Senin, 10 Januari 2011

ISLAM dan “Kemerdekaan Berfikir”

Dalam Islam akal diletakkan pada tempat yang terhormat dan menjadikannya sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan. Banyak terdapat dalam Al-Quran, pertanyaan-pertanyaan yang menarik untuk kita cermati, menyuruh kita sebagai manusia untuk mempergunakan akal dan pikiran kita dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh: “Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?; Pernahkah kamu perhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?; Maka pernahkah kamu memperhatikan tentang api yang kamu nyalakan (dengan kayu)? Kamukah yang menumbuhkan kayu itu ataukah Kami yang menumbuhkan?” (Q.s. Al-Waqi'ah : 63-64; 68-69; 71-72).

Setiap manusia yang berakal dan mempergunakan akalnya tersebut pasti akan sangat terkesan terhadap Islam, seperti ayat-ayat Al Qur’an di atas Islam dengan indahnya membawa manusia mengenal akan Tuhannya yaitu Allah SWT. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa salah satu jasa Islam terhadap manusia ialah bahwa Islam “memobilisasi akal”, membuka pikiran, dan membuka akal manusia selain tentunya jiwa dan raganya. Tidak percaya? Coba bukalah Al Qur’an halaman mana saja, ayat berapapun atau surat apapun, pasti bagi yang membacanya akan merasakan betapa besarnya dorongan Islam terhadap manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya sebagai suatu rahmat Allah SWT yang sangat berharga.

Seorang Muslim diwajibkan baginya untuk menggunakan akal dan pikirannya dalam menelaah Al Qur’an sehingga dapat mengerti akan maksud dan tujuannya, karena ayat-ayat Al Qur’an tersebut diturunkan bagi mereka yang mau berpikir, dan mau untuk mengambil suatu makna dari dalam Al Qur’an. ...”sesungguhnya telah kami jelaskan tanda-tanda (kebesaran Kami) kepada orang-orang yang mengetahui” (Q.s. Al-An'am ; 98). Islam sangat tidak menyukai kepada mereka yang tidak mempergunakan akalnya, orang-orang yang sangat terikat pikirannya dengan kepercayaan dan isme-isme yang tidak berdasarkan pada suatu dasar yang benar. Islam juga sangat benci kepada mereka yang tidak mau memeriksa apakah kepercayaan dan isme-isme yang mereka anut tersebut benar atau berdasarkan kepada suatu yang benar atau tidak. Secara tegas, Islam melarang kita untuk bertaklid-buta terhadap kepercayaan dan isme-isme yang tidak berdasarkan pada wahyu Allah SWT, yaitu kepercayaan atau isme-isme hasil dari “pemikiran liar” manusia semata dan diturunkan secara turun-temurun tanpa adanya pemeriksaan tentang baik atau tidaknya. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Q.s. Bani Israil: 36).

“Kemerdekaan Berpikir”, telah membebaskan kaum Muslim dari kekakuan berpikir yang membekukan otak dan telah melenyapkan kemalasan berpikir dari masyarakat Muslim. “Kemerdekaan Berpikir” telah melahirkan seorang yang bernama Washil bin Atha yang telah berani menentang arus dan berani beri’tizal memisahkan diri dari mazhab gurunya Imam Hasan Basri. “Kemerdekaan Berpikir” telah memunculkan Abu Huzhail Al’Allaf dan para pemikir-pemikir lainnya yang pada akhirnya mereka melahirkan sebuah aliran atau mazhab baru dalam Islam, yaitu mazhab Muktazilah. Muktazilah yaitu sebuah mazhab yang berkaitan dengan teologi. Di sini para ahli memandang Islam dengan pikiran Rasionalis sehingga mereka berpendapat bahwa Al Qur’an merupakan makhluk ciptaan Allah SWT. Mazhab Muktazilah berkembang pada masa dinasti Abbasiyah terutama saat kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun.(Philip K. Hitti: 2002). Namun, dengan “Kemerdekaan Berpikir” pula lahirlah seorang yang bernama Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari (935-936 M) salah satu keturunan Abu Musa al-Asy’ari arbitrator dari pihak Ali bin Abi Thalib dalam konflik dengan Mu’awiyah.(Philip K. Hitti: 2002) Ali al-Asy’ari merupakan murid seorang teolog Muktazilah, yaitu al-Zubbai. Pada perkembangan berikutnya Ali al-Asy’ari merubah pandangannya dan berani memisahkan diri dan meninggalkan mazhab Muktazilah dan membantah beberapa ajaran-ajaran “rasionalis” kaum Muktazilah dengan menggunakan senjata kaum Muktazilah sendiri yakni “Kebebasan Berpikir” tersebut.

Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari dengan filsafatnya mengemukakan teori tentang ‘ainus-syai’ yang lebih hebat bila dibandingkan dengan teori “Das Dingansich” yang dikemukakan oleh Immanuel Kant. Ali al-Asy’ari dengan teori Qadha dan Qadhamnya lebih baik dibandingkan dengan teori Harmonia Praestabilita yang dikemukakan oleh Leibniz. “Kemerdekaan Berpikir” telah melahirkan al-Ghazali, Ibnu Thaimiyah, Muhammad ‘Abduh dan lain-lainnya, para ulama yang tidak bisa dipungkiri lagi kecerdasan dan keshalehannya.

Namun sebaliknya, karena “Kebebasan Berpikir” tersebut kemudian muncul paham-paham atau isme-isme yang berdasarkan pada paham anthropomorphisme yakni paham yang mendefinisikan Tuhan/Allah SWT mempunyai sifat dan bentuk layaknya seorang manusia, hal ini tentunya sangat bertentangan dengan Aqidah, ruh dan spirit Islam. Karena “Kebebasan Berpikir” tersebut pula muncul paham pantheisme yaksi suatu paham yang meyakini Tuhan adalah segalanya dan segalanya adalah Tuhan, serta Alam Semesta ini adalah Tuhan dan sebaliknya, dalam kalangan para ahli tasawuf. Mengapa hal ini dapat terjadi? Karena “Kebebasan Berpikir” mereka yang tidak mau tahu dengan aturan atau tata cara menafsirkan Al Qur’an dan Hadist. Mereka dengan seenaknya mengatasnamakan “Kebebasan Berpikir” membolak-balikan dan membelokan makna dari Al Qur’an dan Hadist sesuai dengan kehendak nafsu mereka dan kepentingan mereka yang berdasarkan pada pemikiran “liar” mereka pula. Maka tidak heran bila karena ‘Kebebasan Berpikir” tersebut lahirlah seorang manusia semacam Al-Halladj yang mengungkapkan “ana Al-Haqq" yang atrinya akulah Tuhan! Na’uzhubillahi min zhalik.

Karena “kebebasan berpikir’ pulalah, demi mengatasnamakan humanisme akhir-akhir ini muncul paham atau isme yang menganggap semua agama itu pada intinya sama dan benar. Apakah “pikiran liar” mereka tidak bisa memaknai kata-kata berikut ini: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yng Maha Esa, Allah tempat meminta segala sesuatu, (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. Al-Ikhlas: 1-4). Islam tidak hanya berbicara mengenai benar dan salah. Islam tidak hanya mengenai perbuatan baik atau jahat. Akan tetapi Islam berbicara lebih dari pada itu yakni, segala sesuatu yang baik dan benar tersebut ditujukan pada siapa, segala yang buruk dan jahat tersebut dipertangungjawabkan kepada siapa, tentunya semua itu kepada Allah SWT. Islam menghargai keberagaman, Islam juga menghormati pluralitas. Akan tetapi dengan sikap menghargai tersebut tidak menjadikan yang benar sama dengan yang salah, yang benar adalah benar yang salah adalah salah, karena kebenaran hanya satu.

“Kebebasan Berpikir” bisa memperkuat dan memperteguh iman kita. Menambah khusyu’ dan tawadhu’ kita terhadap kebesaran Allah SWT, serta membantu kita memahami rahasia-rahasia firmanNya. “Kebebasan Berpikir” menolong kita memahami hikmah-hikmah yang terkandung dalam setiap perintah dan ajaran agama, serta mempertinggi dan memperhalus perasaan keagamaan kita. “Kebebasan Berpikir” dapat membersihkan agama kita dari kotoran-kotoran berbahaya yang bertentangan dengan agama Islam itu sendiri. “Kebebasan Berpikir” membukakan jendela alam pikiran kita agar dapat udara apek dan busuk dengan udara yang bersih dan segar.

Akan tetapi, “kemerdekaan berpikir” dapat pula menghancurkan tiang-tiang agama, menggulirkan bola panas yang melebihi batas. Ia tidak hanya dapat memasukan angin sejuk dan segar saja melainkan juga dapat memasukan angin topan yang menghancurkan apa saja yang berada di lintasannya. “Kebebasan berpikir” bagaikan api yang berbentuk lampu yang gemerlapan memandu kita dalam kegelapan, akan tetapi sering pula ia menyala berkobar-kobar membakar rumah dan sebagainya. Betapa indahnya “kebebasan berpikir”, betapa berbahayanya “kebebasan berpikir”. Jadi sekarang apakah kita hanya akan berpegangan pada “kebebasan berpikir” semata? Tentunya tidak dengan disiplin mempelajari Islam dapat membawa kita pada esensi Islam yang sesungguhnya.

Rantau Jaya, 10 Januari 2011
Akur Wijayadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar