Jumat, 17 Desember 2010

Sebab Terjadinya Penyimpangan Pemikiran Masyarakat Barat


   Prof. DR. Yusuf al-Qardhawi (1995), seorang pakar fiqh dan pemikir Islam paling terkemuka di dunia saat ini membuat analisis tentang beberapa karakteristik Pemikiran Barat Modern berdasarkan pendekatan Pemikiran Islam, sebagai berikut :

1. TIDAK MENGENAL PENCIPTANYA SECARA BENAR.
   Peradaban Barat modern tidak mengenal ALLAH secara benar, konsep ketuhanan mereka hanya menganggap Tuhan sebagai penguasa langit, tetapi Tuhan tidak berkuasa di bumi. Bumi adalah daerah kekuasaan manusia, dan Tuhan tidak boleh sekali-kali ikut campur dalam urusan-urusan manusia, karena manusia lebih mengetahui tentang apa yang baik bagi dirinya daripada Tuhan, dan Tuhan terlalu suci untuk ikut mengatur semua itu.
  Pemahaman ini bersumber dari konsep pemikiran Aristoteles dan Plato tentang Tuhan. Menurut Aristoteles, Tuhan adalah Maha Suci dan karena ke-Maha Suci-annya itulah maka Tuhan tidak memikirkan segala sesuatu yang diciptakan-Nya (karena Tuhan terlalu suci untuk hal-hal remeh seperti itu) dan Ia hanya disibukkan untuk memikirkan diri-Nya sendiri saja ! Lebih jauh dari Aristoteles, muridnya Plato lebih “mensucikan” Tuhan, sehingga Tuhan menurut Plato tidak memikirkan apa-apa, sebab Ia terlalu suci untuk berfikir, walaupun memikirkan diri-Nya
sendiri…Sungguh menyedihkan.
2. MITOS PRIMETHEUS SI PENCURI API SUCI
  Dalam filsafat Yunani kuno, dikenal sebuah cerita mitos tentang Primetheus si pencuri api suci, seorang manusia penjaga api ilmu pengetahuan milik Tuhan (dewa Zeus), yang kemudian Primetheus mencuri api ilmu pengetahuan tersebut dan melarikan diri ke dunia dan dengan bekal ilmu pengetahuan tersebut ia mampu mengembangkan dan membangun dunia. Tetapi hal itu menimbulkan kemarahan Tuhan, sehingga berakhir pada “perkelahian” antara Tuhan dengan manusia yang dimenangkan oleh manusia.
  Mitos sederhana ini ternyata berdampak begitu mendalam terhadap mayoritas masyarakat Barat. Dua kata kunci (keywords) dari mitos tersebut yang dapat diambil, yaitu konflik manusia dengan Tuhan dan konflik manusia dengan alam. Sebagian besar masyarakat Barat membenci Tuhan yang digambarkan sebagai tidak rela ilmu-Nya dipelajari oleh manusia (hal ini kemudian tercermin pula pada kitab Injil tentang perkelahian manusia dengan Tuhan, ajaran Marx bahwa agama adalah candu bagi masyarakat dan puisi Nietsche yang menyatakan bahwa Tuhan telah mati).
  Kata kunci yang kedua adalah konflik antara manusia dengan alam. Sebagian besar masyarakat Barat menganggap alam sebagai musuh yang harus ditaklukkan (bukan mitra manusia sebagaimana dalam pandangan Islam yang tercermin dalam hadits-hadits Nabi SAW diantaranya : “Gunung Uhud ini mencintai kita dan kitapun mencintainya”; atau dalam hadits lain : “Kalau kalian berperang maka jangan membunuh binatang ternak, jangan menebang pohon-pohon dan membakar ladang-ladang kecuali untuk keperluan makan kalian”), pandangan ini lalu diimplementasikan dalam bentuk eksploitasi terhadap alam, yang bermuara pada kerusakan ozon dan lingkungan serta habisnya energi sumberdaya alam di bumi.
3. TERPERANGKAP ALIRAN MATERIALISME
   Aliran materialisme menjadikan interpretasi atas segala sesuatu berdasar-kan materi semata-mata, apa yang dapat ditangkap oleh panca-indra harus diterima, sementara apa yang diluar itu adalah nonsense yang tidak perlu digubris apa lagi difikirkan. Aliran materialisme ini kemudian berkembang dan menafikan segala sesuatu yang bersifat norma dan akhlaq, menganggapnya sebagai kepura-puraan (dengan menyelewengkan arti kata munafiq) dan pada fase finalnya adalah mengingkari segala yang ghaib.
   Ajaran materialisme lalu masuk ke segala bidang, pepatah time is money tidak lagi memperdulikan apakah uang tersebut halal atau haram, pernikahan tidak lagi ditujukan untuk bersama-sama melaksanakan ridho Allah SWT sekuat tenaga, tetapi mengedepankan nilai materi semata, pendidikan lebih mengutamakan pada konsumsi akal semata dan membiarkan kegersangan batin dan ruhani.
4. BAHAYA ALIRAN SEKULARISME
   Ajaran sekularisme berawal pada abad pertengahan, setelah Barat belajar pengetahuan dari Islam, maka bermunculanlah para ilmuwan dan pakar dengan berbagai teori (yang kemudian ditentang oleh para agamawan disana), yang berbuntut pada terjadinya peperangan antara ilmuwan dengan agamawan dan berakibat pembantaian besar-besaran terhadap para ilmuwan, dengan penyaliban dan pembakaran (termasuk yang terbunuh diantaranya Galileo Galilei di pengadilan Roma, dll). Karena para ilmuwan berada pada kebenaran, maka drama ini diakhiri dengan pemberontakan besar-besaran menentang gereja yang berakibat lahirnya ajaran sekularisme, yang memisahkan agama dari ilmu pengetahuan dan memisahkan agama dari hukum dan negara.
   Sejarah lahirnya sekularisme di Barat yang demikian pahit dan melahirkan permusuhan pada agama dapat difahami. Tetapi beberapa pertanyaan yang crucial dan perlu dijawab adalah : Apa kesalahan Islam sehingga ia juga harus turut menanggung akibatnya ? Apakah karena ajaran Islam bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sehingga keduanya perlu dipisahkan ? Bukankah dalam sejarah Islam tidak pernah terjadi samasekali pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan sebagaimana yang terjadi di Barat ? Bukankah ditangan para intelektual Islamlah berkembangnya ilmu pengetahuan dan akhlaq secara bersama-sama, yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para sarjana di Barat (ilmu pengetahuannya saja dengan meninggalkan akhlaq) sehingga melahirkan peradaban modern saat ini ? Sekularisasi disatu sisi mengandung kebaikan jika tujuannya adalah untuk melakukan spesialisasi ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang ilmu masing-masing. Tetapi akan sangat berbahaya jika tujuannya adalah untuk memisahkan agama dari ilmu pengetahuan, karena anggapan bahwa agama tidak ilmiah dan tidak sesuai dengan logika. Ada bagian dalam agama yang memang bukan bagian kajian dari sains, tetapi bagian yang lainnya sangat sesuai dan dapat dijadikan sebagai dasar bagi kajian ilmiah (pembahasan ini akan lebih diperdalam dalam bab Al-Qur’an dan IPTEK).
   Lebih berbahaya lagi jika agama dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sehingga setiap orang bebas untuk berbuat maksiat walaupun ia muslim, tanpa seorangpun boleh mencegahnya. Ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam yang menganjurkan amar ma’ruf dan nahi munkar dan hadits Nabi SAW : “Ubahlah kemunkaran itu dengan tanganmu, jika tidak mampu maka dengan lisanmu dan jika tidak mampu maka dengan hatimu, tapi itu adalah selemah-lemah iman”. Sebagai seperangkat aturan dan norma, agamapun membutuhkan pengakuan dan institusi dari pemerintah yang menjamin pemberlakuan sanksi bagi pelanggar-pelanggarnya, hal ini demi terpeliharanya sustainability eksistensi dan orisinalitas ajarannya.
5. SUPERIORITAS ATAS BANGSA LAIN
    Kelemahan suatu kelompok, suku, ras, atau bangsa adalah jika ia sudah merasa lebih tinggi dari bangsa yang lain, sehingga menganggap bangsa lain sebagai bangsa yang boleh direndahkan dan dieksploitasi. Superioritas Jerman dengan ras Arianya telah melahirkan rezim Nazisme Hitler dengan korban yang besar, superioritas kulit putih Australia menimbulkan penindasan terhadap bangsa Aborigin sebagai bangsa asli benua tersebut, superioritas kulit putih Amerika telah menjadi alat penindasan terhadap bangsa kulit hitam (Ku Klux Clan) dan
Indian Amerika. Kesemua kesombongan kebangsaan dan ras itulah yang telah mengukir lembaran hitam dalam sejarah manusia dengan penjajahan yang dilakukan bangsa Barat selama ratusan tahun terhadap bangsa Timur serta menimbulkan dua perang terbesar dunia dengan korban jutaan manusia.
    Hal lain yang merupakan kelanjutan dari sikap superioritas Barat atas bangsa lain ini adalah politik hegemoni Barat atas bangsa lain. Dijadikannya PBB sebagai alat oleh Amerika dan Barat untuk melanggengkan kepentingannya, serta lembaga keuangan dunia untuk menjadi penekan bagi negara-negara berkembang membuktikan sikap ini.

Rabu, 08 Desember 2010

Muslim Kelas Menengah Indonesia: Sebuah Pencarian Identitas Tahun 1910-1950


Latar Belakang Sosial, Ekonomi dan Budaya
 Pada awal abad ke-20 Indonesia mengalami suatu perkembangan penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini, ketita daerah perkotaan menggeser peranan komunitas pedesaan sebagai tempat berlangsungnya perubahan. Jika tuntutan akan lahan dan tenaga kerja dari kaum penjajah telah mengubah tatanan masyarakat pada abad ke-19, maka pertumbuhan usaha perdagangan dan industri pada abad ke-20 telah merangsang pembangunan dibidang kehidupan sosial di pusat-pusat kegiatan tersebut (D. H. Burger, Sociologische-Economische Geschiedenis van Indonesia, disunting oleh J. S. Wigboldus, 2 jilis, Koninklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam, 1975; W. F. Wertheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, W. Van Hoeve, Den Haag, 1956. Dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 2008. Hal. 129).
 Di berbagai kota, terjadi kebangkitan golongan borjuis pribumi. Kelas baru ini terdiri atas kaum pengusaha dan cendekiawan yang menguasai cakrawala kehidupan kota. Kaum bangsawan dan pangreh praja yang disebut golongan priyayi, tersisih. Hanya di kota-kota yang masih kuat sifat kejawennya seperti di Surakarta dan Yogyakarta, kaum bangsawan tua masih menikmati kedudukan tinggi dalam pandangan masyarakat. Alhasil banyak ningrat yang bergabung dengan golongan menengah memprakarsai dan ikut berkecimpung dalam banyak usaha bersama yang tumbuh selama dasawarsa pertama dan kedua abad ke-20.
 Peranan perdagangan dan industri dalam menggerakan mobilitas sosial, terutama sangat menonjol di sektor pertekstilan dan batik di beberapa kota di Jawa, juga industri rokok di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun kegiatan usaha golongan menengah pribumi ini selalu terancam oleh barang impor dan persaingan modal dari Cina, namun mereka mampu menghadapi tantangan tersebut. Dalam suatu kerangka yang disebut ekonomi dualistik, kegiatan perdagangan dan industri pribumi itu timbul hingga membawa masalah tersendiri, yakni kebencian kaum pribumi terhadap para pemilik modal asing raksasa (Kuntowijoyo: 2008).
 Di samping perdagangan dan industri, peranan pendidikan, dalam mobilitas sosial juga tak dapat dikesampingkan. Sartono mengemukakan kebijakan pengangkatan pegawai negeri didasarkan pada pendidikan dan pendidikan ala Barat lebih didahulukan. Meskipun untuk jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan dituntut adanya “trah” bangsawan, pendidikan umumumnya telah menghasilkan mobilitas vertikal dari banyak orang tanpa memandang asal usul keturunan (Sartono Kartodirjo:1984). Lulusan sekolah menduduki jabatan di badan-badan pemerintahan, perusahaan swasta, dan selebihnya berwiraswasta. Sementara itu, pelayanan pendidikan untuk kaum pribumi makin luas, demikian juga usaha penerbitan dan media massa di kalangan penduduk asli.
 Dengan latar belakang sosial ekonomi di atas, selanjutnya kita menuju pada pembahasan tentang golongan menengah Muslim. Terlebih dahulu perlu kita bedakan antara golongan Muslim berorientasi pada kebudayaan Islam yang disebut kaum santri dengan golongan Muslim tradisi atau adat, dan dari golongan Muslim yang berorientasi pemikiran sekuler Barat. Golongan menengah santri memiliki sejarah yang panjang. Orang-orang percaya bahwa penganjur dan penyebar Islam pertama adalah kaum pedagang di kota-kota sepanjang pantai. Oleh karena itu, pusat-pusat kaum santri di bagian-bagian kota yang disebut kauman di kota-kota Jawa, juga merupakan pusat perdagangan dan industri. Pusat-pusat kaum santri ini memperoleh pujian dalam dokumen tahun 1909 karena memiliki semangat dagang bangsa pertengahan atau kelas menengah yang menggeluti bidang perniagaan. Tempat-tempat tersebut antara lain ialah Kotagede di Yogyakarta, Laweyan di Surakarta, dan Kauman di Kudus (Mitsuo Nakamura: 1983)
 Kasus banyaknya kauman menarik untuk dicermati. Kauman adalah suatu pemukiman yang diperuntukan bagi para pejabat keagamaan dalam pemerintahan pribumi. Penduduknya adalah para abdi dalem santri yang mengabdikan diri dalam pemerintahan dan karenanya termasuk golongan priyayi. Dari segi status sosialnya mereka termasuk golongan priyayi, tetapi dari segi kelas sosialnya mereka termasuk kelas menengah. Mereka tak canggung untuk berkecimpung dalam kegiatan komersial dan perdagangan seperti golongan priyayi lainnya. Ahmad Dahlan, pendiri gerakan Muhammadiyah adalah cohtoh seorang santri yang merangkap pedagang dari Kauman. Dia adalah seorang khatib di Masjid Agung Keraton Yogyakarta, juga terkenal sebagai pedagang batik yang berhasil memiliki jaringan perdagangan di banyak kota.
 Para santri mungkin merupakan kelompok yang paling dinamis dalam sejarah Indonesia. Pada abad ke-19, kebangkitan agama dalam bentuk pembenahan lembaga pendidikan pesantren dan gerakan tarekat Islam, dipimpin oleh para pemuka agama di pedesaan, yakni para kiayi. Pemerintah Kolonial selalu mencurigai kaum santri, sehingga melakukan beberapa usaha dan tindakan untuk membatasi pengaruh kaum santri terhadap kebangkitan agama. Kebangkitan agama sebagai gerakan juga telah mendorong gerakan menentang kekuasaan kolonial, bersamaan dengan berbagai gerakan protes di daerah pedesaan Jawa (Sartono Kartodirdjo: 1973). Berlainan dengan kebangkitan pada abad ke-19 yang bersifat pedesaan, kolot, dan konservatif, kebangkitan kaum santri pada abad ke-20 bersifat kekotaan, reformis dan dinamis. Harry J. Benda menyatakan bahwa kebangkitan kaum santri kota berjuang melawan empat seteru: formalisme kolot, kebudayaan adat dan priyayi, sikap kebarat-baratan, dan status quo penjajahan (Harry J. Benda: 1983).
Sarekat Islam (SI) Sebagai Gerakan Sosial dan Politik
 Pada awal abad ke-20, di tengah-tengah kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk pribumi, kaum santri berhasil menghimpun kembali kekuatan dalam masyarakat untuk melancarkan gerakan baru. Kelahiran Sarekat Islam (SI) merupakan peristiwa yang luar biasa dan tidak ada duanya karena mendahului gerakan kebangsaan, sementara dari segi Islam, ia mendahului gerakan keagamaan (Kuntowijoyo: 2008).
Pendirian Sarekat Dagang Islam di Betawi pada tahun 1909 telah diikuti kegiatan yang sama dibanyak kota lainnya. Sarekat Dagang Islam di Surakarta didirikan pada tahun 1911 dan yang kemudian menjadi gerakan kebangsaan, khususnya setelah berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1913. Sarekat Islam bagi masyarakat desa dan kota merupakan gerakan yang sudah lama ditunggu-tunggu untuk suatu perubahan. Bersama-sama dengan gerakan santri lainnya, SI menanggapi perubahan yang disebabkan oleh proses penguangan, pemiskinan, dan integrasi masyarakat pribumi ke dalam perekonomian dunia.
 SI kemudian menjadi organisasi massa. Hanya di beberapa tempat saja pengurusnya terdiri atas para pedagang, seperti yang ada di Jatinegara, yang ketujuh anggota pengurusnya adalah pedagang. Di tempat lain, SI biasanya mencakup semua kelompok dalam lapisan masyarakat setempat, termasuk para priyayi dan petani. Bahkan di Madura dan Surakarta, para serdadu pribumi adalah anggota SI (Kuntowijoyo: 2008). Daya tarik organisasi tersebut bagi masyarakat ialah rasa kebersamaan sosial yang ditekankan dalam SI. Orang dapat membayangkan bahwa urbanisasi merupakan ancaman atas rasa keterikatan massa rakyat. SI menanggapi tantangan tersebut dengan menyelenggarakan riungan di masjid, menekankan usaha gotong royong seperti dalam paguyuban atau perkumpulan kematian. Belum pernah sebelumnya dan tak akan pernah terjadi lagi, suatu organisasi sosial Indonesia mampu menggalang begitu banyak golongan dalam masyarakat. Dalam kerangka stratifikasi masyarakat kolonial maupun tradisional, SI merupakan sebuah organisasi wong cilik. Para pedagang dan golongan menengah di dalamnya sering bertindak sebagai pemrakarsa, pengurus atau penyedia dana. Sebagai suatu gerakan massa, SI bahkan dibiayai melalui uang iuran seluruh anggotanya yang mempunyai kartu anggota (Kuntowijoyo: 2008)
 Permusuhan antara SI dan masyarakat etnis Cina dilandasi perbedaan ideologi. Golongan menengah santri menyatukan dirinya dengan rakyat menentang apa yang disebut Tjokroaminoto sebagai kapitalisme durhaka meskipun ia tak pernah merinci gagasannya ke dalam penafsiran yang sistematik tentang bangunan masyarakat yang dikehendaki. Mudah untuk menyimpulkan bahwa di dalam tubuh SI hidup perasaan anti-Cina yang keras. Bangsa Cina adalah saingan utama para pengusaha pribumi dan merupakan sasaran prasangka rasial massa rakyat. Hak-hak istimewa yang diberikan kepada bangsa Cina oleh pemerintah kolonial cukup memberikan alasan untuk menyamakan Cina dengan kaum penjajah (Kuntowijoyo: 2008). Ideologi yang dirumuskan secara sistematik akhirnya disuntikan oleh golongan kiri SI atau apa yang disebut dengan SI Merah yang berasal dari cabang Semarang di bawah pimpinan Semaun. Hal ini bukan berarti bahwa radikalisme massa rakyat adalah hasil propaganda golongan kiri. Banyak pengurus cabang/ranting di kota-kota kecil melancarkan tindakan keras menentang pemerintah tanpa persetujuan pengurus pusat SI.
 Salah satu contoh yang paling terkenal ialah kasus SI “Afdeeling B” di Jawa Barat yang mempunyai pengaruh besar di daerah pedesaan. Diberitakan bahwa penduduk di kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Bandung menunggu-nunggu kedatangan Imam Mahdi atau Ratu Adil (Kuntowijoyo: 2008). Sartono dengan tepat menyatakan bahwa ideologi SI telah berubah menjadi ideologi yang bersifat mistik dan keagamaan, pada waktu SI merentangkan sayapnya ke daerah pedesaan (Sartono Kartodirdjo: 1973). Ratu Adil telah dijadikan pekik perjuangan penduduk desa yang tertindas di Jawa dan Madura pada abad k-19, dan kemunculannya kembali dalam kalangan SI pada abad ke-20 dapat dipandang sebagai kelanjutan dari tradisi radikalisme.
 Penyatuan diri kaum santri golongan menengah dengan massa wong cilik mulai memudar ketika SI menghadapi tekanan dari golongan sayap kiri radikal dalam tubuhnya yang membentuk Partai Komunis dari cabangnya di Semarang. SI dipaksa untuk melihat ke dalam dirinya setelah usahanya menggalang massa rakyat gagal dan prakarsanya diambil alih oleh kaum komunis. Untuk beberapa waktu, para pemimpin SI mengerahkan segala daya upaya untuk menahan kemunduran dengan memberikan dukungan kuat kepada kaum buruh. Namun, kaum komunis pastilah lebih terlatih dalam perkara yang berkaitan dengan kaum proletar di lingkungan industri tersebut. Sementara itu, kepemimpinan agama dalam tubuh SI juga mengalami kemerosotan karena adanya pertentangan mengenai doktrin kepemimpinan tertinggi SI, antara Tjokroaminoto dan para ulama. Setelah membersihkan SI dari kaum komunis pada tahun 1923, SI juga mengeluarkan Muhammadiyah pada 1927. Para ulama aliran tradisional keluar dari SI yang didominasi golongan modern untuk mendirikan organisasi sendiri yaitu Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Pada akhirnya, kepemimpinan agama kaum santri golongan menengah diambil alih oleh Muhammadiyah dan Nhdlatul Ulama. Dengan demikian, SI ditinggalkan kaum proletar dan kaum ulama (Kuntowijoyo: 2008).
 Namun sebelum mengalami kemunduran, SI telah meninggalkan tonggak sejarah yang pasti akan selalu dikenang, yaitu menjadikan kaum santri golongan menengah pada umumnya mempunyai suatu kesadaran yang tinggi. Sedangkan pada penduduk pada umumnya, SI menanamkan akarnya di masyarakat dengan pembentukan massa yang dijiwai ajaran Islam, yaitu umat. Jika penyatuan diri dengan massa rakyat agaknya membawa mereka pada sebuah jalan yang buntu, pengikatan diri pada umat memberikan pada mereka suatu arah yang jelas. Konsep umat barangkali lebih memberikan arti kepada kaum santri karena jelas termuat dalam Al-Qur’an. Gagasan tentang wong cilik atau massa rakyat dengan kesadaran golongan, kelas, atau kedudukan, bagi mereka pada waktu itu tidak jelas disebutkan dalam ajaran Islam. Akan tetapi, umat sebagai suatu konsep, mudah diberi tanggapan yang berbeda-beda dan terikat pada kebudayaan. Ironisnya ialah bahwa kebangkitan umat Islam telah membawa akibat pengucilan diri golongan Muslim dari percaturan politik setelah mereka gagal memimpin massa rakyat.
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama: Gerakan Pendidikan dan Sosial Islam
 Setelah SI mengalami kemunduran, para santri pengusaha bergabung ke Muhammadiyah, sedangkan para santri petaninya memilih NU. Disebabkan sifat kedesaannya yang menjadikan NU berkebudayaan petani, tradisional dan konservatif. Pada dasarnya, baik Muhammadiyah yang beraliran modern maupun NU yang beraliran tradisional memiliki suatu persamaan, yaitu fakta bahwa keduanya didirikan dan disebarkan melalui hubungan pribadi dan keluarga (Mitsuo Nakamura: 1983). Para pemimpin Muhammadiyah berpusat disekitar kampung Kauman di Yogyakarta, sedangkan pemuka NU di Pondok Pesantren Tebuireng di Jawa Timur. Bahkan sampai saat ini, situasi kepemimpinan kedua organisasi itu pada dasarnya tetap sama meskipun disiratkan bahwa para pemimpin NU tipe kharismatik-otoriter dari kebudayaan petani, sedangkan para pemuka Muhammadiyah adalah tipe rasional-demokrat dari kebudayaan borjuis. Perbedaan keduanya terletak pada kenyataan bahwa dalam organisasi Muhammadiyah, para pengusaha berhasil menduduki jabatan penting, sedangkan di NU, para kiyai memonopoli kedudukan penting sedangkan para pengusahanya hanya memainkan peranan penunjang.
 Munculnya Muhammadiyah mendapat sambutan baik dari golongan menengah perkotaan di Jawa dan Madura. Di Jawa bahkan tidak hanya golongan menengah dan terdidik, melainkan juga kaum bangsawan setempat menyambut dengan baik gerakan pembaharuan tersebut. Sultan HB VII di Yogyakarta bahkan menghibahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah sekolah Muhammadiyah. Di Sumatera, daerah pembaharuan agama dibarengi dengan munculnya kaum muda, gerakan Muhammadiyah juga mendapatkan sambutan yang baik.
 Muhammadiyah melambangkan sebuah masyarakat terbuka dalam proses kelahirannya. Kumpulan pangajian pada malam hari, kegiatan dakwah yang dilakukan dengan tabligh, sangat berbeda dengan suasana pertemuan masyarakat tertutup seperti dalam gerakan tarekat yang biasanya diliputi suasana ”angker”. Sesungguhnya, Muhammadiyah menentang pratik tarekat yang dianggapnya berlebih-lebihan dan penuh dengan syirik  (Dhofier: ) Sebagaimana kecenderungan sikap modern dalam Muhammadiyah yang membedakan organisasi ini dengan kalangan agama tradisional, Muhammadiyah juga membedakan dirinya dalam banyak hal dengan kalangan abangan yang cenderung berkebudayaan sinkretik.
 Meskipun demikian, Muhammadiyah tidak luput dari kritik atas kekurangannya. Tidak seperti kaum tradisional, Muhammadiyah telah mengikis ikatan tradisi antara kiai dan santri yakni suatu ikatan antara pengasuh dan anak asuh digantikan oleh ikatan antara pengurus dan anggota. Selain itu, Muhammadiyah juga menghilangkan lambang-lambang sebagai pernyataan dunia santri yang penuh pesona. Tak ada lagi upacara keagamaan dan tetabuhan serta nyanyian agama, seperti salawatan dan barzanji. Pilihan untuk menghapuskan kehidupan yang penuh dengan perlambang dan menggantikannya dengan kehidupan yang lebih rasional dan praktis tidaklah khas Muhammadiyah karena merupakan ciri gerakan Puritan di dunia Barat, suatu semangat kebangkitan keagamaan yang mendampingi kelahiran masyarakat industri (Kuntowijoyo: 2008).
 Tidak seperti Muhammadiyah yang merintis jalan bagi umat memasuki masyarakat industri modern yang berorientasi pasar, Nahdlatul Ulama lazimnya dikaitkan dengan masyarakat tani pedesaan. Akan tetapi, ini tidak seluruhnya benar. Sejarah pendirian banyak pesantren menunjukan bahwa banyak dari para kiai sesungguhnya adalah pedagang. Di antara kiai yang terkenal sebagai pendiri NU pada 1926, mungkin hanya K.H. Hasyim Asy’ari yang seorang tuan tanah, golongan petani menengah. Kiai lainnya seperti, K.H. Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang pengusaha yang bekerja sebagai syekh atau pengurus rombongan haji dan juga sebagai prokol. K.H. Bisri Syamsuri adalah seorang wiraswastawan, sedangkan kiai Ridwan seorang pedagang batik (Dhofier:). Dhofier dengan bukti-bukti yang ada padanya menyebutkan bahwa pesantren-pesantren di daerah Jawa Timur sebagai pemelihara ideologi konservatif Islam juga memaklumi dan mampu menanggapi kebudayaan kota (Dhofier: ) Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa banyak pesantren terkenal terletak di kota-kota pantai, tempat Islam diperkenalkan pada abad-abad sebelumnya.
 Meskipun demikian, kita dapat mengatakan bahwa dengan latar belakang keanggotaan yang banyak sekali terdiri atas penduduk dengan kebudayaan desa, pesantren tersebut menjadi “dikaum tanikan” ketimbang kaum tani yang “dikotakan. Latar belakang masyarakat tertutup dari kaum tani, melindungi pesantren dari dunia luar. Gangguan dari campur tangan birokrasi diperkecil oleh dinamika masyarakat tertutup yang memberikan kepada umatnya, kebudayaan tersendiri yang bebas. Misalnya, dalam stratifikasi sosial, kebudayaan santri pedesaan menciptakan hirarki sendiri yang menempatkan para kiai pada lapisan paling atas dalam lapisan masyarakatnya. Sering kali di desa kiai menjadi saingan berat lurah dalam kehidupan politik di tingkat masyarakat tersebut. Peristiwa pemberontakan kaum tani menunjukan bahwa pengaruh para kiai di desa sering lebih luas dan lebih kuat ketimbang kekuasaan para pamong desa. Apa pun latar belakang desanya, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya para kiai tersebut mengambil gaya hidup kosmopolit ala kaum elit.
 Kelembagaan yang penting di kalangan kaum tradisional ialah pesantern, juga biasa disebut pondok yaitu sebuah sekolah berasrama yang menjadi tempat tinggal kiai maupun santrinya. Dalam pondok tersebutlah para santri hidup dan belajar, suatu hal yang lebih merupakan gaya hidup. Sistem pendidikannya terdiri atas dua metode, yakni bandongan dan sorogan. Bandongan lebih menyerupai ceramah, dengan para santri diajari buku-buku agama secara berkelompok. Sedangkan sorogan, ialah belajar sendiri dengan para santri yang membawa kitab pilihannya sendiri untuk dibahas bersama sang kiai. Yang terpenting ialah iklim keagamaan dalam kehidupan sosial mereka di pondok, keterikatan secara emosional kepada kiai, sesama santri dan gaya hidup.
 Pada sekitar tahu 1910-an, sistem pengajaran tradisional di pesantren sebagian ditata kembali, digantikan oleh sistem sekolah berjenjang yang disebut madrasah dengan kurikulum yang ditetapkan. Sistem ini menghapuskan tradisi “santri kelana”, yakni kondisi dimana seorang santri harus berkelana dari pesantren satu ke pesantren lainnya untuk mencari kiai yang ahli dalam suatu ilmu agama tertentu untuk belajar kepadanya. Antara tahun 1916 dan 1934, madrasah sekali lagi mendapat penataan dengan memperkenalkan sistem belajar tujuh tahun, termasuk dua tahun persiapan untuk penguasaan bahasa Arab ditambah lima tahun untuk belajar ilmu agama dan pengetahuan umum, bahasa Indonesia, Matematika, dan ilmu bumi. Pembaharuan pengajaran terus berlanjut hingga dasawarsa 1950-an (Dhofier:)
 Pesantren juga menjadi tempat sosialisasi dan pendidikan politik bagi kaum santrinya. Tidak seperti Muhammadiyah yangt beraliran pembaharuan, NU menolak bantuan pemerintah dan lebih suka bebas dari campur tanganya, dan kenyataan bahwa pemerintah juga menuduh pesantren mengadakan kegiatan gelap yang bersifat pendidikan politik. Dari segi sikap politiknya yang tradisional, menarik untuk disimak bahwa meskipun pesantren bersifat nonkooperatif terhadap pemerintahan kolonial, pesantren tidak aktif dalam gerakan protes terhadap pemerintah. Pesantren memusatkan perhatiannya pada upaya pendidikan keislaman dan menghindari pertentangan. Sebutan pasif terhadap pesantren barang kali benar untuk beberapa daerah terutama Jawa Timur. Akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi daerah Jawa Barat yang mempunyai tradisi pesantren juga. Kita telah kemukakan di awal bahwa daerah Jawa Barat mempunyai kecenderungan kuat ke arah radikalisme. Sedikitnya sifat radikalisme di Jawa Timur barangkali disebabkan oleh keberhasilan politik pemerintahan kolonial dengan pembentukan golongan petani menengah di daerah tersebut. sesungguhnya, pemerintah kolonial mengharapkan bahwa gerakan keagamaan nonpolitik seperti Muhammadiyah dan NU dapat menjadi penghalang gelombang pasang gerakan kebangsaan yang radikal, (Kuntowijoyo: 2008). Suatu harapan yang sebagiannya terwujud. Sebab dalam suatu hal, kaum modern dan tradisional untuk sekali lagi dipersatukan oleh sentimen agama, pada tahun 1937 membentuk Majelis Islam A’ala Indonesia (MIAI), sebuah badan untuk semua gerakan keagamaan, termasuk yang beraliran politik. Menjelang akhir kekuasaan Belanda dan setelah proses sosialisasi politik berpuluh-puluh tahun , umat Islam Indonesia pun akhirnya siap untuk memasuki babak baru, melangkan dari umat menjadi warga negara.
Dari Umat ke Warga Negara
 Adalah pendudukan Jepang yang melambungkan umat pada kepemimpinan nasional. Jika selama masa penjajahan Belanda, golongan muslim berada pada kedudukan yang tertinggal, menjadi korban dari sikap dan tindakan yang berat sebelah, maka situasi tersebut dijungkirbalikan Jepang yang lebih memilih kaum santri dari pada kaum priyayi. Kebijakan ini diambil karena Jepang mengharapkan peranan para pemimpin Muslim dalam menggalang kekuatan massa rakyat untuk kepentingan perang mereka.
Pada tahun 1942 didirikanlah oleh Jepang Kantor Urusan Agama, awalnya dikepalai oleh seorang pejabat Jepang yang Muslim, akan tetapi kemudian diserahkan kepada orang Indonesia. Pada tahun 1944, kantor tersebut dikepalai oleh K.H. Wahid Hasjim dari NU. Ini adalah suatu hal yang luar biasa karena peristiwa semacam ini tak pernah terbayangkan pada masa penjajahan Belanda. Di antara kegiatannya, kantor ini menyelenggarakan latihan untuk para penghulu dan kiai. Nilai latihan tersebut bagi umat lebih penting dari pada yang diharapkan oleh Jepang sendiri. Para pejabat keagamaan tradisional, yakni para penghulu dan para pemimpin umat diperkenalkan pada masalah-masalah politik modern.
 Jepang juga membantu pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk menggantikan MIAI. Pada tahun 1944, Jepang juga mendirikan Hisbullah yang bersifat semi militer bagi pemuda Muslim. Tampaknya Jepang bukan secara kebetulan memilih kaum muslim untuk menduduki jabatan dan kedudukan penting di Kantor Urusan Agama dan Hisbullah, tetapi dengan suatu rencana yang pasti. Pihak Jepang lebig mempercayai para pemimpin dari golongan Muslim dari pada pemimpin dari golongan priyayi untuk menggalang masa.
 Pada masa setelah kemerdekaan, usaha menanamkan kesadaran berwarga negara yang telah dimulai Jepang diteruskan agar para pemuda Muslim yang menduduki jabatan di lingkungan militer dan pemerintahan sipil dapat mempertahankan kedudukannya. Akan tetapi, peralihan dari umat kepada warga negara tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak faktor yang ikut mendorong timbulnya pertentangan antara kaum santri dan para pemimpin nasional. Penyakit lama masa lalu, yakni sikap saling mencurigai antara santri dan priyayi, antara santri dengan kaum abangan, terefleksikan dalam pertentangan politik modern.
 Pertentangan yang paling parah terjadi di daerah Jawa Barat yang dalam sikap radikalismenya para petani kaum santri dengan tradisi yang lama menyambut dengan positif berdirinya gerakan Darul Islam pada tahun 1948. Gerakan ini bertujuan untuk menumpas kaum komunis di Indonesia dan mendirikan negara Islam. Oleh sebab yang sama, segolongan masyarakat di daerah selatan Jawa Tengah yakni Angkatan Oemat Islam juga mendukung gerakan Darul Islam pada tahun 1951 (C. van Dijk: 1981). Akan tetapi mayoritas Muslim Indonesia tetap bernaung di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia, betapapun dan berapa pun yang harus dibayar dalam kehidupan politik di kemudian hari.

Rabu, 01 Desember 2010

ANGKATAN OEMAT ISLAM: GERAKAN ISLAM LOKAL DI KEBUMEN 1945-1950

Pendahuluan
Angkatan Oemat Islam (AOI) didirikan sekitar September-Oktober 1945. Sebagai gerakan kelaskaran, sudah banyak gerakannya dalam menghadapi usaha-usaha militer Belanda antara 1945-1950 di kebumen. Gerakan ini tidak akan menarik perhatian kalau pada akhirnya, yaitu 1 Agustus 1950, tidak tercatat sebagai pemberontak.dari semua pemberontakan yang ada di Indonesia pada tahun-tahun itu, AOI mempunyai tempat tersendiri. Kalangan tentara menganggap AOI indispliner, sementara itu menteri agama RIS, Wahid Hasjim berpendapat ada salah paham antara AOI dan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).1 Di bawah ini adalah usaha meninjau struktur dan fugsi sosialnya untuk melihat seberapa jauh corak organisasinya telah menempatkan pergerakan itu dalam posisi sebagai pemberontak. Sekalipun tidak ada data terperinci, suatu analisis masih mungkin dilakukan.
Pada Oktober 1945 telah berdiri AOI, AMGRI (Angkatan Muda Guru Indonesia), dan Barisan Banteng. Pada bulan November berdiri pula Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Barisan Buruh Indonesia (BBI), PERWANI, GPII, Hisbullah, Laskar Rakyat, dan Srekat Tani Indonesia (SATRIA) yang kemudian menjadi BTI (Barisan Tani Indonesia). Dari daftar di atas tampak beracam gejala masyarakat yang mulai mengelompokan diri dalam suatu badan. Badan-badan itu mempunyai basis sosial masing-masing. Ada badan yang mempunyai hubungan vertikal dan nasional, serta ada yang hanya bersifat lokal. AOI adalah badan lokal yang merekrut anggota-anggotanya dari petani desa dan lebih berdasarkan agama.
Susunan kepengurusan AOI yang pertama adalah Kiai Mahfud (ketua), Moh. Sjafei (wakil ketua), Saebani (penulis), dan Affandi (bendahara).2 Tak lama setelah pembentukannya resmi, ranting-ranting AOI segera berkembang di desa-desa hampir 22 kecamatan seluruh Kebumen. Dengan dukungan seperti itu, tak heran jika kemudian AOI segera menjadi badan kelaskaran yang terkuat.
Adalah tujuaan dari tulian ini untuk menganalisis mengapa AOI yang pada mulanya sangat potensial bagi perjuangan akhirnya terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah—suatu perjalanan yang unik dalam riwayat organiasasi sosial.
Analisis Tentang Kekuasaan Elite dan Kelompok Sosial di Pedesaan
Dahulu, Kebumen termasuk dalam wilayah Bagelen sebagai suatu daerah vorstenladen—yang sesudah perang Jawa, pada 1830, menjadi daerah Gubermen1. Di bawwah pemerintah Hindia Belanda, segala peraturan pemerintah yang menyangkut desa seperti cultuur-stelsel, dan pajak-pajak terasa sampai ke desa. Begitu juga kegiatan seperti gugur gunung yang pernah dilaksanakan pada masa pendudukan Jepang. Pamong desalah yang berkewajiban memikul tugas-tugas itu. Pemerintah desa cenderung muncul dan berkembang menjadi kekuasaan legal. Gejala-gejala ini menunjukan bahwa tradisi lama yang menganggap lurah sebagai Patriacrch desa mulai meluntur dan digantikan oleh tradisi baru, yaitu lurah hanyalah seorang pejabatdari sebuah birokrasi yang bersifat rasional dan impersonal. Inilah yang mnyeebabkan loyalitas penduduk berubah dari ikatan non-kontraktual ke ikatan kontraktual, yang dikuatkan dengan sangsi hukum positif. Singkatnya status lurah telah digantikan oleh power akibat solidaritas sosial lama yang mulai retak.
Ketika itu di desa, sesungguhnya telah muncul sistem stastus yang lain, yaitu yang lebih didasarkan pada ukuran agama. Kiai atau haji mempunyai status tinggi pula. Dalam pengaruh, kiai dapat menyaingi lurah, sehingga kedua power elite desa itu berada dalam posisi berhadapan. Selebihnya mereka membawa social group masing-masing atau sebaliknya.
Demikianlah, kita melihat bahwa di desa terdapat dua kelompok rural elite, yaitu elite birokrasi dan elite agama, atau lurah dan kiai. Keduanya sama-sama mempunyai otoritas. Lurah dengan otoritas tradisional yang kemudian menjadi rasional dan kiai dengan otoritas kharismatik. Lurah dijamin oleh tradusu dan hukum, kiai oleh kekeramatan perseorangan. Lurah adalah pewaris little tradition, sementara kiai adalah pewaris dari great tradition, yang pertama tradisi Jawa dan yang kedua tradisi Islam.
Sebenarnya, tidak ada perubahan struktural maupun fungsional di desa jika tidak ada perang persiapan-persiapan perang meimbulkan kecemasan—sesuatu yang menyebabkan penduduk mencari natural leader di tengah-tengah kekacauan tersebut. Max Weber mengatakan bahwa natural leader pada saat-saat kekacauan fisik, psikis, ekonomis, etis, religius, atau politis, bukanlah pejabat-pejabat, tapi orang yang mempunyai kesangguan badan dan batin, kekuatan yang dipercaya sebagai gaib yang tak dimiliki setiap orang. Itu sebabnya pandangan orang tertuju kepada kiai dan bukannya kepada lurah. Pada latar semacam inilah, AOI mendapat sambutan yang sangat responsif dari penduduk. Di pihak lain, kedudukan legal lurah sebagai kepala desa dan formal group semakin terancam. Dengan adanya dua formal group yang saling bersaing dan bertanding itu, mekanisme pemerintahan desa menjadi beku.
Meskipun demikian, dalam pandangan Angkatan Perang dan pemerintah, lurah masih tetap dianggap sebagai satu-satunya pemimpin di tengah rakyat.2 Sinyalemen ini tidak sesuai dengan kenyataan sosial di desa. Pada pertengahan 1948, lurah Gondanglegi diserbu oleh pemuda-pemuda AOI dari Kutawinangun dan Kedungwot. Inilah konflik antara santri dan abangan, atau antara kanan dan kiri.3 Lurah mencari perlindungan pada Angkatan Perang. Selain itu berdiri Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) pada tahun itu. Usaha untuk memperkuat desa dan birokrasi lewat pembentukan Pager Desa (Pasukan Gerilya Desa) dengan instruksi dari MBKD (Markas Besar Komando Djawa) No. 11/MBKD/49 di Kebumen, tidak banyak mengubah kekuatan desa. AOI rupanya masih lebih berpengaruh.4 Dua power elite masih saling berhadapan.
Organisasi Sosial
ketika AOI diminta menyerahkan pasukannya kepada Angkatan Perang, terjadilah perbedaan pendapat yang tajam. Banyak hal yang harus dipikirkan oleh pemuka AOI. Tapi Batalion Lemah Lanang ditambah dengan Ki Surengpati dari Hisbullah diresmikan sebagai Bn9/Be IX/III; dan pelantikannya dilakukan pada 17 Mei 1950. Kesulitan-kesulitan itu terjadi karena secara struktural dan fungsional, organisasi sosial AOI bereda dengan pasukan lain. Di bawah ini adalah uraian mengenai organisasi sosialnya.
Hukum agama selalu menjadi pertimbangan pemuka AOI. Dalam rapat, Kiai Mahfud akan menulis ayat-ayat di papan, kemudian bermusyawarah tentang arti dan pelaksanaan ayat-ayat itu. Ketika pada November 1945 AOI berangkat untuk front Sidoarjo di Surabaya, sebelum pasukan dikirim, perbekalan dan bahan makanan dikirim lebih dahulu. Tindakan ini didasarkan pada sebuah ayat yang mendahulukan kata amwalikum (harta benda) daripada anfusikum (dirimu) dalam ayat tentang jihad.5
Dalam kepengurusan AOI, bagian ruhani mempunyai peranan besar. Pelajaran-pelajaran ruhani yang diberikan meliputi tauhid, fiqih, dan juga tarikh Nabi. Para prajurit di asramakan, mendapatkan latihan militer, bimbingan pelajaran ruhani, dan pada waktu senggang juga wirid atau shalat malam. Mereka tampak bersedia mensucikan diri sebelum mati syahid. Basis moral agama itu dapat dipandang sebagai formula politik bagi AOI yang meungkinkannya menarik pengikut.
