Kerajaan Islam Demak berdiri sekitar tahun 1520. Namun
kondisi saat itu tidak ideal untuk perkembangan Islam. Islam yang baru tumbuh
di Jawa terjepit di antara ajaran Hindu pusaka Majapahit dan ajaran Kristen
bawaan Portugis. Selain itu, di Jawa Timur masih berdiri Kerajaan Supit Urang
yang beragama Hindu.
Setelah Raden Patah dan Pati Unus, Sultan Terenggana
naik takhta Kerajaan, meneruskan rencana untuk memperluas wilayah Demak ke Jawa
Timur dan ke Jawa Barat. Terenggana adalah seorang sultan yang pintar dan memiliki
banyak anak putri. Masing-masing anak putrinya dinikahkan dengan para pahlawan
Islam. Seorang puterinya dikawinkannya dengan Syarif Hidayatullah, yang
bergelar Sunan Gunung Jati, bangsa Said keturunan Aceh (Pasai). Menantunya ini kemudian
diperintah untuk menyiarkan Islam di Jawa Barat, Sampai dapat mendirikan Kerajaan
Banten dan Cirebon dan dapat mendirikan kota Jakarta (Jayakarta).
Seorang lagi menantunya Pangeran Langgar, pahlawan dari
Madura. Nama kecilnya tidak dikenal, dan dia pun keturunan dari orang biasa
saja, seperti juga Gajah Mada di Majapahit. Tetapi dalam gelar resminya
"Pangeran Langgar" sudah nampak "siapa" dia. Seorang santri
yang shaleh, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermunajad dalam
langgar, dan mempunyai jiwa Tauhid yang tinggi. Sebagai seorang pemuda Islam
yang ingin memperdalam ilmu pengetahuannya, dia pergi ke Kudus, belajar kepada
Syekh Ja'far Shadiq, yang lebih dikenal dengan panggilannya "Sunan Kudus".
Karena ketinggian akhlak dan budi, kesantriannya dan semangatnya, menyebabkan
dia terkenal bahkan sampai ke Demak. Sultan Terenggana melihat ada sesuatu yang
istimewa dari anak muda ini, sehingga dia diambil menjadi menantu baginda dan
diberi gelar Pangeran.
Seorang lagi menantu Terenggano, namun tidak memenuhi
harapannya, yaitu Hadiwijaya Bupati Pajang. Menantu inilah kelak yang akan
memindahkan kekuasaan dari Demak ke Pajang. Dan dari Pajang ini pulalah kelak
kekuasaan itu akan dirampas pula oleh Ki Gede Pamanahan dibawa ke Mataram. Sultan
Terenggana tewas dalam memimpin pertempuran hendak menaklukkan Pasuruan yang masih
beragama Hindu. Sepeninggalnya terjadi perebutan kekuasaan di Demak. Pangeran
Langgar berhak menjadi raja di Demak, akan tetapi dia tidak datang ke Demak,
sehingga terbuka kesempatan bagi Hadiwijoyo merebut kekuasaan dari Sunan
Prawoto dan membunuhnya.
Perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang dan akhirnya
kelak ke Mataram, merubah pandangan Islam, dari suasana pesisir yang terbuka
dan berpandangan luas beralih ke dalam suasana pedalaman, suasana pertanian dan
suasana adat istiadat kuno yang masih dipertahankan. Apalagi kemudian Syekh
Siti Jenar membawa ajaran tasawuf yang amat jauh dari Tauhid Islam. Maka
digabungkanlah Tauhid Islam dengan Brahmana Hindu; muncullah kasta-kasta Hindu
"Brahmana, Ksatrya, Waisya, dan Sudra" dengan nama baru "Kiyai, Priyayi,
Saudagar dan Wong Cilik”. Pindahlah pemusatan dari kepercayaan kepada Allah,
Kepada pemusatan penyembahan kepada raja. Digantilah nama "Wali"
menjadi "Sunan". Pudarlah ke- Islam-an, muncullah ke-Jawa-an
(Kejawen). Maka kian lama kian nyatalah perbedaan pandangan hidup diantara dua
Jawa, Jawa pedalaman dengan Jawa Pesisir. Kemudian masuk Belanda yang
memperkuat perbedaan tersebut
* Judul asli Islam di Madura bagian Pertama, Hamka (1982), Dari
Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar