepada masalah pendidikan.
            Bagi pemerintah kolonial , dunia pendidikan ini mengandung sebuah dilema. Di satu sisi, hal tersebut sangat penting untuk mendukung ekonomi – politik industrialisasi dan birokrasi. Di sisi lainnya, pendidikan mengandung ancaman potensial bagi eksistensi mengenai superioritas kolonial. Dilema tersebut dipecahkan dengan membangun pendidikan yang didasarkan pada prinsip segregasi etnik dan hirerarki status. Dengan dasar pembedaan status ini, sifat dari kebijakan-kebijakan awal dalam dunia pendidikan di Hindia-Belanda adalah antiasimilasi, elitis, dan dualistik.[16]
            Untuk melayani orang-orang dari kelompok status yang paling tinggi, prototipe pendidikan dasar bergaya Eropa direorganisasi menjadi sekolah dasar tujuh tahun, dengan memasukan mata pelajaran bahasa Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Sekolah ini lebih populer dikenal sebagai Euroeesche Lagere School (ELS). Pada awalnya, sekolah ini diperuntukan secara eksklusif bagi anak-anak orang Eropa. Sekolah ini terbuka bagi kalangan yang sangat terbatas bagi golongan pribumi.
            Pada akhirnya, pemerintah kolonial mendirikan sebuah sekolah bagi kaum pribumi. Sekitar tahun 1849, dilakukan sebuah eksperimen untuk mengelola dua sekolah dasar rakyat, dan pada tahun 1852 jumlah sekolah tersebut meningkat menjadi 15. Dengan menggunakan bahasa daerah, sekolah-sekolah baru tersebut pada awalnya didirikan guna mempersiapkan anak-anak priyayi pribumi untuk menjadi pegawai adminitrasi kolonial dan juga untuk membatasi orang-orang pribumi yang mau memasuki ELS. Namun, dalam perkembangannya ternyata anak-anak priyayi lebih menyukai sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran dalam bahasa Belanda, karena memberikan prospek pekerjaan dan status sosial yang lebih baik. Untuk menjawab tuntutan tersebut, dua tipe sekolah dasar bagi lapisan-lapisan Boemipoetra diperkenalkan pada tahun 1893, yaitu: Sekolah Pribumi Kelas Satu dan Sekolah Pribumi Kelas Dua. Sekolah yang pertama diperuntukan bagi anak-anak dari keluarga-keluarga priyayi dan kaya. Di sini, bahasa Belanda diajarkan pada tahun-tahun pertama dan dipakai sebagai bahasa pengantar pelajaran pada tahun terakhir. Sekolah yang kedua diperuntukan bagi anak-anak dari golongan rakyat biasa dan tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda.[17]
            Meski sistem sekolah Eropa yang ada masih tetap sangat mengistimewakan orang-orang Eropa dan priyayi kelas atas, peluang bagi kalangan yang lebih rendah untuk memperoleh pendidikan secara lebih baik dimungkinkan oleh adanya lubang-lubang kesempatan yang ada dalam kebijakan diskriminasi kolonial itu sendiri. Karena perluasan birokrasi Liberal membutuhkan staff teknis, pemerintah memutuskan untuk mendirikan sekolah kejuruan. Kurangnya guru-guru yang memenuhi syarat menjadikan sekolah buru sebagai suatu keharusan. Maka didirikanlah Kweekscool (sekolah pelatihan guru pribumi). Perluasan pelayanan kesehatan pemerintah juga membutuhkan tenaga-tenaga medis semi-terampil. Maka diadakanlah pelatihan-pelatihan dan kursus-kursus sehingga menjadi apa yang disebut sebagai sekolah “Dokter Djawa”. Smentara itu, kebutuhan akan tenaga pegawai sipil pribumi yang terlatih memdorong pemerintah untuk membuka Hoofdenscholen yang lebih populer dengan istilah “Sekolah Radja”.
C.     Politik Etis Sebagai Sekularisasi Pendidikan
Di bawah pengaruh semangat Etis, sistem pendidikan dari periode Liberal direorganisasi dan disesuaikan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan baru. Terdapat dua pendekatan yang saling melengkapi dalam proyek ini. Snock Hurgronje dan J.H. Abendanon, lebih menyukai pendidikan yang bersifat elitis dalam kerangka ambisi mereka untuk mentransformasikan priyayi tradisional menjadi sebuah elite baru yang terdidik secara Barat. Dalam pandangan kedua orang tersebut, memberikan memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk melatih elite pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untuk mengangani pekerjaan pemerintah sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan ini juga dapat memangkas biaya-biaya administratif, menghambat fanatisme Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia-Belanda.[18] Kombinasi dari pendekatan-pendekatan semacam itu melahirkan munculnya beragam lembaga pendidikan, dan sekaligus berperan penting dalam memecah-belah maupun menyatukan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat kolonial.
            Sejak tahun 1907, bagi orang-orang biasa dan penduduk desa, pemerintah mendirikan sebuah sekolah dasar rakyat dengan lama pendidikannya tiga tahun yang disebut dengan Volksschool. Para lulusan sekolah ini boleh melanjutkan ke Inlandsche Vervolgschool (sekolah menengah pribumi) dengan masa studi dua tahun. Semua sekolah tersebut menjalankan proses pengajarannya dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal atau melayu.[19]
            Bagi anak-anak priyayi dan keluarga-keluarga kaya, pemerintah berusaha untuk memperluas akses mereka terhadap sistem sekolah Eropa yangt menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pengajaran. Usaha-usaha ini di dorong oleh kebijakan asosiasi dan oleh berkembangnya tuntutan dari para priyayi dan keluarga-keluarga kaya yang memandang sekolah semacam itu dan penguasaan atas bahasa Belanda sebagai cara baru untuk mempertahankan atau mengangkat status sosial mereka. Munculnya pandangan semacam itu oleh golongan priyayi dan keluarga-keluarga kaya disebabkan dorongan semakin dalam penetrasi apa yang disebut dengan proses pem-Belanda-an dalam kehidupan sosial di Hindia-Belanda.  Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, didirikan sekolah baru bagi para priyayi dan keluarga-keluarga kaya.
            Pada level sekolah dasar, perkembangan paling penting adalah diubahnya Sekolah Pribumi Kelas Satu menjadi Hollandsch-Inlandsche School (HIS, Sekolah Belanda untuk Pribumi) pada tahun 1914. Secara teori, sekolah ini diperuntukan bagi anak-anak dari kalangan bangsawan dan kaum bumiputera terpandang. Akan tetapi, anak-anak dari petinggi-petinggi pribumi dan orangorang kaya lokal masih tetap lebih suka memasuki ELS. Sehingga mayoritas pelajar HIS berasal dari kalangan priyayi rendahan.
            Pada level sekolah menengah, pemerintah berusaha memenuhi kebutuhan kaum pribumi akan adanya sekolah HBS, dengan mendirikan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada tahun 1914. Kemudian pada tahun 1918, pemerintah memperkenalkan sekolah menengah atas dengan lama studi tiga tahun  yaitu, Algemeene Middelbare School (AMS). Pendirian AMS dimaksudkan untuk mempersiapkan para siswa dari MULO untuk meraih posisi-posisi yang lebih tinggi atau untuk bisa masuk universitas.
            Pada tahun 1900-1902, sekolah Dokter-Djawa diubah menjadi STOVIA (School tot opleiding Van inlandsche artsen). Sekolah ii sekarang sederajat dengan universitas tingkat rendah, tetapi masih diklasifikasikan sebagai sekolah-sekolah kejuruan, dan para lulusan sekolah ini mendapatkan gelar “Dokter Hindia”. Reorganisasi yang serupa juga berlangsung untuk sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi. Selain itu pemerintah juga memperkenalkan sekolah-sekolah kejuruan yang baru.
            Selain dari reorganisasi dan diperkenalkannya beragam sekolah baru di Hindia-Belanda, menjelang abad ke-20 telah ada sebuah eksperimen rintisan untuk mengirimkan beberapa anak yang diseleksi secara ketat dari keluarga-keluarga bangsawan ke negeri Belanda. Meskipun pemerintah tidak pernah membuat kebijakan resmi untuk mendorong para pribumi untuk melanjutkan belajar ke negeri Belanda, Snouck Hurgronjr dan J.H. Abendanon melakukan upaya khusus untuk memberi jalan bagi anak-anak dari keluarga terkemuka agar bisa memasuki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi di negeri Belanda.
Apa pun tujuan dari diperkenalkannya dan direorganisasikannya beragam sekolah tersebut, dampak langsungnya terhadap kehidupan sosial di Hindia-Belanda sangat nyata yaitu, meningkatnya secara signifikan jumlah pribumi yang terdidik secara Barat. Sehingga Yudi Latief dalam bukunya menyimpulkan hal sebagai berikut:
Meningkatnya jumlah pribumi yang terdidik secara Barat menimbulkan konsekuensi yang tak terduga. Penguasaan modal kultural baru menyebabkan meningkatnya ekspetasi-ekspetasi mereka, sehingga mendesak pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan-tuntutan kesempatan kerja serta aspirasi-aspirasi mereka akan kemajuan. Dengan diperkenalkannya sekolah-sekolah kejuruan dan sekolah-sekolah pribumi bergaya Eropa, banyak anak dari kalangan priyayi rendahan serta status sosial biasa lainnya memperoleh pendidikan yang lebih baik. Orang-orang terdidik dari kelompok-kelompok sosial inilah yang akan menjadi tulang punggung bagi terbentuknya inteligensia Hindia-Belanda.[20]
Generasi terpelajar yang baru lahir ini membentuk sebuah strata sosial yang relatif otonom yang berdiri sendiri, karena mereka mampu memisahkan dirinya baik dari kelas yang mapan maupun dari kelompok status tradisional. Seperti yang diamati oleh Harry J. Benda:
Lebih merupakan sebuah pengecualian ketimbang sebuah kelaziman bahwa para aristokrat muda, anak tuan-tuan tanah, atau dalam kasus ini bahkan keturunan dari kelas borjuis yang baru tumbuh, begiru dia mendapatkan pendidikan Barat jenis apa pun, akan menjadi pembela dan juru bicara dari kelas yang menjadi asal-usul sosialnya.[21]
Kebanyakan anggota dari strata baru ini menjadi pegawai pemerintah. Dengan menduduki posisi-posisi rendahan dan menengah, karena orang-orang Belanda masih tetap mendominasi posisi-posisi yang lebih tinggi.
Generasi-generasi awal dari kaum terpelajar Hindia-Belanda ini mengalami proses sekularisasi yang intens sebagai akibat dari sifat sekuler kebijakan pendidikan Liberal dan kebijakan asosiasi dari rezim Etis. Sebagai hasil dari proses sekularisasi ini, kebanyakan individu dari kaum terpelajar ini mulai memisahkan diri mereka dari dunia pemikiran agama. Bahkan, untuk anak-anak dari priyayi Muslim yang taat, pengruh proses sekularisasi yang terlembaga dalam pendidikan Barat ini sangat sulit untuk dihindari.
D.    Munculnya Kaum Muslim Modern Indonesia
Dalam perkembangannya, ternyata bebeberapa dari generasi terpelajar ini berasal dari keluarga-keluarga priyayi Muslim yang taat. Sejumlah pelopor dari dari gerakan kebangsaan Indonesia seperti, Tjipto Mangunkusumo, Sutomo, Tirto Adhi Surjo, dan produk-produk awal dari kebijakan asosiasi seperti Djajaningrat bersaudara (Ahmad, Hasan, dan Husein), serta figur berpengaruh dari SI H.O.S. Tjokroaminoto, merupakan anak-anak dari priyayi Muslim yang taat.
Namun, setelah mengenyam pendidikan sekuler secara intens, komitmen keislaman merekayang taat itu secara berangsur-angsur memudar. Pengakuan Agus Salim merefleksikan secara baik perubahan dalam sikap keagamaan ini:
Meskipun saya terlahir dalam sebuah keluarga Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak dari masa kanak-kanak, setelah masuk sekolah Belanda saya mulai merasa kehilangan iman.[22]
H. Agus Salim dengan terus terang mengakui bahwa pendidikan yang dia peroleh di sekolah menengah (HBS) telah menjauhkannya dari Islam.
            Akan tetapi, bagi beberapa kaum Muslim terpelajar Indonesia, merosotnya identitas Islam mereka bukanlah merupakan suatu kondisi yang tetap. Identitas beroperasi di bawah proses hapusan dalam interval antara timbul dan tenggelam. Identitas tunduk pada sebuah proses perubahan dan transformasi. Kecewa dengan dunia kehidupan priyayi dan beragam diskriminasi yang berlaku dalam sistem kolonial, dan/atau memiliki sebuah kesempatan untuk bergaul atau bergaul kembali dengan para anggota komunitas epistemik Islam, dengan tokoh-tokoh Muslim atau jaringan sosio-ekonomi Islam, beberapa dari kaum terpelajar Muslim ini sanggup memulihkan kembali afinitas mereka dengan komunitas-komunitas dan identitas-identitas Islam.
            Dalam hal ini, ada baiknya mengingat kembali bagian-bagian yang relevan dari biografi Agus Salim untuk bisa memahami secara lebihbak transformasi dari identitas-identitas mereka. Agus Salim memulai pendidikan modernnya di ELS Riau, dan melanjutkan studinya ke HBS di Jakarta dan di kota ini dia tinggal pada sebuah keluarga Belanda. Selanjutnya dia ingin melanjutkan studinya ke sekolah kedokteran di negeri Belanda, tetapi ayahnya tak mampu membiayainya. Snouck Hurgronje lalu menawarkan kepadanya sebuah alternative yang menjanjikan. Agus Salim ditawari untuk menjadi staf di konsulat Belanda di Jeddah Arab Saudi. AgusSalim menerima tawaran tersebut dan tiba di Jeddah pada tahun 1906. Konflik yang kerap terjadi dengan atasannya medorongnya untuk mendekatkan diri dengan komunitas epistemic Islam di Mekkah. Di sana ia bertemu dengan pamannya, Achmad Khatib, seorang ulama besar Hindia-Belanda. Pertemuan ini menjadi titik balik dalam penemuan kembali identitas Islamnya pada saat kembali ke Tanah Air pada tahun 1911,proses konversi internal ini menemukan ruang ekspresinya setelah bertemu dengan Tjokroaminoto pada awal than 1915,dan mengantarkan pada peranannya yang terkemuka dalam SI sejak tahun 1915. Pengalaman-pengalaman serupa dalam hal keterpisahan dan keterikatan kembali pada Islam bias dilihat pada biografi Tjokroaminoto dan Tirto Adhi Surjo.
            Pertemuan dari beberapa kaum Muslim terpelajar Indonesia dan tokoh-tokoh Islam,baik disengajamaupun tidak, karena alas an idelistik atau pragmatis, menjadi katalis bagi proses kembalinya mereka ke dalam komunitas Islam. Proses kembali ini tidak mesti menimbulkan perubahan-perubahan yang radikal dalam kesalehan dan pengetauan keagamaan mereka. Namun hal tersebut telah cukup membuat mereka terpaut kembali dengan “rumah” Islam.
            Setelah dilonggarkannya persyaratan “keturunan” pada tahun 1910-an, banyak anak dari priyayi Muslim rendahan dan pedagang Muslim memiliki kesempatan untuk bias masuk ke sekolah-sekolah bergaya Eropa. Reformasi pendidikan ini lalu membawa sebuah konsekuensi tak terduga, yaitu meningkatnya jumah kaum terpelajar Muslim.
            Memperoleh pendidikan sekuler, tetapi tak sudi menanggalkan keislamannya, beberapa kaum Muslim terpelajar ini berusaha mempertahankan hubungan mereka dengan jaringan-jaringan intelektual Islam. Hal ini kelak akan mendorong munculnya “intelek-ulama” yaitu kaum modern terpelajar yang melek dalam pengetahuan keagamaan.


[1] Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 77-78.
[2] Stroberg, R.N. , European Intellectual History Since 1789, Appleton-Century-Crofts, Ney York, 1968. Hlm. 72-78 dalam Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 78.
[3] Simbolon, P.T, 1995, Menjadi Indonesia, Vol. 1: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas, Hlm. 126-127.
[4] “Kaum Romanis merujuk pada para anggota atau pengikut Gereja Roma.
[5] Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 80
[6] Ibid. Hlm 80-81.
[7] Steenbrink K.A, 1993, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contracts and Conflicts, 1596-1950, trej. J. Seenbrink & H. Jansen,  Amsterdam: Rodopi. hlm. 98.
[8] Kantor ini pada jaman Jepang akan berubah menjadi Shumubu (Kantor Urusan Agama), mungkin bisa dianggap sebagai pendahulu dan pionir dari Departemen Agama Indonesia. Lihat Steenbrink K.A, 1993, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contracts and Conflicts, 1596-1950, trej. J. Seenbrink & H. Jansen,  Amsterdam: Rodopi. Hlm. 88.
[9] Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 82.

[10] Steenbrink K.A, 1993, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contracts and Conflicts, 1596-1950, trej. J. Seenbrink & H. Jansen,  Amsterdam: Rodopi. Hlm. 88.
[11] Ibid, hlm. 89
[12] Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 85.
[13] Steenbrink K.A, 1993, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contracts and Conflicts, 1596-1950, trej. J. Seenbrink & H. Jansen,  Amsterdam: Rodopi. Hlm. 98.
[14] Ibid, hlm. 98.
[15] Ibid, hlm. 98-99.
[16]Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 90.
[17] M.C. Ricklef, 2009, Sejarah Indonesia Modern (1200-2008), Jakarta: Serambi, hlm. 158.
[18] Ibid, hlm. 156.
[19] Ibid, hlm. 159.
[20] Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 100.
[21] Benda, H.J., “Non-Western Intelligentsias as Political Elities” dalam Political Change in Underdeveloped Countries: Nationalism and Comunism, ed. J.H. Kautsky, John Wiley and Sons, Inc., New York, hlm. 240 dalam Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 101.
[22] Salim, A. 1926, Rede van den heer Hadji A. Salim, Her Licht, no. 11-12, hlm. 26-33. Dalam Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 103.