Kamis, 23 Januari 2014

MUNCULNYA KEBUDAYAAN JAWA BAG 2*

Setelah Ki Gede Pamanahan dapat merebut kekuasaan dari Pajang dan memindahkannya ke Mataram, semakin terasa perbedaan antara "Islam Pesisir" dengan "Islam Pedalaman”. Dalam gelar yang digunakan oleh Sutawijaya putera Ki Gede Pamanahan yang menggantikan beliau pada tahun 1575 telah nampak, bahwa kebudayaan Hindu digabungkan dengan, kebudayaan Islam, sebagai dasar keagungan raja. Sutawijaya bergelar "Senopati ing Alogo" (panglima medan perang) ditambah dengan "Sayyidin Panatagama" (Yang dipertuan pengatur agama).
Panembahan Senopati meninggal pada tahun 1601, beliau kemudian digantikan oleh puteranya Mas Jolang yang meniggal pada tahun 1613, dan tahta kemudian diserahkan kepada puteranya Mas Ransang. Pada masa Mas Ransang inilah mulai dibentuk Filsafat Jawa yang sejati, puncak kemegahan Mataram. Beliau menggunakan gelar-gelar yang merupakan penggabungan antara agama Hindu dan Islam, sebagaimana dahulu Kertanegara juga menggabungkan antara agama Hindu (Siwa) dengan Budha. Dicarilah persamaan antara Hindu dengan Islam sehingga munculah “agama baru” yang bukan Hindu dan bukan pula Islam. Gelar "Senopati" warisan kakeknya tetap digunakan. "Senopati ing Alogo" ditambah dengan “Ngabdurrahman”, Ditambah lagi gelar lain, yaitu “ Prabu Pandito Cokrokusumo", disebut juga "Hanyokrokusumo", dan pernah dikirimnya pula utusan ke Mekkah, agar Syarif Mekkah memberinya gelar Sultan, sehingga beliau terkenal dengan nama Sultan Agung.
Sultan Agung kemudian mengarang filsafat pandangan hidupnya yang dituangkan dalam bentuk tembang yang terkenal dengan sebutan “Sastra Gending”. Beliau menyuruh para pujangga istana untuk menyusun silsilah garis keturunannya, sehinnga bisa kita dapati silsilah garis keturunan tersebut merupakan perpaduan antara Hindu dan Islam bahkan juga cerita-cerita mitos sehinnga tidak dapat kita percayai dengan menggunakan akal pikiran yang sehat. Di dalam silsilah tersebut menyebutkan bahwa beliau merupakan keturunan dari Nabi Adam dan Nabi Syis, tetapi juga keturunan sang Hyang Nur Cahaya, sang Hyang Nur Rasa dan sang Hyang Nur Wening. Beliau juga keturunan Batara Guru, sang Hyang Tunggal dan Brahmana dan Arjuna; tetapi juga memiliki hubungan dengan Hayam Wuruk dan Brawijaya, serta merupakan keturunan dari Raden Patah dan Ariya Damar.
Karena hal tersebutlah para ulama termasuk dua dari sembilan dewan wali (wali sanga) yang terkenal serta para pengikutnya yang hidup di pesisir memandang bahwa filsafat jawa yang dibuat oleh Sultan Agung sangat membahayakan bagi perkembangan Islam. Oleh karena itu, maka dijadikanlah Giri sebagai pusat penyebaran agama Islam sekaligus benteng pertahanan Islam. Datanglah para santri yang hendak belajar dari segala penjuru Nusantara terutama bagian timur selain itu dikirim pula para Mubaligh ke seluruh pelosok Nusantara. Beberapa Bupati di Jawa Timur dapat dipengaruhi oleh Sunan Giri sehingga beliau dikenal sebagai Sultan Agama. Diantara para bupati tersebut ialah Bupati Surabaya yakni Pangeran Fakih.
Selain membangun Negara dengan dasar Filsafat Jawa yang kuat, sultan Agung juga mempunyai cita-cita menyatukan seluruh tanah Jawa dalam pemerintahannya. Beliau hendak memasukan wilayah Banten ke dalam kekuasaan Mataram. Namun, untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, Sulatan Agung harus menghadapi tantangan dari VOC yang pada saat itu juga sedang berkembang. Kiyai Suro Dono seorang Ulama dan ahli Tasawuf yang merupakan pembantu Utama Sultan Agung kemudian mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Suroantani untuk menaklukan Jawa Timur. Mendengar kabar datangnya tentara dari Mataram, Adipati Surabaya bersama Sunan Giri berusaha menyatukan para bupati di Jawa Timur. Lasem, Tuban, Japan, Wirosobo, Pasuruan, Arisbaya (di Madura), Sumenep dan tentunya Surabaya kemudian bersatu, tidak hanya untuk bertahan akan tetapi bersiap untuk menyerang Mataram. Namun, sesampainya di Pajang, karena kekurangan makanan maka tentara persatuan para Bupati Jawa Timur tersebut dapat dipukul mundur oleh Sultan Agung pada Tahun 1615. Memanfaatkan keadaan yang ada, Sultan Agung kemudian menaklukan Wirosobo, tetapi pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir tidak dapat ditaklukan karena angkatan laut Mataram kurang kuat. Pada tahun 1616 lasem dapat direbut, kemudian Pasuruan dapat ditaklukan oleh pasukan Mataram yang dipimpin oleh Marto Loyo. Setelah Tuban dapat ditaklukan maka pada tahun 1622 dikirimlah 80.000 pasukan untuk menaklukan Surabaya, akan tetapi karena perbekalan habis maka pasukan tersebut terpaksa kembali ke Mataram. Dalam perjalanan pulang, pasukan Mataram sempat menghancurkan Gresik dan Jaratan, sehingga hingga kini nama Jaratan tidak terdengar lagi.
Dua tahun kemudian tepatnya pada tahun 1624, Sultan Agung mengirim pasukan dibawah pimpinan Sujonopuro untuk menaklukan Madura. Saat itu Madura terdiri dari lima kabupaten yakni Arisbaya, Pamekasan, Sumenep, Sampang dan Balega. Madura dapat bertahan dengan gagah perkasa, kelima Bupati yang ada di Madura bangkit bersama, sehingga tentara Mataram yang baru mendarat dapat dipukul mundur. Pada malam hari laskar Madura menyerang dengan tiba-tiba sehingga Kiyai Sujonopuro terbunuh dan pasukan Mataram tercerai berai. Karena pukulan keras tersebut, tentara Mataram terpaksa bertahan dan menunggu bantuan. Sultan Agung kemudian mengirimkan bantuan pasukan di bawah pimpinan Kiyai Juru Kiting sehingga Madura dapat ditaklukan.
Sultan Agung merupakan seorang raja yang berpandangan luas dan pandai dalam hal perang dan politik. Setelah Madura dapat ditaklukan, baginda kemudian mengangkat anak dari saudara Bupati Arisbaya yakni Raden Praseno menjadi Adipati untuk seluruh Madura dengan gelar Cakraningrat. Pangeran Cakraningrat sangat senang menerima kebaikan hati dari Sultan Agung. Sultan Agung sangat mengerti jika pengaruh agama Islam sangat besar di Madura dan penduduknya juga lebih senang bila dipimpin oleh orang asli Madura. Oleh karena itu, baginda taklukan dengan lemah lembut, beliau muliakan Cakraningrat dengan segala kebesarannya, sehingga Cakraningrat sering menghadap ke Mataram bahkan memimpin langsung pasukan untuk membela Sultan dan Kerajaan Mataram.
Setelah Madura dapat ditaklukan, Sultan Agung mengarahkan pasukannya yang beliau pimpin sendiri untuk menaklukan Surabaya. Melihat jumlah tentara Mataram yang sangat besar dan sudah takluknya Madura, maka Adipati Surapaya yakni Pangeran Fakih mengirimkan utusan kepada Sultan Agung dengan maksud menawarkan perdamaian. Saat Pangeran Fakih datang untuk menghadap pada Sultan, disambutlah dengan upacara kebesaran layaknya para raja. Pangeran Fakih diperlakukan dengan baik. Sultan Agung menunjukan kebesaran jiwanya, walaupun beliau meruakan seorang “senopati”, pemimpin perang yang hebat, namun wajah manisnyalah yang diperlihatkan kepada musuhnya tersebut. Sultan hendak menaklukan Surabaya layaknya Madura dengan cinta dan kasih sayang.
Sultan Agung sangat pandai membawa dirinya, ia mampu menunjukan sikap toleransinya dengan baik sebagai Raja baik dalam wilayah yang beragama Islam maupun Hindu. Penaklukan Surabaya tidak pernah disebut-sebut lagi karena hati Pangeran Fakih sendiri yang sudah takluk. Sultan Agung meminang Pangeran Fakih untuk dinikahkan dengan puteri kesayangannya yakni Puteri Pandan Sari. Suatu strategi yang sangat hebat dan tentunya sulit untuk ditolak, apalagi Puteri Pandan Sari merupakan seorang puteri yang sangat cantik. Dengan sendirinya Surabaya berada dibawah Mataram karena Pangeran Fakih merupakan menantu dari Sultan Agung. Apatah lagi Ratu Wandan Sari pun seorang puteri yang cantik rupawan.
Puteri Pandan Sari kemudian melanjutkan siasat ayahnya dengan membujuk Pangeran Fakih untuk menyerang Giri. Hal ini merupakan ujian yang sangat besar bagi Pangeran Fakih, bujuk rayu istrinya tersebut mengakibatkan Pangeran Fakih tega untuk melawan gurunya sendiri. Surabaya kemudian menyerang Giri, namun gagal karena Sunan Giri melakukan perlawanan dengan gigih. Pada akhirnya Puteri Pandan Sari yang memimpin penyerangan yang kedua dengan menyamar sebagai laki-laki, dan pada saat itulah Sunan Giri dapat dikalahkan kemudian ditangkap dan dibawa ke Mataram. Pada saat berdialog dengan Sultan Agung, Sunan Giri dengan terus terang menyatakan tidak senang hatinya karena Sultan Agung tidak sungguh-sungguh dan benar dalam menegakan Islam. Akan tetapi, Sultan tetap pada pendiriannya dan berjanji tidak akan mengganggu perkembangan Islam dan kepemimpinan Giri dalam hal agama Islam. Sunan Giri diangkat kembali dan diberi izin untuk memimpin Giri seperti semula, hanya gelarnya sebagai “Sunan” diturunkan hanya menjadi Panembahan.




* Judul asli Islam di Madura bagian kedua, Hamka (1982), Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar