Senin, 10 Januari 2011

ISLAM dan “Kemerdekaan Berfikir”

Dalam Islam akal diletakkan pada tempat yang terhormat dan menjadikannya sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan. Banyak terdapat dalam Al-Quran, pertanyaan-pertanyaan yang menarik untuk kita cermati, menyuruh kita sebagai manusia untuk mempergunakan akal dan pikiran kita dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh: “Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?; Pernahkah kamu perhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?; Maka pernahkah kamu memperhatikan tentang api yang kamu nyalakan (dengan kayu)? Kamukah yang menumbuhkan kayu itu ataukah Kami yang menumbuhkan?” (Q.s. Al-Waqi'ah : 63-64; 68-69; 71-72).

Setiap manusia yang berakal dan mempergunakan akalnya tersebut pasti akan sangat terkesan terhadap Islam, seperti ayat-ayat Al Qur’an di atas Islam dengan indahnya membawa manusia mengenal akan Tuhannya yaitu Allah SWT. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa salah satu jasa Islam terhadap manusia ialah bahwa Islam “memobilisasi akal”, membuka pikiran, dan membuka akal manusia selain tentunya jiwa dan raganya. Tidak percaya? Coba bukalah Al Qur’an halaman mana saja, ayat berapapun atau surat apapun, pasti bagi yang membacanya akan merasakan betapa besarnya dorongan Islam terhadap manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya sebagai suatu rahmat Allah SWT yang sangat berharga.

Seorang Muslim diwajibkan baginya untuk menggunakan akal dan pikirannya dalam menelaah Al Qur’an sehingga dapat mengerti akan maksud dan tujuannya, karena ayat-ayat Al Qur’an tersebut diturunkan bagi mereka yang mau berpikir, dan mau untuk mengambil suatu makna dari dalam Al Qur’an. ...”sesungguhnya telah kami jelaskan tanda-tanda (kebesaran Kami) kepada orang-orang yang mengetahui” (Q.s. Al-An'am ; 98). Islam sangat tidak menyukai kepada mereka yang tidak mempergunakan akalnya, orang-orang yang sangat terikat pikirannya dengan kepercayaan dan isme-isme yang tidak berdasarkan pada suatu dasar yang benar. Islam juga sangat benci kepada mereka yang tidak mau memeriksa apakah kepercayaan dan isme-isme yang mereka anut tersebut benar atau berdasarkan kepada suatu yang benar atau tidak. Secara tegas, Islam melarang kita untuk bertaklid-buta terhadap kepercayaan dan isme-isme yang tidak berdasarkan pada wahyu Allah SWT, yaitu kepercayaan atau isme-isme hasil dari “pemikiran liar” manusia semata dan diturunkan secara turun-temurun tanpa adanya pemeriksaan tentang baik atau tidaknya. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Q.s. Bani Israil: 36).

“Kemerdekaan Berpikir”, telah membebaskan kaum Muslim dari kekakuan berpikir yang membekukan otak dan telah melenyapkan kemalasan berpikir dari masyarakat Muslim. “Kemerdekaan Berpikir” telah melahirkan seorang yang bernama Washil bin Atha yang telah berani menentang arus dan berani beri’tizal memisahkan diri dari mazhab gurunya Imam Hasan Basri. “Kemerdekaan Berpikir” telah memunculkan Abu Huzhail Al’Allaf dan para pemikir-pemikir lainnya yang pada akhirnya mereka melahirkan sebuah aliran atau mazhab baru dalam Islam, yaitu mazhab Muktazilah. Muktazilah yaitu sebuah mazhab yang berkaitan dengan teologi. Di sini para ahli memandang Islam dengan pikiran Rasionalis sehingga mereka berpendapat bahwa Al Qur’an merupakan makhluk ciptaan Allah SWT. Mazhab Muktazilah berkembang pada masa dinasti Abbasiyah terutama saat kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun.(Philip K. Hitti: 2002). Namun, dengan “Kemerdekaan Berpikir” pula lahirlah seorang yang bernama Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari (935-936 M) salah satu keturunan Abu Musa al-Asy’ari arbitrator dari pihak Ali bin Abi Thalib dalam konflik dengan Mu’awiyah.(Philip K. Hitti: 2002) Ali al-Asy’ari merupakan murid seorang teolog Muktazilah, yaitu al-Zubbai. Pada perkembangan berikutnya Ali al-Asy’ari merubah pandangannya dan berani memisahkan diri dan meninggalkan mazhab Muktazilah dan membantah beberapa ajaran-ajaran “rasionalis” kaum Muktazilah dengan menggunakan senjata kaum Muktazilah sendiri yakni “Kebebasan Berpikir” tersebut.

Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari dengan filsafatnya mengemukakan teori tentang ‘ainus-syai’ yang lebih hebat bila dibandingkan dengan teori “Das Dingansich” yang dikemukakan oleh Immanuel Kant. Ali al-Asy’ari dengan teori Qadha dan Qadhamnya lebih baik dibandingkan dengan teori Harmonia Praestabilita yang dikemukakan oleh Leibniz. “Kemerdekaan Berpikir” telah melahirkan al-Ghazali, Ibnu Thaimiyah, Muhammad ‘Abduh dan lain-lainnya, para ulama yang tidak bisa dipungkiri lagi kecerdasan dan keshalehannya.

Namun sebaliknya, karena “Kebebasan Berpikir” tersebut kemudian muncul paham-paham atau isme-isme yang berdasarkan pada paham anthropomorphisme yakni paham yang mendefinisikan Tuhan/Allah SWT mempunyai sifat dan bentuk layaknya seorang manusia, hal ini tentunya sangat bertentangan dengan Aqidah, ruh dan spirit Islam. Karena “Kebebasan Berpikir” tersebut pula muncul paham pantheisme yaksi suatu paham yang meyakini Tuhan adalah segalanya dan segalanya adalah Tuhan, serta Alam Semesta ini adalah Tuhan dan sebaliknya, dalam kalangan para ahli tasawuf. Mengapa hal ini dapat terjadi? Karena “Kebebasan Berpikir” mereka yang tidak mau tahu dengan aturan atau tata cara menafsirkan Al Qur’an dan Hadist. Mereka dengan seenaknya mengatasnamakan “Kebebasan Berpikir” membolak-balikan dan membelokan makna dari Al Qur’an dan Hadist sesuai dengan kehendak nafsu mereka dan kepentingan mereka yang berdasarkan pada pemikiran “liar” mereka pula. Maka tidak heran bila karena ‘Kebebasan Berpikir” tersebut lahirlah seorang manusia semacam Al-Halladj yang mengungkapkan “ana Al-Haqq" yang atrinya akulah Tuhan! Na’uzhubillahi min zhalik.

Karena “kebebasan berpikir’ pulalah, demi mengatasnamakan humanisme akhir-akhir ini muncul paham atau isme yang menganggap semua agama itu pada intinya sama dan benar. Apakah “pikiran liar” mereka tidak bisa memaknai kata-kata berikut ini: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yng Maha Esa, Allah tempat meminta segala sesuatu, (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. Al-Ikhlas: 1-4). Islam tidak hanya berbicara mengenai benar dan salah. Islam tidak hanya mengenai perbuatan baik atau jahat. Akan tetapi Islam berbicara lebih dari pada itu yakni, segala sesuatu yang baik dan benar tersebut ditujukan pada siapa, segala yang buruk dan jahat tersebut dipertangungjawabkan kepada siapa, tentunya semua itu kepada Allah SWT. Islam menghargai keberagaman, Islam juga menghormati pluralitas. Akan tetapi dengan sikap menghargai tersebut tidak menjadikan yang benar sama dengan yang salah, yang benar adalah benar yang salah adalah salah, karena kebenaran hanya satu.

“Kebebasan Berpikir” bisa memperkuat dan memperteguh iman kita. Menambah khusyu’ dan tawadhu’ kita terhadap kebesaran Allah SWT, serta membantu kita memahami rahasia-rahasia firmanNya. “Kebebasan Berpikir” menolong kita memahami hikmah-hikmah yang terkandung dalam setiap perintah dan ajaran agama, serta mempertinggi dan memperhalus perasaan keagamaan kita. “Kebebasan Berpikir” dapat membersihkan agama kita dari kotoran-kotoran berbahaya yang bertentangan dengan agama Islam itu sendiri. “Kebebasan Berpikir” membukakan jendela alam pikiran kita agar dapat udara apek dan busuk dengan udara yang bersih dan segar.

Akan tetapi, “kemerdekaan berpikir” dapat pula menghancurkan tiang-tiang agama, menggulirkan bola panas yang melebihi batas. Ia tidak hanya dapat memasukan angin sejuk dan segar saja melainkan juga dapat memasukan angin topan yang menghancurkan apa saja yang berada di lintasannya. “Kebebasan berpikir” bagaikan api yang berbentuk lampu yang gemerlapan memandu kita dalam kegelapan, akan tetapi sering pula ia menyala berkobar-kobar membakar rumah dan sebagainya. Betapa indahnya “kebebasan berpikir”, betapa berbahayanya “kebebasan berpikir”. Jadi sekarang apakah kita hanya akan berpegangan pada “kebebasan berpikir” semata? Tentunya tidak dengan disiplin mempelajari Islam dapat membawa kita pada esensi Islam yang sesungguhnya.

Rantau Jaya, 10 Januari 2011
Akur Wijayadi

Selasa, 04 Januari 2011

Kaum Muslim Modern Indonesia: Akar Pendidikan Barat Pada Masa Pemerintahan Hindia-Belanda

Kaum Muslim Modern Indonesia:
Akar Pendidikan Barat Pada Masa Pemerintahan Hindia-Belanda

A.     Pendahuluan
Saat memasuki abad ke-19, kaum terpelajar Nusantara seolah berdiri di ambang persimpangan jalan. Jalan pengetahuan ke Mekkah yang diwarisi dari abad-abad sebelumnya melalui jaringan ulama internasional masih terbentang. Pada saat yang sama, pendalaman penetrasi kolonialisme dan kapitalisme  Belanda secara tak terelakkan membawa rezim pengetahuannya sendiri, yang membuka jalan intelektual baru ke “Barat”.[1] Penetrasi kapitalis pada paruh kedua abad ke-19 dalam era kolonial Belanda berperana penting dalam mendorong pemerintah kolonial untuk memperkenalkan sistem pendidikan bergaya Barat ke masyarakat Hindia Belanda. Pada perkembangan selanjutnya, kebijakan “politik etis” yang dipromosikan oleh politisi “sayap kanan” di Belanda pada dekade-dekade awal abad ke-20 membawa proses transformasi di dunia pendidikan ini ke tahap yang lebih jauh.
Dibangkitkan oleh gelombang pasang gerakan-gerakan liberal dan revolusi demokratik di Eropa sekitar 1840-an[2], sayap Liberal di negeri Belanda yang dipimpin oleh Jan Rudolf Thorbecke dengan cepat merespons momentum politik itu dengan mengubah haluan Undang-Undang Dasar negeri tersebut dari konservatisme menuju liberalisme. Dengan UUD 1848 ini, Belanda berubah menjadi sebuah negara monarki konstitusional, dengan sang Ratu menjadi bertanggung jawab kepada parlemen. Sebagai konsekuensinya, negara Belanda berubah dari kekuasaan dengan otoritas absolut menjadi kekuasaan dengan hukum. Dalam bidang pendidikan, UUD 1848 menjamin pendidikan secara bebas bagi setiap orang di negeri Belanda yang selanjutnya memiliki “efek turunan ke bawah” berupa lahirnya sebuah sikap baru terhadap persoalan pendidikan di Hindia Belanda.[3]
Dalam konteks aspirasi-aspirasi kaum Liberal mengenai kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi, upaya untuk memperoleh kendali atas keuntungan-keuntungan kolonial berarti mendesak pemerintahan kolonial untuk melindungi modal swasta dalam rangka mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan yang baru. Peralihan menuju ekonomi Liberal pada kenyataannya memerlukan bukan hanya reformasi konstitusional, melainkan juga dukungan infrastruktur, terutama perbaikan pelayanan-pelayanan birokrasi yang pada gilirannya menuntut perbaikan sektor perbaikan di Hindia Belanda.
Pada tahun 1888 ketika posisi kaum konservatif  lama digantikan oleh kekuatan aliansi antara kaum Anti-Revolusioner dengan Kalvinis dan “Romanis”,[4] yang menyempal dari sekutu tuanya, yakni Partai Liberal, yang kemudian membentuk sebuah Partai Kristen baru sebagai sebagai Sayap Kanan untuk berhadapan dengan Sayap Kiri, kelompok sekuralis. Barang kali secara tak terduga, partai Kanan itulah justru yang pertama kali mendeklarasikan sebuah kebijakan kolonial baru yang menegaskan bahwa eksploitasi, entah oleh negara maupun oleh perusahaan swasta, haruslah didasarkan pada sebuah kebijakan yang bertanggung jawab secara formal.[5]
Yang menjadi pendorong bagi munculnya kredo dari Partai Kristen itu adalah adanya kemerosotan yang terus menerus dalam kehidupan sosial di Hindia Belanda sebagai akibat dari stagnasi ekonomi, kegagalan panen, penyakit ternak, kelaparan, dan kondisi-kondisi kesehatan yang memperihatinkan. Beragam malapetaka sosial ini merupakan konsekuensi-konsekuensi tak diinginkan dari ekonomi Liberal yang kemudian menciptakan sebuah iklim opini baru di negeri Belanda. Semua partai yang ada menjadi lebih mendukung aktivitas negara dalam persoalan ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan, yang menempatkan kesejahteraan Hindia-Belanda sebagai latar depan dari kebijakan kolonial. Maka, setelah Pemilihan Umum 1901 yang menghasilkan kemenangan sayap kanan, liberalisme menjadi sebuah kredo yang usang, dan digantikan oleh semangat kasih Kristen.[6]
Partai Kristen berhasil meraih kekuasaan karena posisinya sebagai pembela tanggung jawab moral. Dengan semangat tanggung jawab moral itu pula, Ratu Wilhelmina dalam pesan tahunnannya yang disampaikan di hadapan Dewan Parlemen pada tahun 1901 mengemukakan “utang budi” dan tanggung jawab etis negeri Belanda kepada rakyat Hindia Belanda. Orientasi baru dalam perlakuan kolonial terhadap Hindia-Belanda ini dikenal dengan istilah “Politik Etis”.
Datangnya era Etis ini juga membawa sebuah kisah baru dalam perlakuan pemerintah kolonial terhadap Islam, terutama di bawah pengaruh seorang ahli kebudayaan Arab dan Islam yaitu Christiaan Snouck Hurgronje yang datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1889. Pada tahun yang sama, dia ditunjuk sebagai seorang penasihat bagi Kantor Urusan Orang Pribumi dan Arab.[8] Dalam posisinya tersebut, dia mulai memperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk mengahadapi persoalan-persoalan yang menyangkut Islam.
Snouck melakukan kaunter terhadap ketakutan orang Belanda terhadap Islam, baik di tingkat Internasional maupun lokal, dengan mengkritik miskonsepsi-miskonsepsi orang Belanda mengenai Islam. Dia menekankan watak damai dari perangai Islam di kepulauan Hindia-Belanda, meskipun ia juga mengakui adanya potensi bahaya dari minoritas kecil ulama fanatik yang terpengaruh oleh gagasan pan-Islamisme. Sehubungan dengan itu, dia mengajukan rekomendasi-rekomendasi kebijakan terhadap Islam dalam suatu kerangka kerja yang disebut “splitsingstheorie”.[9] Teori ini membagi Islam menjadi dua bagian, yang pertama yaitu Islam yang bersifat keagamaan, dan yang kedua yaitu Islam yang bersifat politik. Pemerintah kolonial harus menghormati dimensi kehidupan Muslim yang pertama, sedangkan untuk dimensi Islam yang kedua tidak ada toleransi untuknya.
Pergeseran dalam kebijakan kolonial terhadap Islam ini ternyata merupakan langkah awal dalam visi Snouck untuk terciptanya Hindia-Belanda yang ideal pada masa depan. Snouck percaya bahwa kepemimpinan masyarakat Hindia-Belanda pada masa depan tidak bisa bergantung pada kaum Muslim yang taat dan pada para tetua adat. Menurutnya, kaum Muslim yang taat tidak bisa terlalu diharapkan untuk bisa mengembangkan sebuah ikatan yang lestari antara negeri Hindia-Belanda dengan negeri Belanda. Sementara itu, para tetua adat yang telah lama menjadi pengahadang terkuat untuk melawan Islam, terlalu konservatif untuk bisa diharapkan sebagai pengusung tujuan-tujuan jangka panjang pemerintahan kolonial. Karena sebuah Hindia-Belanda yang modern tak bisa dipimpim baik oleh kaum Muslim maupun para tetua adat , maka Snouck menyadari pentingnya menciptakan para elite Hindia-Belanda yang baru yang berorientasi Barat. Para elite yang berorientasi Barat inilah yang diharapkan bisa merawat masyarakat Hindia-Belanda modern seiring dengan garis-garis kebijakan “asosiasi”. Kata “asosiasi” yang dimaksudkan di sini ialah upaya untuk mewujudkan sebuah negara Belanda Raya, yang terdiri dari dua wilayah terpisah secara geografis, tetapi merupakan bagian-bagian yang terkait secara spiritual. [10]
Demi tercapainya tujuan tersebut, Snouck memberikan rekomendasi kepada pemerintah kolonial untuk mengenalkan instisusi pendidikan berskala-luas di atas landasan universal dan bersifat netral secara keagamaan sehingga akan bisa memisahkan elite baru dari keterikatan keagamaanya. Dalam konteks ini berarti menjauhkan elite baru dari ajaran Islam. Dengan demikian, proses kelahiran kesadaran nasional Hindia-Belanda akan dipandu melalui kerja sama dengan, dan arahan dari pihak Belanda, dan tidak dirahkan oleh gerakan pan-Islamisme yang berbahaya secara politik. Mengutip retorika yang disampaikan oleh Snouck:
Mengasuh dan mendidik merupakan sarana-sarana untuk mencapai tujuan itu. Bahkan, di negeri-negeri yang kebudayaan Muslimnya jauh lebih tua dibandingkan dengan kepulauan ini, kita bisa melihat hal tersebut bisa bekerja secara efektif untuk membebaskan para pemeluk Islam dari beberapa sampah Abad Pertengahan yang telah dihela sekian lama oleh Islam dalam gerak hidupnya.[11]
Introduksi kebijakan-kebijakan Liberal dan Etis sudah barang tentu mencitakan struktur peluang politiknya tersendiri, yang bisa menghalangi atau memungkinkan perkembangan-perkembangan dalam bidang tertentu dalam bidang pendidikan, intelektual, politik dan keagamaan di Hindia-Belanda.
B.     Dari Misionaris Hingga Sistem Liberal
Keberadaan dan ketiadaan bentuk-bentuk pendidikan tertentu dalam sebuah masyarakat memberikan tidak hanya skemata bagi pembedaan kelas dan prinsip-prinsip fundamental dari kemapanan tertib sosial, melainkan jugamenjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif. Konsepsi pendidikan sebagai sebuah medan gaya dari relasi-relasi kuasa yang penuh konflik dtujukan dengan baik oleh situasi pendidikan selama kekuasaan kolonial Belanda. Di bawah kekuasaan tersebut, pendidikan semakin meneguhkan perbedaan status. Dengan begitu, pendidikan menjadi faktor yang mempersatukan orang-orang dalam aneka kelompok sekaligus yang menjadi sekat pemisah antara kelompok-kelompok itu.[12]
Sampai pada abad ke-19, pengetahuan dan institusi pendidikan di Hindia-Belanda masih serupa dengan pengetahuan dan institusi pendidikan di kebanyakan sistem religio-politik tradisional di seluruh dunia. Pengetahuan dan pendidikan dalam dunia pra-modern cenderung disubordinasikan pada hal-hal yang sakral. Agama menjadi dasar alasan, tujuan, dan isi dari pendidikan tradisional, sekaligus menjadi penyedia guru-guru dan tempat bagi proses belajar. Penguasa mengayomi proses pembelajaran sebagai bagian integral dari patronase keimanan. Situasi demikian juga merupakan gambaran situasi pendidikan di Hindia-Belanda sebelum diperkenalkannya sistem pendidikan sekuler yang disponsori oleh pemerintah kolonial Belanda. Di wilayah-wilayah dimana Islam mempunyai pengaruh yang sangat kuat, anak-anak dari golongan bangsawan, dari para pedagang Muslim, dan keluarga-keluarga yang taat pada agama lainnya dimasukan ke dalam sekolah-sekolah Islam tradisional seperti pesantren, surau, atau barang kali ke pusat-pusat belajar Islam di Timur Tengah.
Kepentingan ekonomi dan keinginan untuk tetap mempertahankan perbedaan status merupakan beberapa alasan dibalik ketidaktertarikan pemerintah kolonial terhadap persoalan pendidikan kaum pribumi. Ada semacam rasa superioritas Barat di kalangan orang-orang Belanda yang membuat mereka merasa tak terpanggil untuk memperkenalkan dunia kehidupan peradaban Barat kepada kebudayaan-kebudayaan pribumi.
Di tengah ketidaktertarikan pihak pemerintah kolonial terhadap urusan pendidikan kaum pribumi, usaha rintisan untuk memperkenalkan sistem pendidikan modern Barat kepada lapisan-lapisan masyarakat Hindia-Belanda tertentu dilakukan oleh misi-misi Kristen. Kegiatan misionaris dalam pendidikan demi tujuan-tujuan evangelis semakin tampak nyata pada tahun 1816 sehingga muncul istilah yang disebut dengan “Zaman Misi”.[13] Mengikuti jejak misi Katholik, mulai dari 1820-an dan seterusnya misi-misi dan sekolah-sekolah Kristen menyebar luas di seluruh pulau-pulau di Hindia-Belanda­­__kecuali di daerah-daerah tempat Islam telah berakar kuat.
        Di samping menjadikan sekolah-sekolah sebagai sarana menyebarluaskan Injil dan menarik para pengikut Kristen baru, sekolah-sekolah ini juga menawarkan keuntungan-keuntungan lain buat para pengikut barunya . menjadi Kristen , juga berarti menjadi terBaratkan, dan pendidikan merupakan bagian integral dari westernisasi.
            Titik balik sikap pemerintah kolonial terhadap urusan pendidikan kaum pribumi di Hindia-Belanda berlangsung pada paruh kedua abad ke-19 sebagai akibat dari pengaruh politik kaum Liberal dalam persoalan-persoalan tanah jajahan. Untuk memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi kaum Liberal di negeri jajahan, perluasan birokrasi pemerintahan merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Dalam konteks inilah, baik kantor pemerintahan sipil untuk orang Eropa dan juga kantor pemerintahan sipil untuk kaum Pribumi dalam pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka dan merekrut banyak pekerja terampil. Ini pada gilirannya mendorong pemerintah kolonial untuk lebih memberikan perhatian kepada masalah pendidikan.
            Bagi pemerintah kolonial , dunia pendidikan ini mengandung sebuah dilema. Di satu sisi, hal tersebut sangat penting untuk mendukung ekonomi – politik industrialisasi dan birokrasi. Di sisi lainnya, pendidikan mengandung ancaman potensial bagi eksistensi mengenai superioritas kolonial. Dilema tersebut dipecahkan dengan membangun pendidikan yang didasarkan pada prinsip segregasi etnik dan hirerarki status. Dengan dasar pembedaan status ini, sifat dari kebijakan-kebijakan awal dalam dunia pendidikan di Hindia-Belanda adalah antiasimilasi, elitis, dan dualistik.[16]
            Untuk melayani orang-orang dari kelompok status yang paling tinggi, prototipe pendidikan dasar bergaya Eropa direorganisasi menjadi sekolah dasar tujuh tahun, dengan memasukan mata pelajaran bahasa Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Sekolah ini lebih populer dikenal sebagai Euroeesche Lagere School (ELS). Pada awalnya, sekolah ini diperuntukan secara eksklusif bagi anak-anak orang Eropa. Sekolah ini terbuka bagi kalangan yang sangat terbatas bagi golongan pribumi.
            Pada akhirnya, pemerintah kolonial mendirikan sebuah sekolah bagi kaum pribumi. Sekitar tahun 1849, dilakukan sebuah eksperimen untuk mengelola dua sekolah dasar rakyat, dan pada tahun 1852 jumlah sekolah tersebut meningkat menjadi 15. Dengan menggunakan bahasa daerah, sekolah-sekolah baru tersebut pada awalnya didirikan guna mempersiapkan anak-anak priyayi pribumi untuk menjadi pegawai adminitrasi kolonial dan juga untuk membatasi orang-orang pribumi yang mau memasuki ELS. Namun, dalam perkembangannya ternyata anak-anak priyayi lebih menyukai sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran dalam bahasa Belanda, karena memberikan prospek pekerjaan dan status sosial yang lebih baik. Untuk menjawab tuntutan tersebut, dua tipe sekolah dasar bagi lapisan-lapisan Boemipoetra diperkenalkan pada tahun 1893, yaitu: Sekolah Pribumi Kelas Satu dan Sekolah Pribumi Kelas Dua. Sekolah yang pertama diperuntukan bagi anak-anak dari keluarga-keluarga priyayi dan kaya. Di sini, bahasa Belanda diajarkan pada tahun-tahun pertama dan dipakai sebagai bahasa pengantar pelajaran pada tahun terakhir. Sekolah yang kedua diperuntukan bagi anak-anak dari golongan rakyat biasa dan tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda.[17]
            Meski sistem sekolah Eropa yang ada masih tetap sangat mengistimewakan orang-orang Eropa dan priyayi kelas atas, peluang bagi kalangan yang lebih rendah untuk memperoleh pendidikan secara lebih baik dimungkinkan oleh adanya lubang-lubang kesempatan yang ada dalam kebijakan diskriminasi kolonial itu sendiri. Karena perluasan birokrasi Liberal membutuhkan staff teknis, pemerintah memutuskan untuk mendirikan sekolah kejuruan. Kurangnya guru-guru yang memenuhi syarat menjadikan sekolah buru sebagai suatu keharusan. Maka didirikanlah Kweekscool (sekolah pelatihan guru pribumi). Perluasan pelayanan kesehatan pemerintah juga membutuhkan tenaga-tenaga medis semi-terampil. Maka diadakanlah pelatihan-pelatihan dan kursus-kursus sehingga menjadi apa yang disebut sebagai sekolah “Dokter Djawa”. Smentara itu, kebutuhan akan tenaga pegawai sipil pribumi yang terlatih memdorong pemerintah untuk membuka Hoofdenscholen yang lebih populer dengan istilah “Sekolah Radja”.
C.     Politik Etis Sebagai Sekularisasi Pendidikan
Di bawah pengaruh semangat Etis, sistem pendidikan dari periode Liberal direorganisasi dan disesuaikan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan baru. Terdapat dua pendekatan yang saling melengkapi dalam proyek ini. Snock Hurgronje dan J.H. Abendanon, lebih menyukai pendidikan yang bersifat elitis dalam kerangka ambisi mereka untuk mentransformasikan priyayi tradisional menjadi sebuah elite baru yang terdidik secara Barat. Dalam pandangan kedua orang tersebut, memberikan memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk melatih elite pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untuk mengangani pekerjaan pemerintah sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan ini juga dapat memangkas biaya-biaya administratif, menghambat fanatisme Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia-Belanda.[18] Kombinasi dari pendekatan-pendekatan semacam itu melahirkan munculnya beragam lembaga pendidikan, dan sekaligus berperan penting dalam memecah-belah maupun menyatukan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat kolonial.
            Sejak tahun 1907, bagi orang-orang biasa dan penduduk desa, pemerintah mendirikan sebuah sekolah dasar rakyat dengan lama pendidikannya tiga tahun yang disebut dengan Volksschool. Para lulusan sekolah ini boleh melanjutkan ke Inlandsche Vervolgschool (sekolah menengah pribumi) dengan masa studi dua tahun. Semua sekolah tersebut menjalankan proses pengajarannya dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal atau melayu.[19]
            Bagi anak-anak priyayi dan keluarga-keluarga kaya, pemerintah berusaha untuk memperluas akses mereka terhadap sistem sekolah Eropa yangt menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pengajaran. Usaha-usaha ini di dorong oleh kebijakan asosiasi dan oleh berkembangnya tuntutan dari para priyayi dan keluarga-keluarga kaya yang memandang sekolah semacam itu dan penguasaan atas bahasa Belanda sebagai cara baru untuk mempertahankan atau mengangkat status sosial mereka. Munculnya pandangan semacam itu oleh golongan priyayi dan keluarga-keluarga kaya disebabkan dorongan semakin dalam penetrasi apa yang disebut dengan proses pem-Belanda-an dalam kehidupan sosial di Hindia-Belanda.  Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, didirikan sekolah baru bagi para priyayi dan keluarga-keluarga kaya.
            Pada level sekolah dasar, perkembangan paling penting adalah diubahnya Sekolah Pribumi Kelas Satu menjadi Hollandsch-Inlandsche School (HIS, Sekolah Belanda untuk Pribumi) pada tahun 1914. Secara teori, sekolah ini diperuntukan bagi anak-anak dari kalangan bangsawan dan kaum bumiputera terpandang. Akan tetapi, anak-anak dari petinggi-petinggi pribumi dan orangorang kaya lokal masih tetap lebih suka memasuki ELS. Sehingga mayoritas pelajar HIS berasal dari kalangan priyayi rendahan.
            Pada level sekolah menengah, pemerintah berusaha memenuhi kebutuhan kaum pribumi akan adanya sekolah HBS, dengan mendirikan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada tahun 1914. Kemudian pada tahun 1918, pemerintah memperkenalkan sekolah menengah atas dengan lama studi tiga tahun  yaitu, Algemeene Middelbare School (AMS). Pendirian AMS dimaksudkan untuk mempersiapkan para siswa dari MULO untuk meraih posisi-posisi yang lebih tinggi atau untuk bisa masuk universitas.
            Pada tahun 1900-1902, sekolah Dokter-Djawa diubah menjadi STOVIA (School tot opleiding Van inlandsche artsen). Sekolah ii sekarang sederajat dengan universitas tingkat rendah, tetapi masih diklasifikasikan sebagai sekolah-sekolah kejuruan, dan para lulusan sekolah ini mendapatkan gelar “Dokter Hindia”. Reorganisasi yang serupa juga berlangsung untuk sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi. Selain itu pemerintah juga memperkenalkan sekolah-sekolah kejuruan yang baru.
            Selain dari reorganisasi dan diperkenalkannya beragam sekolah baru di Hindia-Belanda, menjelang abad ke-20 telah ada sebuah eksperimen rintisan untuk mengirimkan beberapa anak yang diseleksi secara ketat dari keluarga-keluarga bangsawan ke negeri Belanda. Meskipun pemerintah tidak pernah membuat kebijakan resmi untuk mendorong para pribumi untuk melanjutkan belajar ke negeri Belanda, Snouck Hurgronjr dan J.H. Abendanon melakukan upaya khusus untuk memberi jalan bagi anak-anak dari keluarga terkemuka agar bisa memasuki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi di negeri Belanda.
Apa pun tujuan dari diperkenalkannya dan direorganisasikannya beragam sekolah tersebut, dampak langsungnya terhadap kehidupan sosial di Hindia-Belanda sangat nyata yaitu, meningkatnya secara signifikan jumlah pribumi yang terdidik secara Barat. Sehingga Yudi Latief dalam bukunya menyimpulkan hal sebagai berikut:
Meningkatnya jumlah pribumi yang terdidik secara Barat menimbulkan konsekuensi yang tak terduga. Penguasaan modal kultural baru menyebabkan meningkatnya ekspetasi-ekspetasi mereka, sehingga mendesak pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan-tuntutan kesempatan kerja serta aspirasi-aspirasi mereka akan kemajuan. Dengan diperkenalkannya sekolah-sekolah kejuruan dan sekolah-sekolah pribumi bergaya Eropa, banyak anak dari kalangan priyayi rendahan serta status sosial biasa lainnya memperoleh pendidikan yang lebih baik. Orang-orang terdidik dari kelompok-kelompok sosial inilah yang akan menjadi tulang punggung bagi terbentuknya inteligensia Hindia-Belanda.[20]
Generasi terpelajar yang baru lahir ini membentuk sebuah strata sosial yang relatif otonom yang berdiri sendiri, karena mereka mampu memisahkan dirinya baik dari kelas yang mapan maupun dari kelompok status tradisional. Seperti yang diamati oleh Harry J. Benda:
Lebih merupakan sebuah pengecualian ketimbang sebuah kelaziman bahwa para aristokrat muda, anak tuan-tuan tanah, atau dalam kasus ini bahkan keturunan dari kelas borjuis yang baru tumbuh, begiru dia mendapatkan pendidikan Barat jenis apa pun, akan menjadi pembela dan juru bicara dari kelas yang menjadi asal-usul sosialnya.[21]
Kebanyakan anggota dari strata baru ini menjadi pegawai pemerintah. Dengan menduduki posisi-posisi rendahan dan menengah, karena orang-orang Belanda masih tetap mendominasi posisi-posisi yang lebih tinggi.
Generasi-generasi awal dari kaum terpelajar Hindia-Belanda ini mengalami proses sekularisasi yang intens sebagai akibat dari sifat sekuler kebijakan pendidikan Liberal dan kebijakan asosiasi dari rezim Etis. Sebagai hasil dari proses sekularisasi ini, kebanyakan individu dari kaum terpelajar ini mulai memisahkan diri mereka dari dunia pemikiran agama. Bahkan, untuk anak-anak dari priyayi Muslim yang taat, pengruh proses sekularisasi yang terlembaga dalam pendidikan Barat ini sangat sulit untuk dihindari.
D.    Munculnya Kaum Muslim Modern Indonesia
Dalam perkembangannya, ternyata bebeberapa dari generasi terpelajar ini berasal dari keluarga-keluarga priyayi Muslim yang taat. Sejumlah pelopor dari dari gerakan kebangsaan Indonesia seperti, Tjipto Mangunkusumo, Sutomo, Tirto Adhi Surjo, dan produk-produk awal dari kebijakan asosiasi seperti Djajaningrat bersaudara (Ahmad, Hasan, dan Husein), serta figur berpengaruh dari SI H.O.S. Tjokroaminoto, merupakan anak-anak dari priyayi Muslim yang taat.
Namun, setelah mengenyam pendidikan sekuler secara intens, komitmen keislaman merekayang taat itu secara berangsur-angsur memudar. Pengakuan Agus Salim merefleksikan secara baik perubahan dalam sikap keagamaan ini:
Meskipun saya terlahir dalam sebuah keluarga Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak dari masa kanak-kanak, setelah masuk sekolah Belanda saya mulai merasa kehilangan iman.[22]
H. Agus Salim dengan terus terang mengakui bahwa pendidikan yang dia peroleh di sekolah menengah (HBS) telah menjauhkannya dari Islam.
            Akan tetapi, bagi beberapa kaum Muslim terpelajar Indonesia, merosotnya identitas Islam mereka bukanlah merupakan suatu kondisi yang tetap. Identitas beroperasi di bawah proses hapusan dalam interval antara timbul dan tenggelam. Identitas tunduk pada sebuah proses perubahan dan transformasi. Kecewa dengan dunia kehidupan priyayi dan beragam diskriminasi yang berlaku dalam sistem kolonial, dan/atau memiliki sebuah kesempatan untuk bergaul atau bergaul kembali dengan para anggota komunitas epistemik Islam, dengan tokoh-tokoh Muslim atau jaringan sosio-ekonomi Islam, beberapa dari kaum terpelajar Muslim ini sanggup memulihkan kembali afinitas mereka dengan komunitas-komunitas dan identitas-identitas Islam.
            Dalam hal ini, ada baiknya mengingat kembali bagian-bagian yang relevan dari biografi Agus Salim untuk bisa memahami secara lebihbak transformasi dari identitas-identitas mereka. Agus Salim memulai pendidikan modernnya di ELS Riau, dan melanjutkan studinya ke HBS di Jakarta dan di kota ini dia tinggal pada sebuah keluarga Belanda. Selanjutnya dia ingin melanjutkan studinya ke sekolah kedokteran di negeri Belanda, tetapi ayahnya tak mampu membiayainya. Snouck Hurgronje lalu menawarkan kepadanya sebuah alternative yang menjanjikan. Agus Salim ditawari untuk menjadi staf di konsulat Belanda di Jeddah Arab Saudi. AgusSalim menerima tawaran tersebut dan tiba di Jeddah pada tahun 1906. Konflik yang kerap terjadi dengan atasannya medorongnya untuk mendekatkan diri dengan komunitas epistemic Islam di Mekkah. Di sana ia bertemu dengan pamannya, Achmad Khatib, seorang ulama besar Hindia-Belanda. Pertemuan ini menjadi titik balik dalam penemuan kembali identitas Islamnya pada saat kembali ke Tanah Air pada tahun 1911,proses konversi internal ini menemukan ruang ekspresinya setelah bertemu dengan Tjokroaminoto pada awal than 1915,dan mengantarkan pada peranannya yang terkemuka dalam SI sejak tahun 1915. Pengalaman-pengalaman serupa dalam hal keterpisahan dan keterikatan kembali pada Islam bias dilihat pada biografi Tjokroaminoto dan Tirto Adhi Surjo.
            Pertemuan dari beberapa kaum Muslim terpelajar Indonesia dan tokoh-tokoh Islam,baik disengajamaupun tidak, karena alas an idelistik atau pragmatis, menjadi katalis bagi proses kembalinya mereka ke dalam komunitas Islam. Proses kembali ini tidak mesti menimbulkan perubahan-perubahan yang radikal dalam kesalehan dan pengetauan keagamaan mereka. Namun hal tersebut telah cukup membuat mereka terpaut kembali dengan “rumah” Islam.
            Setelah dilonggarkannya persyaratan “keturunan” pada tahun 1910-an, banyak anak dari priyayi Muslim rendahan dan pedagang Muslim memiliki kesempatan untuk bias masuk ke sekolah-sekolah bergaya Eropa. Reformasi pendidikan ini lalu membawa sebuah konsekuensi tak terduga, yaitu meningkatnya jumah kaum terpelajar Muslim.
            Memperoleh pendidikan sekuler, tetapi tak sudi menanggalkan keislamannya, beberapa kaum Muslim terpelajar ini berusaha mempertahankan hubungan mereka dengan jaringan-jaringan intelektual Islam. Hal ini kelak akan mendorong munculnya “intelek-ulama” yaitu kaum modern terpelajar yang melek dalam pengetahuan keagamaan.


[1] Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 77-78.
[2] Stroberg, R.N. , European Intellectual History Since 1789, Appleton-Century-Crofts, Ney York, 1968. Hlm. 72-78 dalam Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 78.
[3] Simbolon, P.T, 1995, Menjadi Indonesia, Vol. 1: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas, Hlm. 126-127.
[4] “Kaum Romanis merujuk pada para anggota atau pengikut Gereja Roma.
[5] Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 80
[6] Ibid. Hlm 80-81.
[7] Steenbrink K.A, 1993, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contracts and Conflicts, 1596-1950, trej. J. Seenbrink & H. Jansen,  Amsterdam: Rodopi. hlm. 98.
[8] Kantor ini pada jaman Jepang akan berubah menjadi Shumubu (Kantor Urusan Agama), mungkin bisa dianggap sebagai pendahulu dan pionir dari Departemen Agama Indonesia. Lihat Steenbrink K.A, 1993, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contracts and Conflicts, 1596-1950, trej. J. Seenbrink & H. Jansen,  Amsterdam: Rodopi. Hlm. 88.
[9] Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 82.

[10] Steenbrink K.A, 1993, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contracts and Conflicts, 1596-1950, trej. J. Seenbrink & H. Jansen,  Amsterdam: Rodopi. Hlm. 88.
[11] Ibid, hlm. 89
[12] Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 85.
[13] Steenbrink K.A, 1993, Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contracts and Conflicts, 1596-1950, trej. J. Seenbrink & H. Jansen,  Amsterdam: Rodopi. Hlm. 98.
[14] Ibid, hlm. 98.
[15] Ibid, hlm. 98-99.
[16]Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 90.
[17] M.C. Ricklef, 2009, Sejarah Indonesia Modern (1200-2008), Jakarta: Serambi, hlm. 158.
[18] Ibid, hlm. 156.
[19] Ibid, hlm. 159.
[20] Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 100.
[21] Benda, H.J., “Non-Western Intelligentsias as Political Elities” dalam Political Change in Underdeveloped Countries: Nationalism and Comunism, ed. J.H. Kautsky, John Wiley and Sons, Inc., New York, hlm. 240 dalam Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 101.
[22] Salim, A. 1926, Rede van den heer Hadji A. Salim, Her Licht, no. 11-12, hlm. 26-33. Dalam Yudi Latief, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan. hlm. 103.