Rabu, 07 Desember 2016

KERAJAAN MELAYU TUA JAMBI

Kerajaan Melayu Jambi adalah nama sebuah kerajaan tua di Nusantara. Kerajan Melayu Jambi pernah ditaklukan oleh kerajaan besar yang ada diindonesia seperti Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit. Sebelumnya kerajaan ini mempunyai peran penting di sumatera dan selalu bersahabat dengan negara tetangga seperti Cina, dan lain-lain. Dan juga merupakan kerajaan besar terletak di propinsi Jambi saat ini. Dan pernah pula setelah Sriwijaya diujung tanduk setelah ditaklukan majapahit menjadi bagian dari melayu Jambi,sampai pada memeluk kesultanan Islam, dan sampai pada kolonialis Belanda tiba.
Setelah Kerajaan Sriwijaya musnah di tahun 1025 karena serangan Kerajaan Chola dari India, banyak bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri ke pedalaman, terutama ke hulu sungai Batang Hari. Mereka kemudian bergabung dengan Kerajaan Melayu Tua yang sudah lebih dulu ada di daerah tersebut, dan sebelumnya merupakan daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, menaklukan Sriwijaya. Situasi jadi berbalik dimana daerah taklukannya adalah Kerajaan Sriwijaya. Pada masa itu Kerajaan Melayu Jambi, dikenal sebagai Kerajaan Dharmasraya. Lokasinya terletak di selatan Kabupaten Sawah Lunto, Sumatera Barat, dan di utara Jambi.
Hanya ada sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Diantaranya yang cukup terkenal adalah rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) yang menikah dengan Puti Reno Mandi. Sang raja dan permaisuri memiliki dua putri yang cantik jelita, yaitu Dara Jingga dan Dara Petak

 

Dara Jingga

Di tahun 1288, Kerajaan Dharmasraya, termasuk Kerajaan Sriwijaya, menjadi taklukan Kerajaan Singhasari di era Raja Kertanegara, dengan mengirimkan Senopati Mahisa/Kebo/Lembu Anabrang, dalam ekspedisi PAMALAYU 1 dan 2. Sebagai tanda persahabatan, Dara Jingga menikah dengan Senopati dari Kerajaan Singasari tersebut. Mereka memiliki putra yang bernama Adityawarman, yang di kemudian hari mendirikan Kerajaan Pagaruyung, dan sekaligus menjadi penerus kakeknya, Mauliwarmadhewa sebagai penguasa Kerajaan Dharmasraya berikut jajahannya, termasuk eks Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Anak dari Adityawarman, yaitu Ananggavarman/Ananggawarman menjadi penguasa Palembang di kemudian hari. Sedangkan Dara Jingga dikenal sebagai Bundo Kandung/Bundo Kanduang oleh masyarakat Minangkabau.

 

Dara Petak

Di tahun 1293, Mahisa/Kebo/Lembu Anabrang beserta Dara Jingga dan anaknya, Adityawarman, kembali ke Pulau Jawa. Dara Petak ikut dalam rombongan tersebut. Setelah tiba di Pulau Jawa ternyata Kerajaan Singasari telah musnah, dan sebagai penerusnya adalah Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu Dara Petak dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan: Raden Kalagemet yang bergelar Sri Jayanegara setelah menjadi Raja Majapahit kedua.

 

Fakta


Terjadi pertalian darah melalui perkawinan antara Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, Kerajaan Majapahit, dan (eks)Kerajaan Sriwijaya di era tersebut.

Selasa, 15 November 2016

Kebangsaan Dengan Dasar Islam*



Syukur Alhamdulillah dengan cucuran darah dan air mata telah kita beli kemerdekaan ini sehingga kita mempunyai sebuah Negara yang besar, mungkin ke-6 yang terbesar di dunia ini. Salah satu dasar yang kita pilih ialah kebangsaan. Seperti pepatah lama, “Yang di awak segala benar, yang di orang segala bukan", rasa kebangsaan bisa menjadi kekuatan namun bisa juga menjadi chauvinism kebangsaan yang sempit. Rasa kebangsaan dapat menimbulkan “Hitler-isme” dan hal tersebutlah yang menghancurkan Jerman.



Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, yang masing-masing mempunyai kemegahannya sendiri, mempunyai “dongeng” masing-masing tentang kebesaran nenek moyangnya, serta pahlawan khayal mereka. Jika orang Jawa membanggakan Gajah Mada, Minangkabau mempunyai Cindur Mata, serta Melayu dengan Hang Tuah-nya. Menjadi suatu kebiasaan, walaupun “pahlawan khayal” tersebut telah lama meninggal dibuatlah berbagai macam dongeng sehingga mereka berubah dari manusia biasa menjadi layaknya dewa. Oleh karena itu, kebangsaan yang demikian dapat memecah persatuan serta merenggut kemerdekaan yang telah kita capai.



Tidaklah keluar dari koridor ilmu sejarah, apabila dikatakan bahwa Islam ikut menanamkan rasa kebangsaan yang ada sekarang ini sejak ratusan tahun yang lalu. Islam menekankan pentingnya rasa pengabdian di mana saja kita tinggal. Tidaklah ditanya apa suku bangsanya melainkan amal serta perbuatannya. Berkali-kali sejarah menunjukan bahwa orang dari daerah lain dapat menjadi besar dalam suatu negeri di seluruh kepulauan Indonesia ini meskipun nama Indonesia belum dikenal pada saat itu.



Maulana Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, merupakan keturunan campuran Arab dan Aceh yang menyebarkan Islam di Jawa Barat serta mendirikan kerajaan Banten dan Cirebon. Ki Gedeng Suro, seorang bangsawan Demak. Ia melarikan diri ke Palembang ketika terjadi kekacauan di Demak dan diangkat menjadi Raja pertama di Kerajaan Palembang. Orang-orang melayu dari Malaka yang terpaksa meninggalkan tanah airnya, karena serangan Portugis pada tahun 1511, mereka kemudian mengembara sampai ke Sulawesi dan menyiarkan Islam di Makasar. Mereka sangat dihormati sebagai saudara dan gelar “incek” masih digunakan oleh para keturunan Melayu di Makasar sampai saat ini. Demikian juga dengan kerajaan Goa dan Tallo secara resmi menerima Islam pada tahun 1603 yang dibawa oleh para Muballigh dari Minangkabau. Mereka diterima dengan tangan terbuka, karena yang mereka bawa bukanlah permusuhan, melainkan “Nur Cahaya Illahi”.



Hangatnya nafas Islam telah menjalar pada seluruh rongga jiwa masyarakat Bugis dan Makasar. Maka, setelah Bugis dan Makasar dapat dikuasai oleh VOC, merekapun berlayar mengembara ke seluruh Indonesia, kadang kala menghalangi perjalanan kapal-kapal VOC, di lain waktu menjadi penyiar agama Islam. Karaeng Galesong pergi ke Madura, disambut dan diterima dengan baik bahkan dijadikan mantu oleh Trunojoyo. Mereka berdua kemudian berjuang bersama menghadapi VOC. Syekh Yusuf Taju’l Khalwati mengembara dari Makasar sampai ke Banten, diterima menjadi Mufti Kerajaan Banten dan ikut berjuang melawan VOC bersama Sultan Ageng Tirtayasa. “Si Untung” dianugrahi gelar bangsawan “Surapati” oleh Sultan Cirebon, dan juga gelar “Wironegoro” oleh sultan Amangkurat Mataram, meskipun dia bekas budak dan kafir penyembah berhala dari Bali. Tetapi karena dia menjadi muallaf dan berjuang melawan VOC untuk kemerdekaan, maka dia diterima menjadi bangsawan Jawa.



Setelah hilangnya garis keturunan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, beberapa kali keturunan Arab menjadi Sultan di Aceh, bahkan sampai empat kali. Selain Aceh, Siak, Pontianak dan Perlis juga mengangkat keturunan Arab menjadi Sultan mereka. Dan setelah keturunan Arab juga mengalami kepunahan, maka keturunan Bugis menggantikannya menjadi Raja di Aceh, bahkan sejak tahun 1870 secara turun temurun tujuh Raja Aceh yang melawan VOC ialah keturunan Bugis. Dan perlu diketahui Sultan Deli merupakan keturunan Raja-raja Moghul di India.



Islam tidak membedakan antara keturunan Arab, dengan budak dari Bali, dan para penjelajah lautan dari Bugis, semuanya diterima dengan “ahlan wasahlan”. Bukan bangsa dan keturunan, tetapi bakti, jasa dan tujuan hidup yang dihitung dalam Islam. Inilah pusaka nenek moyang, warisan ajaran Islam yang harus kita pegang teguh untuk menegakkan kebangsaan Indonesia saat ini. Janganlah kita kembali ke jaman “jahiliyah”, dengan membuka luka lama yang dapat menimbulkan sakit hati dan dendam.



Dengan bertambah mendalam kefanatikan Islam di suatu daerah, harusnya bertambah lapang dadanya menerima “tetamu”, meskipun ia seorang Kristen. Perlu diingat pada masa perjuangan kemerdekaan saat IJ Kasimo yang beragama Khatolik, jalan dari desa ke desa bersama Dr. Soekiman, walaupun masyarakat tahu bahwa beliau seorang Khatolik, namun masyarakat tetap menghormati beliau layaknya pernghormatan masyarakat kepada pak Soekiman. Hingga terlontar candaan dari pak Kasimo, “ah! Biarlah saya menjadi penasehat Masyumi saja”. Saat Hoetasoit dan Ir. Sitompul ikut mengungsi ke Minangkabau pada masa Agresi Militer Belanda ke-II, mereka disambut layaknya menyambut keluarga sendiri, meskipun masyarakat tahu mereka beragama Kristen.



Demikian murninya ajaran Islam, yang memandang orang karena amal dan perbuatannya, bukan karena sukubangsanya, maka sudah seharusnya kita kembali kepada ajaran tersebut di dalam membina kebangsaan kita saat ini.



NB: lihat Hamka (1982). Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Pustaka Panjimas

Jumat, 07 Oktober 2016

KERAJAAN KUTAI

Kerajaan Kutai atau Kerajaan Kutai Martadipura (Martapura) merupakan kerajaan Hindu yang berdiri sekitar abad ke-4 Masehi di Muara Kaman, Kalimantan Timur. Kerajaan ini dibangun oleh Kudungga. Diduga ia belum menganut agama Hindu. Namun putranya, yang kelak menjadi penggantinya, Mulawarman telah menganut Hindu.
Dalam prasasti Yupa disebutkan bahwa Kudungga lah pendiri kerajaan ini, sehingga ia disebut wamsakarta. Ia memiliki 3 orang putra, salah satunya bernama Mulawarman. Mulawarman inilah raja termasyur yang pernah menyedekahkan 20.000 ekor lembu kepada para brahmana. Untuk memperingati hal itu, para brahmana mencatatnya dalam prasasti Yupa.
Pada abad ke-16, kerajaan Hindu tertua di nusantara ini takluk dari Kerajaan Kutai Kartanegara. Dalam peperangan tersebut, Raja Kutai Martadipura terakhir yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa.

 

Nama-Nama Raja Kutai

  1. Maharaja Mulawarman Nala Dewa
  2. Maharaja Sri Aswawarman
  3. Maharaja Marawijaya Warman
  4. Maharaja Gajayana Warman
  5. Maharaja Tungga Warman
  6. Maharaja Jayanaga Warman
  7. Maharaja Nalasinga Warman
  8. Maharaja Nala Parana Tungga
  9. Maharaja Gadingga Warman Dewa
  10. Maharaja Indra Warman Dewa
  11. Maharaja Sangga Warman Dewa
  12. Maharaja Singa Wargala Warman Dewa
  13. Maharaja Candrawarman
  14. Maharaja Prabu Mula Tungga Dewa
  15. Maharaja Nala Indra Dewa
  16. Maharaja Indra Mulya Warman Dewa
  17. Maharaja Sri Langka Dewa
  18. Maharaja Guna Parana Dewa
  19. Maharaja Wijaya Warman
  20. Maharaja Indra Mulya
  21. Maharaja Sri Aji Dewa
  22. Maharaja Mulia Putra
  23. Maharaja Nala Pandita
  24. Maharaja Indra Paruta
  25. Maharaja Dharma Setia

 

Referensi

Buku Salasilah Kutai terbitan Bagian Humas Pemerintah Daerah Tingkat II Kutai (1979) yang naskahnya berasal dari buku De Kroniek van Koetei karangan C.A. Mees (1935). Sementara buku C.A. Mees sendiri bersumber dari naskah kuno dalam tulisan huruf Arab karya Tuan Chatib Muhammad Tahir pada 21 Dzulhijjah 1285 Hijriah.

 

Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura


Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam yang kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi pada tahun 2001 oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.
Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota H. Adji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

 

Sejarah

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman.
Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Adji Mohamad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai pertama yang menggunakan nama Islami. Dan sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Nama-Nama Raja/Sultan Kutai Kartanegara

 

No.
Masa
Nama Raja/Sultan
K e t e r a n g a n
1
*Raja pertama Kutai Kartanegara yang mendirikan kerajaannya di Kutai Lama
2

3

4

5

6
* Raja Kutai Kartanegara pertama yang memeluk agama Islam
7

8
* Raja yang menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

9


10


11
*Ratu pertama yang memimpin Kerajaan Kutai Kartanegara

12


13


14


15
* Aji Kado melakukan kudeta dengan mengangkat dirinya sebagai Sultan Aji Muhammad Aliyeddin setelah Sultan Aji Muhammad Idris wafat di Wajo, Sulawesi Selatan

16
*Pewaris tahta yang sah dari Sultan Aji Muhammad Idris dan berhasil menggulingkan pemerintahan Aji Kado

17


18


19


20
*Sultan terakhir setelah pemerintahan kesultanan berakhir pada tahun 1960

21
1999 - kini
*Ditetapkan sebagai Sultan Kutai pada tahun 1999 setelah Kesultanan Kutai dihidupkan kembali. Namun upacara penobatan baru dilaksanakan pada 22 September 2001

1. Aji Batara Agung Dewa Sakti

Aji Batara Agung Dewa Sakti, merupakan pendiri, sekaligus Maharaja dari Kerajaan Kutai Kartanegara yang memerintah dari tahun 1300 hingga 1325. Ia merupakan putera dari Patinggi Jahitan-Laya.
Ia mendirikan kerajaannya di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara)
Menikah pertama kali dengan Aji Putri Karang Melanu, anak dari Punggawa Besar, Patinggi dari Hulu-Dusan, dan kedua kalinya dengan Putri Junjung Buwih (menenggelamkan dirinya sendiri).
Raja meninggal pada tahun 1325, tenggelam di Sungai Mahakam.
Memiliki seorang anak yang kemudian menjadi Maharaja Kutai Kertanegara yaitu Aji Batara Agung Paduka Nira.

2. Aji Batara Agung Paduka Nira

Aji Batara Agung Paduka Nira bergelar Aji di-Dalam Taju merupakan raja dari Kerajaan Kutai Kartanegara ke-2 yang memerintah dari tahun 1325 hingga 1360. Raja menikah dengan Putri Paduka Suri, anak angkat dari Meragui, kepala wilayah Bengalon. Ia memiliki lima orang anak laki-laki dan dua anak perempuan.

Digantikan oleh:
Aji Maharaja Sultan

 

Keturunan

Anak Laki-laki
  1. Maharaja Sakti, ia memiliki keturunan
  2. Maharaja Suriya Vamsa [Sura di-Wangsa].
  3. Maharaja Indra Vamsa.
  4. Maharaja Dharma Vamsa.
  5. Aji Maharaja Sultan, Raja ke-3 Kutai Kartanegara
Anak Perempuan
  1. Raja Putri. menikah dengah Punchan Karna, dari Tunjangsa. Ia memiliki anak
    • Aji Sri Gambira, yang memiliki anak:
      • Aji Permata Alam. Ia memiliki seorang anak laki-laki dan seorang perempuan, termasuk:
        • Radin Bungsu yang menikah dengan Aji Radin Vijaya [Radin Putra], anak termuda dari Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya, Raja ke-5 Kutai Kartanegara. Ia memiliki dua putera.
  2. Deva Putri.

3. Aji Maharaja Sultan

Aji Maharaja Sultan, Maharaja Kutai Kartanegara ke-3 yang memerintah dari tahun 1360 sampai 1420.
Ia anak termuda dari Aji Batara Agung Paduka Nira [gelar Aji di-Dalam Taju], Raja Kutai Kartanegara. dan memiliki seorang putera yaitu :


Digantikan oleh:
Aji Raja Mandarsyah

Minggu, 02 Oktober 2016

KERAJAAN SUMEDANG LARANG

Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten. SejarahKerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri. Asal-mula namaKerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Sumedang Larang (Sumedang berasal dari Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan, dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya). Pemerintahan berdaulat
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya.
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata/Rangga Gempol I atau yang dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
 
Pemerintahan di bawah Mataram
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kabupaten'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Ketika setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang Larang dipergikan ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.
Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggung jawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.
 
Pembagian wilayah kerajaan
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian :
1) Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
2) Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
3) Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
 
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wadana Bupati (kepala para bupati) Priangan.
 
Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.