Anggota AOI adalah petani dari desa-desa, berbeda dengan badan lain yang beranggotakan pegawai, buruh, atau pedagang. Pada tahun 1948, AOI ditugasi membantu keamanan di Kebumen untuk pembersihan sisa-sisa pemberontak Madiun; juga diserahi tugas NTR dari 123 desa di sebelah utara Kebumen dengan mengangkat enam kepenghuluan yang beranggotakan tiga puluh orang kiai.6 Ini menunjukan beberapa kemajuan dalam hubungan dengan outer group. Juga masuknya Bn. Lemah Lanang ke APRIS, dan integrasi Ki Surengpati Hisbullah ke dalamnya—gejala-gejala yang memberikan harapan kalau tidak tibatiba terputus karena peristiwa berikutnya.
Hubungan antara AOI pusat dan kiai-kiai desa di tingkat ranting sudah lama terjalin—sesuatu yang misalnya menyebabkan AOI tidak mengubah organisasi sosial yang di bawa dari desa sebagai basisnya. Solidaritas lama yang berdasarkan ikatan informal dan nonkontraktual tetap berjalan meskipun AOI mengembangkan suatu solidaritas organis lebih daripada solidaritas mekanis seperti yang terdapat pada zaman lampau. Hubungan seperti itu, seperti halnya sangat terasa di daerah pedesaan Jawa, bersifat langsung intim, personal, dan langgeng. Solidaritas sosial semacam itu lebih diintensifkan lagi dengan adanya asrama tempat anggota yang sudah homogen—dengan pengalaman, latar belakang kebudayaan, dan agama yang sama—dikumpulkan. Dengan cepat, suatu perilaku kolektif menjadi pola tingkah laku mereka. Yaitu suatu perasaan kolektif yang di dalamnya kohesi sosial terjadi sesama anggota, sementara perasaan bermusuhan muncul terhadap kelompok di luarnya. Prasangka mereka yang lama terhadap abangan, priyayi, atau orang asing, mulai mencari bentuk. Perselisisan sudah terjadi ketika pada Februari 1949, Mayor Sudarmo mulai mengonsolidasikan pasukan di Kebumen.7
L’ Enfant Terrible
Seharusnya AOI telah membubarkan diri ketika Bn. Lemah Lanang diresmikan menjadi bagian APRIS. Tetapi AOI tidak bubar. Pada 31 Juli 1950, seorang anggota AOI ditemukan mati tertembak setelah berkelahi dalam sebuah jeep dengan anggota-anggota CPM. Pada pagi harinya, 1 Agustus 1950, Somolangu ternyata sudah dikepung, setelah usaha pendekatan sebelumnya gagal dilakukan, sehingga perang menjadi tak terhindar.
Perubahan yang cepat dalam revolusi dan juga kekacauan perang telah membawa disorganisasi pribadi dan sosial. Anggota AOI mula-mula berniat menjadi anggota sukarelawan, melaksanakan jihad, kemudian akan kembali ke pondok setelah perang selesai. Tapi setelah itu mereka menghadapi problem-problem: 1. Menjadi tentara tetap atau tidak; 2. Jika masuk APRIS, senjata yang dulu dimiliki tidak lagi menjadi haknya; 3. Beberapa batalion APRIS dicurigai sebagai komunis; 4. AOI harus bubar atau terus; 5. Ada usaha mutasi personil dan tempat bagi Bn. Lemah Lanang dalam rangka agar mereka dapat dipecah-pecah; 6. Suatu disiplin rasional tidak tepat untuk mereka; 7. Demobilisasi akan membawa problem baru; 8. Mereka sendiri terlalu terisolasi, sehingga menyusahkan kerja sama dengan pasukan lain; 9. Persaingan yang terjadi antar pasukan telah berkembang menjadi konflik; dan 10. Mereka takut menghadapi hal-hal baru.
Rupanya di desa, AOI dapat dipandang sebagai reaksi santri terhadap birokrasi, sebagaimana gerakan Samin adalah reaksi abangan terhadap birokrasi. Kiai Mahfud dan kiai-kiai AOI tidak berhasil membina pola hubungan baru baik dengan cara intragroup maupun intergroup. Mereka tampak lebih sebagai broker yang gagal, yang tidak berhasil menerjemahkan institusi nasional ke dalam komunitas lokal, atau menerjemahkan unsur kosmopolitan Islam ke dalam lingkungan lokal penduduk pedesaan.
Barang kali karena anggotanya terdiri atas para petani dan tidak terdapat golongan menengah yang receptive di kalangan mereka, mereka kemudian cenderung kembali ke basisnya, yaitu suatu komunitas tertutup, semacam revivalisme dari pondok dengan santri sebagai pelaku utamanya. Tampak apa yang disebut cultural-lag dalam tubuh AOI, sehingga terdapat jarak antara kota-desa, nasional-lokal, modernisme-revivalisme, atau masyarakat terbuka-masyarakat tertutup. Intelegensia AOI yang mempunyai tugas lebih dari sekitarnya tidak menjalankan perannya secara maksimal. Pesantren atau pondok yang seperti desa pada umumnyacenderung mempunyai otonomi, tidak mersa perlu akan tambahan, timbal balik dari subordinasi. Pesantern tetap bertahan untuk suatu little-communty dengan corak yang
homogen, lamban, dan merasa cukup-diri.1
Keinginan Kiai Mahfud yang mengatakan sesudah perang kiai akan kembali mengajar dan santri akan kembali ke pondok, tidak semudah itu dapat dijalankan. Transformasi masyarakat tamapaknya tidak berlangsung secepat yang dicita-citakan. Ini menyebabkan otoritas kharismatis dimintai pertanggungjawaban dan dengan demikian dituntut untuk selalu menunjukan kekuatannya. Situasi ini menjadikan pemimpin AOI terseret untuk kembali kepada otoritas karismatis dan mempermanenkannya, dan itu berarti menghadapkannya pada birokrasi, yaitu RIS. Dikabarkan bahwa AOI bahkan akan mendirikan negara merdeka sendiri dengan batas-batas Sungai Lukula di barat, Sungai Gebang di timur, Wonosobo di utara, dan Laut Selatan di selatan; atau setidaknya mendirikan suatu daerah kepoetihan yang didiami oleh orang-orang Muslim yang saleh.
Perubahan dari geurilla forces ke regural army yang diusahakan oleh pemerintah mempunyai dampak tertentu bagi AOI. Otnomi dalam politik dan ekonomi yang sangat perlu dalam perang gerilya, telah dengan baik dilaksanakan oleh AOI. Selama ini AOI sama sekali otonom, tidak ada subordinasi dari birokrasi pemerintah atau angkatan perang. Mitos tentang kekuatan diri sangat dikenal begirtu AOI banyak melakukan keberanian dan kesuksesan dalam perang gerilya—sesuatu yang juga memunculkan apa yang disebut warlordism pada tahun 1950-an. Kelas berkuasa yang memang masih berada di tangan lama, minus Belanda, menggusarkan AOI. Selama ini AOI sudah merupakan suatu power group yang berpengaruh, tapi tak cukup berbuat banyak karena bukan ruling-class—suatu keadaan yang dianggap tidak adil.
Pada bulan September 1950, setelah peristiwa AOI meletus, rapat ulama diadakan di Candi, dipimpin oleh Kiai Haji Umar Nasir.2 Rupanaya peristiwa ini menunjukan gejala seperti yang terjadi pada birokrasi kolonial dengan adanya golongan agama sekuralis yang mendapat status formal dalam birokrasi dan ulama revivalis yang didukung oleh peduduk desa.3 Tampak sekali bahwa sebagai gerakan Islam, AOI mengikuti pola kebudayaan santri pedesaan abad ke-19—sesuatu yang aneh karena pada tahun 1950-an itu, gerakan Islam lain cenderung bersifat urban, reformis, dan dinamis.
KESIMPULAN
Lebih dari segalanya, kasus AOI adalah suatu problem sosial. AOI bukan semata-mata badan kelaskaran, tetapi suatu pergerakan sosial yang abortif karena gagal mencapai sasaran pergerakannya.1
Dalam menyelesaikan problem sosial, yang sebagian anggota masyarakatnya memisahkan diri, sebaiknya diadakan sosialisasi. Seandainya suatau penyelesaian damai terlaksana, niscaya jiwa dari 1.500 hingga 2.000 orang akan selamat dari kematian, dan keretakan sosial selanjutnya dapat dihindari, tapi, sejarah rupanya telah bergerak terlaku cepat sebelum timbul perkiraan mengenai apa yang bakal terjadi. Kini, tampak bahwa sudah saatnya ilmu-ilmu sosial mendapat perhatian untuk menyelesaikan problem-problem sosial seperti itu.

Selasa, 23 November 2010

Islam: Sebuah Paradigma Yang Terbuka

Melihat judul tulisan di atas nampaknya kita harus kembali beberatus tahun ke belakang. Sekitar abad ke-8 sampai abad ke-15an, saat masa pemerintahan dinasti Abbasiah ilmu pengetahuan Islam mencapai puncaknya sehingga sering disebut zaman emas Islam. Sebagai contoh, Seorang dari Khalifah-khalifah yang sangat berbakti dalam mewujudkan Kebudayaan Islam saat itu, ialah Khalifah Al-Mansur, Khalifah yang kedua dari dinasti Abbassiah. Khalifah Al-Mansur adalah seorang yang saleh, taat beragama, ahli dalam ilmu fiqh, sangat menyukai ilmu pengetahuan, terutama ilmu astronomi dan ilmu kedokteran. Para ahli ilmu pengetahuan dengan tidak memandang agama, sama-sama bekerja diistananya dengan mendapatkan nafkah, yang tentunya tidak kecil. Diantaranya ialah Maubacht, ahli astronomi dari Persia, awalnya ia beragama Majusi, kemudian masuk Islam dengan disaksikan sendiri oleh Al-Mansur. Para ahli ini terus-menerus tinggal diistana Khalifah sampai anak cucunya, bekerja memperdalam ilmu astronominya. Melihat begitu besarnya minat Khalifah Al-Mansur memajukan ilmu astronomi tersebut, berdatanganlah ahli ilmu dari India, Persia, Romawi berkumpul di Bagdad, bekerja dengan sungguh-sungguh menuntut ilmu tersebut, dibawah perlindungan pemerintahan Islam, Kitab-kitab lama yang sudah terbenam kedalam jurang kegelapan dinegeri Romawi, diminta oleh Khalifah Al-Mansur supaya diterbitkan kembali isinya yang berharga tersebut.
Dengan jalan beginilah banyak ilmu-ilmu yang berharga, yang hampir lenyap dari muka bumi, kembali terpelihara. Berikut merupakan kitab-kitab yang telah dipelajari dan diterjemahkan oleh para ahli Islam di zaman itu, antara lain adalah kitab ketatanegaraan dari Plato, kitab-kitab matematika dari Euclydes dan beberapa kitab astronomi dari Ptolemeus. Malahan ada beberapa kitab yang sampai sekarang tidak ketemu lagi aslinya, selain hanya dapat diketahui dari terjemahan kedalam bahasa Arab, buah karya penulis Islam dimasa “zaman terjemahan" tersebut.
Saat orang-orang di Barat mengharamkan mempergunakan akal, mereka memburu dan membunuh seorang yang bernama Galileo Galilei, karena ia pernah menyampaikan bahwa bumi ini berputar. Hal ini berbeda dengan Islam diwaktu itu, masyarakat Islam berkeyakinan bahwa memajukan ilmu dan kebudayaan pada umumnya merupakan kewajiban setiap individu. Pemerintah mencari, memanggil dan melindungi para ahli ilmu dan seni dari berbagai pihak dan bermacam-macam agama. Disaat agama lain menjaga agar agamanya tidak rusak dengan melarang pemeluknya membaca kitab yang berisi keyakinan lain dan lantas memasukkan kitab-kitab yang berbahaya tersebut kedalam daftar kitab-kitab yang tak boleh dibaca oleh pemeluknya, Islam dizaman keemasan itu memerintahkan untuk menterjemahkan kitab-kitab dari ber-macam- macam agama dan mazhab yang ada pada masa itu, agar dapat dipelajai oleh semua ahli ilmu dari kaum Muslim. Merka tak enggan menerima kebenaran walaupun berasal dari pihak lain, tak takut menolak kebatilan se-sudah diperiksa dan diselidiki, walaupun berasal dari pihak sendiri.
Ditangan Islam lahirlah kembali kebudayaan-kebudayaan yang hampir hilang dan timbullah satu ruh kebangkitan “renaissance", yakni 600 tahun lebih dulu dari renaissance di Eropa Barat yang lahir pada abad ke 15 itu. Dari uraian di atas Menurut Natsir ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Muslim saat ini yaitu:
1. Agama Islam menghormati akal manusia dan mendudukkan akal tersebut pada tempat yang terhormat serta memerintahkan agar manusia mempergunakan akal tersebut untuk menyelidiki keadaan alam.
2. Agama Islam mewajibkan pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan, menuntut ilmu. „Tuntutlah ilmu dari buaian sampai keliang lahad", sabda Nabi Muhammad S.A.W.
3. Agama Islam melarang bertaklid-buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama atau dari ibu-bapak dan nenek-moyang sekalipun. Dan janganlah engkau turut apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan atasnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan ditanya tentang itu. (Q.s. Bani Israil: 36.)
4. Agama Islam menyuruh memeriksa kebenaran, walaupun datangnya dari kaum yang berlainan bangsa dan kepercayaan.
5. Agama Islam membiasakan dan menganjurkan pemeluknya pergi meninggalkan kampung halaman berjalan kenegeri lain, menghubungkan silaturrahim dengan bangsa dan golongan lain, saling bertukar pendapat dan pandangan. Wajib atas tiap* Muslimi yang mampu, pergi sekurangnya sekali seumur hidupya mengerjakan haji. Pada saat itulah terdapat suatu pertemuan yang akrab antara segenap bangsa dan golongan diatas dunia ini. Keadaan itu menimbulkan perhubungan persaudaraan dan perhubungan kebudayaan (akulturasi) yang sangat penting artinya untuk kemajuan tiap-tiap bangsa.
Itu sebabnya, sekali lagi kita tidak dapat bersikap dikotomis karena sikap seperti itu hanya akan menjadikan kita ekslusif. Tampaknya kita perlu terus menyadari bahwa kita mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia. Itu artinya kita tidak membangun dari sebuah vacuum. Semua peradaban dan semua agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang sejarah. Oleh karena itu, hampir tidak mungkin kita bersikap eksklusif. Sikap seperti itu adalah sikap yang a-historis dan tidak realistis.
Dalam bidang ilmu dan teknologi, kita tidak boleh bersikap tertutup. Sekalipun kita yakin bahwa Islam itu bukan Timur dan bukan pula Barat, ini tidak berarti kita harus menutup diri dari keduanya. Bagaimanapun Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban Dunia. Dalam sejarah kita melihat Islam mewarisi peradaban intelektual Yunani-Romawi di Barat, dan peradaban-peradaban Persia, India, dan Cina di Timur. Selama abad ke-7 sampai abad ke-15, ketika peradaban-peradaban besar di Barat dan Timur itu tenggelam dan mengalami kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian diambil alih oleh peradaban Barat sekarang melalui Renaisans. Jadi, islam menjadi mata rantai yang penting dalam sejarah peradaban dunia. Dalam kurun selama delapan abad itu, Islam bahkan mengembangkan warisan-warisan ilmu pengetahuan dan teknologi dari peradaban-peradaban tersebut.
Banyak contoh yang dapat dijadikan bukti tentang peranan Islam sebagai mata rantai peradaban dunia. Islam misalnya mengembangkan matematika India, ilmu kedokteran dari Cina, sistem pemerintahan Sasanid (Persia), logika Yunani, dan sebagainya. Tentu saja dalam proses peminjaman dan pengembangan itu terjadi dialektika internal. Jadi, misalnya untuk bidang-bidang pengkajian tertentu Islam menolak logika Yunani yang sangat rasional dan menggantikannya dengan cara berfikir intuitif yang lebih menekankan rasa seperti yang dikenal dalam tasawuf. Ini merupakan suatu proses yang wajar. Dengan proses ini pula Islam tidak skadar mewarisi, tapi juga melakukan enrichment dalam subtansi dan bentukntya. Melalui inilah, Islam akhirnya mampu menyumbangkan warisan-warisannya sendiri yang autentik.

Senin, 15 November 2010

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintangan untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah …

Anda pasti tahu kelanjutan syair lagu diatas, atau setidaknya pernah mendengar lagu tersebut. Iwan Fals dengan begitu puitis namun gamblang menggambarkan beratnya kehidupan yang harus dijalani seorang ibu demi mendidik dan membesarkan buah hatinya, Kita!

Mari hadirkan kembali wajah sang ibu dalam bayangan kita, dengan seizin Allah genangan air mata akan membanjiri kelopak mata yang mungkin sudah sekian lama kita biarkan tak menyapanya. Kerut di pipinya mengisyaratkan kelelahan yang sangat, tenaga yang mulai habis dimakan waktu seolah tak lagi sanggup sekedar mengangkat tubuh rapuhnya. Di bola matanya, nampak jelas guratan berat kehidupan yang telah dilaluinya. Semua itu, dilakukannya hanya untuk kita, yang dicintainya.

Cinta anak sepanjang gala, cinta ibu sepanjang masa. Pepatah yang biasa kita dengar untuk melukiskan betapa kita, anak-anak ibu, tidak akan pernah sanggup membayar (berapapun dan dengan apapun) cinta yang pernah diberikannya. Huwaish al Qorni, sahabat Rasulullah, rasa ingin membalas cinta sang ibu membuatnya rela ingin menggendong ibunya pulang pergi ibadah haji. Bahkan sahabat lain, dilarang pergi berperang bersama Rasul, lantaran tidak ada yang mengurus ibunya yang sudah renta. “rawat dan layani ibumu,” perintah Rasul kepada pemuda itu.

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun… (QS. Lukman:14). Bahkan dalam ayat lain, begitu tegas Allah menekankan dan mengingatkan kesusahan ibu saat mengandung serta memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada ibu (QS.Al-Ahqaf:15).

Ketika Nabi SAW ditanya tentang siapa yang paling patut dihormati dan diperlakukan sebaik-baiknya, Nabi menjawab: “Ibumu”. Dan hal itu diulangnya sampai tiga kali, sebelum ia menyebut “bapakmu”. Dalam hadits lain yang masyhur, Nabi SAW berkata bahwa surga terletak dibawah telapak kaki kaum ibu.

Dalam perjalanan bersama ibu, perlakuan kasar kerap kita layangkan kepadanya. “Uf”, “ah,” “cis” menjadi kosa kata yang biasa terlontar dari mulut kotor ini. Tak pernah kita menghargai keringatnya kala menyiapkan sarapan dan makan malam. Andai kita tahu, air matanya tak pernah kering di pertengahan malam, kala ia mengadu kepada Allah perihal anak-anaknya. Bibirnya tak pernah berhenti berdo’a agar kita menjadi anak yang bisa dibanggakan. Tak peduli darah menjadi penghias kakinya demi menghantarkan sang buah hati menggapai cita.

Sekarang, imbalan apa yang diterima ibu dari anak-anak yang mungkin kinipun sudah beranak. Tidak jarang kesibukan kerja dan keluarga membuat kita melupakannya. Bahkan mungkin rasa cinta kepada istri dan anak-anak mengikis habis cinta kepada ibu (tentu cinta kepada Allah dan Rasulullah diatas segalanya). Tak sedikit waktu kita luangkan sekedar untuk tahu keadaannya, meski handphone tak pernah lepas dari tangan.

Sekarang, Kita semakin sombong, seolah tak membutuhkannya. Terlebih saat senang dan berkecukupan. Tak sadar kita, ia begitu ikhlas atas air susu dan keringatnya.

Begitu banyak masalah kehidupan kita hadapi. Terkadang kita mengeluh, putus asa, tidak tahan dengan berbagai cobaan yang menerpa. Tak sadar, semua yang kita alami saat ini sesungguhnya pernah dilalui ibu, dan berhasil!

Kita terlalu lemah, cengeng dan selalu merasa kalah dalam mengarungi bahtera hidup. Padahal sering kita memandang sebelah mata ‘kekuatan’ ibu yang sudah renta. Tak sadar kita, garis wajahnya jelas-jelas memancarkan kekuatan teramat dahsyat.

Ia hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia, meski ia tidak sebahagia yang kita bayangkan. Tak sadar, sesungguhnya kita butuh kembali kepadanya, memandangi keteduhan wajahnya, membelai tangan keriputnya, menciumi kakinya dan meminta do’anya.

Ingin ku dekap dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu do’a-do’a baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas, Ibu …

NenekPemungut Daun Sampah

Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan.

Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.
Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. "Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu, "Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya."

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa.
Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.

Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya."

BELAJAR DARI IBRAHIM

Wah dah Idhul adha ni...klo gini jadi keingetan sate,gule,dan program pa,bahan gizini....tapimungkin ada yang lebih dari semuanya tu..ya jadi keingetan Nabi Ibrahim A.S...bapaknya para Nabi yang sangat bertakwa pada Allah SWT...ya bener...nabi Ibrahim sangat bertakwa pada Allah SWT....saat mendapat perintah dari AllahSWT Nabi Ibrahin ndak banyak komentar,ndak banyak tanya kaya orang2 Yahudi...tapi langsung aja perintah tsb dilaksanakan...ya Belajar dari Ibrahim...belajar Bertakwa Kepada Allah SWT.....