Selasa, 11 Februari 2014

KEMAKMURAN MENURUT ISLAM.

Oleh: M. Natsir

Bukan hidup yang diracuni oleh dendam-kusumat antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Menurut Natsir, pembangunan Negara dan perekonomian Negara harus dikoordinir dan disesuaikan dengan pendidikan. Pendidikan yang berdasarkan intelektual semata seperti yang pernah dijalankan di zaman penjajahan, hanya akan menghasilkan tenaga-tenaga buruh, bukan menghasilkan orang-orang yang sanggup bekerja dan berinisiatif sendiri.

Dari desa lari kekota.
Keadaan yang berlaku sekarang, tidak  berbeda dengan masa penjajahan, orang masih lebih memilih sekolah-sekolah umum dari pada sekolah-sekolah kejuruan. Kalau ada juga yang belajar di sekolah-sekolah kejuruan seperti pada STM, maka tenaga-tenaga tersebut, telah diijonkan kepada perusahaan-perusahaan asing, persis seperti petani-petani yang mengijonkan padinya sebelum padi itu dapat dipanen. Ijon dalam pendidikan ini terkenal sekarang dengan nama “beasiswa" atau ikatan dinas. Tenaga-tenaga yang seperti ini tentu saja tidak dapat diharapkan untuk turut langsung terjun dalam lapangan pembangunan Negara dalam arti kata yang luas, yang lebih mengkhawatirkan lagi, adalah terlalu banyaknya pemuda-pemuda desa lari ke kota untuk memburuh, sedangkan desa yang menjadi dasar pembangunan Negara ditinggalkan sepi. Berduyun-duyun orang tua, pak tani di desa menyekolahkan anak-anaknya di kota, dengan harapan setelah mereka tamat anak-anaknya itu akan kembali ke desa. Tetapi anak-anak itu setelah menamatkan pelajarannya tidak sudi lagi kembali ke desanya untuk menyerahkan kepandaian dan kecakapannya kepada masyarakat di desa, melainkan mereka lebih senang memburuh di kota-kota dengan penghasilan yang tidak seberapa.

Kemakmuran menurut Islam
Selanjutnya atas pertanyaan mengenai kemakmuran menurut Islam, oleh Natsir dikatakan, bahwa Islam mendasarkan susunan masyarakatnya kepada keseragaman, yang di Indonesia terkenal dengan istilah gotong royong. Pokok pikiran Islam dalam hal ini ialah “hidup dan memberi hidup". Orang harus memasukkan modal guna produksi proses, yang memberi kerja kepada orang lain. Islam tidak kenal “struggle for life" yang berdasarkan “survival of the fittest" itu. Juga Islam tidak mendasarkan kemakmuran itu kepada hidup yang diracuni oleh dendam-kesumat, dengki dan benci antara suatu golongan dengan golongan yang lain. Islam berdasarkan kepada ajaran, mengangkat si lemah dari kelemahannya dan menimbulkan tanggung jawab individu terhadap masyarakat dan tanggung jawab masyarakat terhadap anggotanya.

Ringkasan ceramah di depan mahasiswa Fakultas Ekonomi di Palembang, 18 Juli 1953.
Harian Pedoman, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar