Kitab Al Insan Al Kamil karangan
Abdulkarim Jailany telah tersebar di Indonesia (Malaka) bersama-sama dengan
karangan Fiqih lainnya. Dalam kitab tersebut, banyak diceritakan tentang Nabi
Khidhir yang disebut masih hidup. Diceritakan juga tentang tujuh petala bumi
yang artinya ialah tujuh lapis bumi yang masing-masingnya didiami oleh makhluk
berbagai macam bentuknya. Menurut kitab tersebut, di laut juga terdapat makhluk
yang mempunyai masyarakat sendiri.
Maka disusunlah dongeng itu,
dijadikan khayal untuk "tuah" raja. Karena Nabi Khidhir dalam tafsir
merupakan wazir dari Sultan Iskandar Zul Qarnain, maka Nabi Khidhir juga yang
menjadi Wali Hakim untuk menikahkan puterinya Raja Kida Hindi dengan Sultan
Iskandar. Sang puteri ialah "Syahrul Bariyah". Inspirasinya diambil
dari Al Qur' an, Surat "Lam Yakun" terdapat dua kalimat yang hampir
sama, yaitu Khairul Bariyah, artinya manusia yang baik dan Syarul Bariyah,
artinya manusia yang jahat. Maka dari itu nama tuan puteri menyerupai kedua
kalimat tersebut, yaitu Syahrul Bariyah, yang artinya ialah "bulan
orang". Tidaklah dipikirkan lagi apa arti dari nama yang demikian,
melainkan yang terpenting indah bacaannya, “Syahrul Bariyah”.
Pernikahan puteri Syahrul
Bariyah dengan Sultan Iskandar Zul Qarnain, menghasilkan seorang putera yang
diberi nama Aristun Syah. Apabila kita selidiki nama-nama raja Persia dan Iran,
tidak terdapat nama "Aristun”, yang ada hanyalah nama Aristo, filsuf
terkenal murid dari Plato. Aristo adalah guru yang mendidik Iskandar sebelum
baginda menjadi raja. Ahli-ahli sejarah filsafat menyatakan bahwa Iskandar
berjasa mempertemukan Filsafat Yunani dengan mistik India, karena pada dirinya
sangat besar pengaruh ajaran Aristoteles. Tetapi menurut sejarah tidak ada anak
Iskandar yang bernama Aristo atau Aristun.
Mengenai bumi berlapis tujuh dan
makhluk dasar laut, dilengkapi dengan turunnya Raja Suran ke dasar lautan
menggunakan keranda kaca. Di sana kemudian bertemu dengan Raja Lautan bernama
Aftabu’l Ardh. Dalam bahasa Arab tidak terdapat suatu kalimat dengan huruf
F.Th.B., sehingga tidak ada makna atau arti yang terkandung dalam kalimat Afthab.
Dari nahkah kuno “Sejarah Melayu” dapat membantu kita untuk membuka rahasia
yang ada. Dalam naskah tersebut bukan ditulis Afthab dengan huruf Faa bertitik
satu, melainkan huruf Qaaf yang bertitik dua, Aqthabul Ardh. Aqthab adalah
kalimat jama’ dari Quthub yang berarti wali tertinggi dalam kepercayaan orang
Shufi yang berjumlah tujuh orang, sehingga jama’nya menjadi aqthab. Naskah lama yang disalin dari tangan ke
tangan, turun temurun itu, pindah dari satu tangan ke tangan yang lain,
tidaklah mustahil apabila dalam satu penyalinan ada satu titik yang tertinggal
sehingga Quthub menjadi futub atau Aqthab menjadi Afthab. Di sini sangat jelas
betapa besar pengaruh Tasawuf terhadap susunan hikayat tersebut.
Raja Suran kembali ke daratan dengan
mengendarai kuda semberani yang bernama Farasu’l Bahri. Dalam hal ini sangat
tepat dalam memberikan nama karena Farasu’l Bahri mempunyai arti Kuda Lautan.
Akan tetapi, saat membuat nama untuk puteri Raja Aftabu’l Ardh yang dinikahkan
dengan Raja Suran, kembali terdapat kalimat yang sukar diartikan yaitu
“Mahtabul Bahr”. Mungkin lebih sesuai apabila ditulis “Mahbathul Bahr”, yang
berarti yang dalam sekali daripada lautan.
Putra Raja Suran yang bernama
Bicitram Syah, merasa sedih karena mendapat pembagian kerajaan yang keci dari
ayahnya, sehingga ia meninggalkan kampung halamannya. Kemudian pada hikayat
yang ke dua, disebutkan bahwa baginda telah sampai di puncak Gunung Siguntang
Mahameru. Setelah bertemu dengan Wan Empuk dan Wan Melini, hilanglah nama
Bicitram Syah, diganti dengan Sang Suparba. Dan oleh Bat yang keluar dari
lembu, diresmikan juga gelarnya yang baru yakni Sang Suparba Taramberi
Tribuana.
Raja Nusyirwan Al Adil adalah
salah seorang Maharaja Persia yang sangat terkenal. sebagai puncak kemegahan Dinasti Sasan,
sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri mengakui bahwa beliau dilahirkan pada masa
Persia dipimpin oleh Raja Nusyirwan, maka dikaitkan juga keturunan Raja-raja
Melayu dengan raja-raja Iran.
Saat Bicitram Syah ditanyai oleh
Wan Empuk dan Wan Malini, apakah mereka
bangsa jin, bangsa dewa atau bangsa manusia. Raja tersebut kemudian
menjawab bahwa mereka adalah bangsa manusia, dan mempunyai pertalian darah
dengan Nabi Sulaiman AS.
Hasilnya, semua puncak
kegemilangan sejarah yang terdapat dalam agama Islam, dalam ajaran Tasawuf,
pada kemegahan Iskandar Macedonia yang pernah menaklukan India, semua kejayaan
Hindustan dan Iran, semuanya diletakkan pada silsilah keturunan Raja-raja
Melayu pada masa itu.
Apakah “sejarah” ini dikarang? Tun
Sri Lanang mengakui sendiri bahwa beliau hanya menyusunnya saja, sesaat setelah
menemukan sebuah naskah yang dibawa orang dari Goa. Pada waktu itu Goa
merupakan pusat kekuasaan Portugis. Saat Malaka jatuh ke tangan Portugis,
naskah tersebut diambil dan kemudian dibawa ke Goa. Setelah munculnya Kerajaan
Johor sebagai kelanjutan dari Malaka, yang menjadi rebutan Belanda dan
Aceh, pada tahun 1612 barulah naskah
tersebut dapat dikembalikan dari Goa. Dengan
demikian, jelaslah bahwa sejarah, atau “dongeng” indah tersebut disusun pada
masa Raja-raja Melayu masih berada pada singgasana megah Malaka. Perlu diingat,
pada masa itu Malaka merupakan pusat perdagangan dunia. Orang Arab menamai
Malaka dengan Malaqat yang artinya tempat pertemuan segala anak dagang, orang
Hindustan, Tamil, Persia, Jawa dan Aceh. Sehingga dapat dimengerti apabila
segala sari cerita membawa segala macam budaya mereka.
Harus diingat juga betapa
besarnya pengaruh Tasawuf pada masa itu. Dapat dimengerti jika buku-buku bacaan
tentang Tasawuf ikut mempengaruhi, sehingga Sri Baginda Maharaja Melayu adalah
keturunan Hindustan, Nabi Sulaiman, Persia, Maharaja Lautan dan menjelma
sebagai dewa yang turun dari kahyangan di atas Bukit Seguntang Mahameru.
Kalau sudah demikian tingginya
martabat beliau, sehingga yang menikahkan nenek moyang beliau dengan anak Raja
Kida Hindi adalah Nabi Khidhir sendiri, apakah tidak akan percaya pada “tuah”
kebesaran beliau? Masihkah masyarakat akan menentang? Tidakkah akan kena kutuk?
Apalagi salah satu keris kebesaran baginda pada awal turun di atas Bukit
Seguntang ialah keris “Si Curik di Manung Giri” yang sangat sakti. Keris
tersebut dapat mendatangkan malapetaka apabila membantah raja. “Tujuh tahun
kemarau Panjang, mati katak mati ketam, mati belalang berjentikan, mati udang
di selat batu, mati ikan di dalam air. Ulunya berpanjut putih, mayat dua seusungan,
jejak ditikam mati juga!" Pedang beliau adalah pedang jenawi memutus
rantai.
Demikianlah dongeng dari kaum
Shufi yang menyelinap ke dalam sejarah Raja Melayu setelah masuknya Agama
Islam. Cara yang demikian juga terdapat di tanah Bugis kepada Sawirigading dan
terdapat juga di tanah Jawa pada Kerajaan Mataram Islam.