Meskipun sudah hidup di zaman yang baru dan penyelidikan sejarah sudah lebih luas daripada dahulu, masih
banyak juga orang yang berusaha memutarbalikkan sejarah. Salah satunya ialah
mereka menyampaikan bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan Islam.
Tentu saja hal tersebut hanyalah berupa teori yang tanpa dasar atau fakta yang
jelas, malahan bila kita melakukan penelitian yang lebih mendalam fakta
sebenarnya menunjukan hal sebaliknya yakni Majapahitlah yang menyerang Islam
dalam hal ini kerajaan Pasai.
Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar di Nusantara
terutama pada masa Patih Gajah Mada. Gajah Mada ialah seorang yang ambisius dan
mempunyai cita-cita yang tinggi ingin mempersatukan seluruh Nusantara dengan
Sumpah Palapanya. Gajah Mada merealisasikan sumpahnya tersebut dengan memimpin
secara langsung hampir seluruh ekspansi dan penyerangan, sehingga hamper semua kepulauan
yang ada di Nusantara bahkan sampai ke Semenanjung Melayu dan mendekati Siam
berhasil ditaklukan. Tetapi Kerajaan Pajajaran, sebuah Kerajaan di Jawa Barat
tidak mau tunduk dan melakukan perlawanan sehingga sampai Majapahit mengalami
keruntuhan, Pajajaran belum berhasil ditaklukan.
Dalam kitab Negarakertagama disebutkan negeri-negeri yang berhasil
ditaklukan oleh Majapahit. Sebuah kerajaan Hindu di Singapura yang merupakan
kelanjutan dari Sriwijaya, Semenanjung Malaya hingga Kelantan dan Terenggano,
serta Pasai yang merupakan Kerajaan Islam pertama di Sumatera dapat dikalahkan.
Menurut penelitian, batu prasasti Terenggano, yang sekarang tersimpan di museum
Kuala Lumpur menyatakan bahwa sebuah pemerintahan/kerajaan yang menjalankan hukum
Islam telah berdiri di Trenggano pada abad keempat belas sedangkan Pasai telah berdiri
pada abad kedua belas. Kedua Kerajaan Islam yang tua itu hancur lebur dihantam
oleh ekspansi Majapahit pada tahun 1360, sedangkan Gajah Mada mati menceburkan
diri ke dalam laut pada tahun 1364. Jadi Majapahitlah yang menyerang kedua Kerajaan
Islam tersebut dengan mengerahkan pasukannya.
Setelah penyerangan
tersebut, Pasai tidak pernah bangkit lagi menjadi suatu kerajaan. Kota
pelabuhan tersebut menjadi sepi karena kondisi yang hancur lebur setelah
penyerangan Majapahit, walaupun demikian, hal tersebut tidak menyurutkan
semangat para Ulama di Pasai. Meskipun tidak lagi menjadi pusat pemerintahan
dan politik, para ulama menjadikan Pasai sebagai pusat penyiaran agama Islam. Dalam
sejarah Melayu, Tun Sri Lanang menulis, setelah berdirinya Malaka, para ulama
di Malaka selalu belajar mengenai fikih atau hukum Islam ke Pasai, sedangkan
apabila para Ulama Pasai berkunjung ke Malaka, mereka selalu di sambut oleh
Sultan Malaka dengan segala kebesarannya. Hal tersebut menunjukan peran penting
Pasai sebagai pusat Islam walaupun sudah hancur akibat serangan dari Majapahit.
Apabila Pasai diserang dan ditaklukan dengan kekerasan senjata,
maka para Ulama pun berniat untuk menaklukan Majapahit, bukan dengan kekerasan
senjata melainkan dengan keteguhan cita dan ideologi Islam. Maka, berangkatlah
para Ulama tersebut ke Jawa terutama di Gresik. Mereka menyebarkan Islam sambil
berdagang atau sebaliknya yakni berdagang sambil menyebarkan Islam.
Kita tentu mengenal nama-nama besar seperti Maulana Malik Ibrahim
dan Maulana Ibrahim Asmoro (Jumadil Kubra) yang merupakan Bapak dari Maulana
Ishak dan kakek dari Sunan Giri (Raden Paku), dan Makhdum Ibrahim (Sunan
Ampel). Dengan sabar dan penuh kasih saying mereka meyebarkan agama Islam,
sehingga Giri kemudian menjadi pusat studi agama Islam tidak hanya di Jawa
tetapi hingga ke Maluku.
Islam kemudian menjadi besar di Jawa terutama Jawa timur karena
metode dakwah yang baik dari para Ulama dari Pasai, sehinnga pada akhirnya Sunan
Bonang (Raden Rahmat) dapat mengambil Raden Patah, putera Raja Majapahit (Brawijaya)
yang kemudian dikawinkan dengan cucunya, dan pada akhirnya dijadikan Raja Islam
yang pertama di Demak. Metode dakwah para Ulama tersebut tidak dapat ditentang
oleh raja-raja Majapahit, bahkan karena pengaruh mereka yang semakin besar,
sebagian dari para Ulama diakui keberadaannya dan diangkat menjadi penasehat di
dalam kerajaan Majapahi.
Lebih dari 70 tahun Islam telah ada di Jawa Timur sebelum Majapahit
jatuh pada tahun 1478. Bukanlah karena kekerasan senjata dan serangan dari
Islam yang mengakibatkan Majapahit jatuh. Keruntuhan Majapahit lebih disebabkan
oleh sudah tidak ada lagi sosok besar seperti Gajah Mada dan Hayam Wuruk di
Majapahit. Selain itu, masyarakat juga dapat melihat perbedaan antara Islam
dengan Hindu. Dalam Islam selalu dianjurkan agar menjaga kesucian kesucian,
mencuci muka sekurang-kurangnya 5 kali sehari dalam wudhu, mencuci hati dari
sikap ria dan takabbur, berjamaah ke mesjid, bersusun bershaf tidak ada perbedaan
kasta yang berbeda sangat jauh dengan ajaran agama Hindu.
Maka upaya untuk memutar balikan fakta sejarah, dengan mengatakan Majapahit runtuh karena diserang
Islam, adalah satu kesalahan yang disengaja terhadap sejarah. Inilah tipu daya
yang ditanamkan oleh Prof. Snouck Hourgroroe. Setelah mengetahui bagaimana
teguhnya keislaman di Indonesia, ia
memberikan nasehat kepada pemerintah Hindia-Belanda agar ditanamkan rasa chauvinisme
yang kuat pada bangsa Indonesia. Upaya ini berhasil dilakukan hingga saat ini.
Rasa kebangsaan dengan warna chauvinisme tidak akan pernah memperteguh
rasa kebangsaan yang kita bangun saat ini, bahkan akan memecahkannya. Marilah kita jadikan semua peristiwa tersebut
sebagai kekayaan sejarah kita, dan jangan dicoba untuk diputar balikan, agar
kokohlah kesatuan bangsa Indonesia, di bawah sang saka Merah Putih.
Bila orang Jawa membusungkan dada sambil menyebut nama Gajah Mada,
maka orang di Palembang (Sriwijaya) akan berkata bahwa yang mendirikan Candi Borobudur
ialah seorang Raja Budha dari Sumatera yang pernah menduduki pulau Jawa. Jika
orang Jawa membanggakan Majapahit, maka orang Melayu akan membuka cerita
lamanya yang menyatakan bahwa Hang Tuah pernah mengamuk dalam kraton Majapahit dan
tidak ada seorang pun kesatria Jawa yang berani menangkapnya.
Sebelum masuknya Islam Memang kita bermusuhan, saling menyimpan
dendam dan bercerai-berai. Islam kemudian yang menyatukan kita, sehingga dengan
memakai Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin.
Tetapi, apabila kita hanya mengemukakan kebangsaan saja tanpa Islam, maka kita
akan mengorek luka lama dan hal tersebutlah sumber dari perpecahan.
*judul asli Islam dan Majapahit, lihat Hamka (1982). Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta:
Pustaka Panjimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar