Rabu, 01 Januari 2014

Munculnya Kebudayaan Jawa Bag 1*

Kerajaan Islam Demak berdiri sekitar tahun 1520. Namun kondisi saat itu tidak ideal untuk perkembangan Islam. Islam yang baru tumbuh di Jawa terjepit di antara ajaran Hindu pusaka Majapahit dan ajaran Kristen bawaan Portugis. Selain itu, di Jawa Timur masih berdiri Kerajaan Supit Urang yang beragama Hindu.
Setelah Raden Patah dan Pati Unus, Sultan Terenggana naik takhta Kerajaan, meneruskan rencana untuk memperluas wilayah Demak ke Jawa Timur dan ke Jawa Barat. Terenggana adalah seorang sultan yang pintar dan memiliki banyak anak putri. Masing-masing anak putrinya dinikahkan dengan para pahlawan Islam. Seorang puterinya dikawinkannya dengan Syarif Hidayatullah, yang bergelar Sunan Gunung Jati, bangsa Said keturunan Aceh (Pasai). Menantunya ini kemudian diperintah untuk menyiarkan Islam di Jawa Barat, Sampai dapat mendirikan Kerajaan Banten dan Cirebon dan dapat mendirikan kota Jakarta (Jayakarta).
Seorang lagi menantunya Pangeran Langgar, pahlawan dari Madura. Nama kecilnya tidak dikenal, dan dia pun keturunan dari orang biasa saja, seperti juga Gajah Mada di Majapahit. Tetapi dalam gelar resminya "Pangeran Langgar" sudah nampak "siapa" dia. Seorang santri yang shaleh, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermunajad dalam langgar, dan mempunyai jiwa Tauhid yang tinggi. Sebagai seorang pemuda Islam yang ingin memperdalam ilmu pengetahuannya, dia pergi ke Kudus, belajar kepada Syekh Ja'far Shadiq, yang lebih dikenal dengan panggilannya "Sunan Kudus". Karena ketinggian akhlak dan budi, kesantriannya dan semangatnya, menyebabkan dia terkenal bahkan sampai ke Demak. Sultan Terenggana melihat ada sesuatu yang istimewa dari anak muda ini, sehingga dia diambil menjadi menantu baginda dan diberi gelar Pangeran.
Seorang lagi menantu Terenggano, namun tidak memenuhi harapannya, yaitu Hadiwijaya Bupati Pajang. Menantu inilah kelak yang akan memindahkan kekuasaan dari Demak ke Pajang. Dan dari Pajang ini pulalah kelak kekuasaan itu akan dirampas pula oleh Ki Gede Pamanahan dibawa ke Mataram. Sultan Terenggana tewas dalam memimpin pertempuran hendak menaklukkan Pasuruan yang masih beragama Hindu. Sepeninggalnya terjadi perebutan kekuasaan di Demak. Pangeran Langgar berhak menjadi raja di Demak, akan tetapi dia tidak datang ke Demak, sehingga terbuka kesempatan bagi Hadiwijoyo merebut kekuasaan dari Sunan Prawoto dan membunuhnya.
Perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang dan akhirnya kelak ke Mataram, merubah pandangan Islam, dari suasana pesisir yang terbuka dan berpandangan luas beralih ke dalam suasana pedalaman, suasana pertanian dan suasana adat istiadat kuno yang masih dipertahankan. Apalagi kemudian Syekh Siti Jenar membawa ajaran tasawuf yang amat jauh dari Tauhid Islam. Maka digabungkanlah Tauhid Islam dengan Brahmana Hindu; muncullah kasta-kasta Hindu "Brahmana, Ksatrya, Waisya, dan Sudra" dengan nama baru "Kiyai, Priyayi, Saudagar dan Wong Cilik”. Pindahlah pemusatan dari kepercayaan kepada Allah, Kepada pemusatan penyembahan kepada raja. Digantilah nama "Wali" menjadi "Sunan". Pudarlah ke- Islam-an, muncullah ke-Jawa-an (Kejawen). Maka kian lama kian nyatalah perbedaan pandangan hidup diantara dua Jawa, Jawa pedalaman dengan Jawa Pesisir. Kemudian masuk Belanda yang memperkuat perbedaan tersebut





* Judul asli Islam di Madura bagian Pertama, Hamka (1982), Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar