Oleh: M. Natsir
Bukan
hidup yang diracuni oleh dendam-kusumat antara satu golongan dengan golongan yang
lain.
Menurut Natsir, pembangunan Negara
dan perekonomian Negara harus dikoordinir dan disesuaikan dengan pendidikan.
Pendidikan yang berdasarkan intelektual semata seperti yang pernah dijalankan di
zaman penjajahan, hanya akan menghasilkan tenaga-tenaga buruh, bukan menghasilkan
orang-orang yang sanggup bekerja dan berinisiatif sendiri.
Dari desa lari
kekota.
Keadaan yang berlaku sekarang, tidak
berbeda dengan masa penjajahan, orang
masih lebih memilih sekolah-sekolah umum dari pada sekolah-sekolah kejuruan.
Kalau ada juga yang belajar di sekolah-sekolah kejuruan seperti pada STM, maka
tenaga-tenaga tersebut, telah diijonkan kepada perusahaan-perusahaan asing,
persis seperti petani-petani yang mengijonkan padinya sebelum padi itu dapat
dipanen. Ijon dalam pendidikan ini terkenal sekarang dengan nama “beasiswa"
atau ikatan dinas. Tenaga-tenaga yang seperti ini tentu saja tidak dapat
diharapkan untuk turut langsung terjun dalam lapangan pembangunan Negara dalam
arti kata yang luas, yang lebih mengkhawatirkan lagi, adalah terlalu banyaknya
pemuda-pemuda desa lari ke kota untuk memburuh, sedangkan desa yang menjadi
dasar pembangunan Negara ditinggalkan sepi. Berduyun-duyun orang tua, pak tani
di desa menyekolahkan anak-anaknya di kota, dengan harapan setelah mereka tamat
anak-anaknya itu akan kembali ke desa. Tetapi anak-anak itu setelah menamatkan
pelajarannya tidak sudi lagi kembali ke desanya untuk menyerahkan kepandaian
dan kecakapannya kepada masyarakat di desa, melainkan mereka lebih senang
memburuh di kota-kota dengan penghasilan yang tidak seberapa.
Kemakmuran
menurut Islam
Selanjutnya atas pertanyaan mengenai
kemakmuran menurut Islam, oleh Natsir dikatakan, bahwa Islam mendasarkan
susunan masyarakatnya kepada keseragaman, yang di Indonesia terkenal dengan
istilah gotong royong. Pokok pikiran Islam dalam hal ini ialah “hidup dan memberi hidup". Orang
harus memasukkan modal guna produksi proses, yang memberi kerja kepada orang
lain. Islam tidak kenal “struggle for
life" yang berdasarkan “survival
of the fittest" itu. Juga Islam tidak mendasarkan kemakmuran itu
kepada hidup yang diracuni oleh dendam-kesumat, dengki dan benci antara suatu
golongan dengan golongan yang lain. Islam berdasarkan kepada ajaran, mengangkat
si lemah dari kelemahannya dan menimbulkan tanggung jawab individu terhadap
masyarakat dan tanggung jawab masyarakat terhadap anggotanya.
Ringkasan
ceramah di depan mahasiswa Fakultas Ekonomi di Palembang, 18 Juli 1953.
Harian
Pedoman, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar