Sudah menjadi tradisi dan doneng turun temurun di
negeri-negeri Timur, bahwa seorang raja adalah suci dan merupakan keturunan
dewa. Raja tidak sama dengan manusia pada umumnya. Dengan demikian maka
perintah atau titah yang baginda turunkan kepada rakyatnya, hendaklah dipandang
suci dan tidak boleh dilanggar. Kepercayaan ini menyebar secara merata
diseluruh negeri Timur. Pada masa animisme yakni kepercayaan kepada kekuatan
gaib roh nenek moyang. Seorang raja dipandang sebagai dukun sakti yang bisa
mengatur hubungan antara rakyat di alam nyata dengan roh nenek moyang di alam
ghaib.
Orang Bugis percaya bahwa raja mereka yang suci
“Sawirigading” adalah keturunan Batara Guru, yang turun ke dunia dari dalam
rumpun buluhkuning. Demikian juga dengan orang Minangkabau yang menganggap raja
Sutan Rumandung dan Ibu Kandung bangsanya merupakan keturunan Anak Indra Jati,
sehingga bagindapun tidaklah mati, melainkan hanya naik ke “langit” dengan
menaiki perahu Nabi Nuh.
Setelah agama Hindu tersebar di Indonesia, jelaslah
dinyatakan bahwa Raja adalah titisan dari Dewa. Airlangga dianggap sebagai
titisan dari Dewa Wisnu. Setelah melihat bahwa dalam negerinya terdapat dua
agama, yakni agama Syiwa dan agama Budha, maka kemudian Kertanegara membuat
“ideologi” dari kerajaannya bersandar pada paduan Syiwa-Budha”, sedangkan raja
merupakan titisan daripada dewa-dewa persembahan tersebut. Pada masa Majapahit
lebih diperkuat “Tuah” raja tadi. Raja bukanlah manusia biasa, tetapi keturunan
dari kahyangan, titisan dari Arjuna dan Abimanyu. Dengan meninggikan kedudukan
raja dapatlah rakyat diperintah, sehingga memandang raja saja tidak
diperkenankan apalagi duduk berhadapan dengan baginda. Di depan istana dibuat
“Seba”, yaitu tempat duduk untuk menunggu ijin masuk ke dalam puri istana,
sehingga sebelum masuk diri sendiri sudah tertekan oleh kebesaran baginda. "Tuah"
Majapahit inilah yang dipergunakan oleh Gajah Mada buat menaklukkan seluruh Indonesia.
Seperti yang diketahui, sebelum Islam masuk ke tanah Jawa,
terlebih dahulu Kerajaan Islam sudah berdiri di Pasai. Bagaimana cara
memelihara “tuah” raja, dengan menyesuaikan kepercayaan Islam yang menganggap
bahwa manusia bukanlah keturunan dewa melainkan keturunan Adam? Pasai mencatat
sejarahnya dengan cara sederhana saja. Merah Silu Raja Pasai yang kemudian
masuk Islam dan bergelar Al Malikush Shaleh, tidak sempat didewakan. Dalam
“sejarah Melayu” diceritakan bahwa Merah Silu hanyalah seorang nelayan pencari
ikan di laut Aceh. Para pujangga kemudian mencoba membuat cerita agar raja-raja
Pasai tersebut di”dewa”kan. Lalu tercatat bahwasanya Raja Islam Aceh yang
pertama tersebut dipelihara oleh seekor gajah di dalam hutan belantara.
Demikianlah catatan sejarah “Raja-raja Pasai”, oleh karena itu percobaan
men”dewa”kan Raja-raja Pasai kurang berhasil.
Bagaimana dengan keturunan Raja-raja Melayu Malaka? Kerajaan
Melayu Islam di Malaka telah berdiri pada awal abad ke-13, yaitu pada tahun
1400-an. Diceritakan bahwasanya Raja-raja Melayu Malaka berasal dari Singapura
(Tumasik), dan Raja-raja Melayu Hindu Tumasik tersebut berasal dari Palembang,
dari Bukit Siguntang Mahameru.
Raja mesti di"tuah"kan. Padahal dalam ajaran agama
Islam tidak ada kepercayaan yang demikian. Sisa zaman jahiliyah belumlah hilang
sama sekali, sehingga "Tuah" Raja harus ditegakkan supaya rakyat
dapat diatur dan diperintah, taat patuh serta setia. Bagaimana caranya? Mereka
tidak kekurangan bahan untuk memberikan "Tuah" pada raja.
Ajaran Tasawuf telah masuk bersama masuknya ilmu Fiqhi dan
lain-lain. Dalam kitab-kitab kaum Shufi nampaknya terdapat bahan-bahan yang bisa
memberi "tuah" pada raja. Apakah ajaran Shufiyah yang demikian
benar-benar mempunyai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan menurut ajaran
asli Agama Islam? Hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Salah satunya yang
terpenting dalam ajaran Tasawuf tersebut ialah bahwasanya Nabi Khidir masih
hidup, dan baru akan meninggal pada hari kiamat. Nabi Khidhir adalah seorang Nabi
yang besar dan merangkap menjadi Wali Quthub. Wali Quthub berjumlah tujuh
orang. Mereka diperintahkan oleh Tuhan untuk mengatur dunia ini. Setiap malam
mereka mengadakan "inspeksi" pada seluruh dunia, menyelidiki penderitaan
ummat manusia. Setelah "komisi" atau tugas tersebut merekapun
mengadakan "conferensi" (rapat) membicarakan dan melaporkan pandangan
masing-masing. Selain itu, Nabi Khidhir juga bergelar "Mudawil
Kalum"; artinya yang mengobati luka hati manusia. Dalam tafsir ahli
Tasawuf,Nabi Khidhir juga menjadi wazir dari Sultan Iskandar Zul Qarnain.
Disamping itu, Sultan Iskandar Zul Qarnain diceritakan pernah masuk ke dalam lautan
dalam usaha mencari tempat terbitnya Matahari. Tersebut juga dalam sejarah
bahwa Iskandar Zul Qarnain pernah datang ke Benua Hindi. Dalam sejarah yang
sebenarnya, Iskandar Zul Qarnain dapat mengalahkan Darus Maharaja Persia dan
kemudian melalui pegunungan Indus, terus masuk ke dataran Hindi hingga ke tepi
sungai Gangga. Disebutkan juga bahwa beliau merupakan anak Raja Macedonia
Philifus dan murid dari Aristoteles.
Maka masuklah ajaran Tasawuf ke Indonesia dan tersebarlah
kitab-kitab karangan Ibnu Arabi dan karangan Abdul Karim Jailany (keturunan
Abdul Kadir Jailany). Penuhlah kitab-kitab mereka itu dengan khayal-khayalan
tentang Nabi Khidhir dan Iskandar Zul Qarnain. Apalagi kisah kedua orang itu
berdekatan juga dalam Al Qur’an berturut-turut dikisahkan dalam Surat Al Kahfi.
Sehingga mudahlah bagi yang hendak mengkhayalkan menyusun cerita bahwa Nabi Khidhir
merupakan Wazir Besar dari Sultan Iskandar Zul Qarnain. Disebutkan juga bahwa
Iskandar Zul Qarnain adalah Nabi Allah. Akan tetapi, dalam Al Qur'an sendiri
tidaklah sepatah katapun menyebut nama Khidhir, yang disebut hanyalah "seorang
hamba Kami yang shaleh". Tidak juga disebut "Iskandar”, yang disebut
hanyalah "Zul Qarnain”. Oleh sebab itu, beberapa ahli tafsir tidak mau
memastikan bahwa “hamba Kami yang shaleh” itu adalah Khidir, dan tidak mau
menjelaskan “Zul Qarnain” (yang mempunyai dua tanduk) itu adalah Iskandar anak
Raja Macedonia yang sudah jelas bukan pemeluk agama Tauhid. Bahkan gurunya
bukanlah seorang Nabi, melainkan ahli filsafat Yunani terkenal Aristoteles
murid dari Plato.
Para penyusun dongen “Sejarah Melayu” tidak ingin melepaskan
kesempatan mengambil fantasi dari tafsiran dan khayalan orang Shufi untuk
men”dewa”kan Raja-raja Melayu. Diceritakan bahwa Raja Iskandar Zul Qarnain
datang dari Macedonia ke negeri Hindi, lalu berperang melawan Raja Kida Hindi.
Dalam peperangan yang sangat dahsyat tersebut tentara Raja Kida Hindi mengalami
kekalahan. Meskipun kalah, Raja Kida tidak dihinakan oleh Sultan Iskandar,
sehingga pada akhirnya dinikahkanlah Raja Iskandar dengan puterinya yang sangat
cantik bernama Puteri Syahru Bariyah. Yang menjadi penghulunyaialah Nabi Khidir
sendiri. Setelah beberapa bulan, Raja Iskandar pulang ke negerinya, sedangkan
isterinya ditinggalkan bersama ayahnya Raja Kida Hindi. Ketika ditinggalkan,
barulah diketahui bahwa puteri tersebut hamil dan setelah genap bulannya
lahirlah seorang anak laki-laki, yang kemudian diberikan nama oleh neneknya
dengan nama Aristun Syah.
Setelah Raja Kida Hindi mangkat, maka cucunya Aristun Syah
anak dari Raja Iskandar yang menggantikannya menjadi raja, dan turun temurun
menjadi raja sampai kepada seorang cucunya bernama Raja Suran, Raja di negeri
Keling. Kemudian dikisahkan perjalanan Raja Suran keturunan Aristun Syah,
keturunan Iskandar Zul Qarnain tersebut. Ia merupakan Raja Benua Keling yang
gagah perkasa, membawa tentara yang sangat besar jumlahnya. “rupa rakyat
seperti laut tatkala pasang penuh, rupa gajah dan kuda seperti pulau, rupa
tunggal panji-panji seperti hutan, rupa senjata berlapis-lapis, rupa cemara
tombak seperti bunga ilalang...maka kelihatanlah rakyat Raja Suran seperti
hutan rupanya”. Tujuannya adalah mengalahkan negeri Cina. Tetapi di tengah
perjalanan dapat dikalahkannya negeri Siam dan beberapa negeri yang lain. Kemudian
diceritakan juga bahwa Raja Suran masuk ke dalam laut dengan sebuah keranda
kaca. Di dalam laut bertemulah dia dengan raja seluruh lautan bernama Raja
Aftabul Ardh. Tiga tahun lamanya baginda tinggal di dalam dasar laut, hingga
menikah dengan puteri Raja Aftabul Ardh, yaitu Tuan Puri Mahtabu'l Bahr.
Setelah genap tiga tahun baginda dalam laut, dan telah memperoleh tiga orang
putera, bagindapun kembali ke daratan dengan mengendarai seekor kuda semberani
dan berjumpa kembali dengan rakyatnya. Dengan Puteri “daratan” beliau juga
mendapatkan tiga orang anak laki-laki, dan seorang perempuan. Yang perempuan
bernama Puteri Candani Wasis dipinang oleh Raja Hiran dan dinikahkan dengan
puteranya. Sedangkan ketiga anak laki-laki ialah Paldu tani yang dijadikan raja
di negeri Andam negara, berikutnya Nila Manan dijadikan raja di negeri Bija
Negara, dan yang paling tua bernama Bicitram Syah dijadikan raja di negeri
Candu Kani. Tetapi Bicitram Syah merasa sedih karena sebagai anak tertua, ia
hanya mendapatkan sebuah negeri yang kecil. Kemudian ia mengasingkan diri
meninggalkan kampung halamannya dengan 20 buah kapal. Dalam perjalanannya,
rombongan tersebut dihantam oleh badai yang sangat besar sehingga porak-poranda
tenggelam dalam laut, sebagian yang selamat memilih untuk kembali.
Beberapa masa kemudian, di negeri Palembang dua orang
perempuan berhuma di atas Bukit Seguntang Mahameru. Tiba-tiba pada suatu malam mereka
melihat padi yang mereka tanam di puncak bukit itu bersinar terang benderang laksana
api, sehingga mereka menjadi takut dan khawatir. Pagi hari setelah mereka
bangun tidur, dengan segera mereka pergi mendaki bukit melihat perhumaan, maka
terlihatlah sesuatu yang ajaib, yakni padi mereka telah berubah menjadi emas,
batangnya menjadi tembaga serta daunnya menjadi perak. Di sana mereka dapati
tiga orang. Seorang di antaranya memakai pakaian kerajaan dan kepalanya memakai
mahkota dan mengenderai seekor lembu. Lalu kedua wanita tadi bertanya siapakah
mereka. Kemudian dijawablah bahwa mereka adalah keturunan Sultan Iskandar Zul
Qarnain, cucu dari Nusyirwan Adil Raja Masyrik
dari Maghrib, serta buyut dari Sulaiman Alaihissalam. Yang mengendarai
lembu ialah Bicitram Syah, sedangkan yang lainnya bernama Nila Utama dan Karna
Pandita. Dari mahkota yang dipakai oleh Bicitram Syah dapat diketahui bahwa ia
merupakan keturunan Iskandar Zul Qarnain. Tiba-tiba lembu tersebut memuntahkan
buih dan keluarlah seorang laki-laki bernama Bat dengan menggunakan pakaian
yang terlalu besar. Kemudian laki-laki bernama Bat tadi menyembah Bicitram Syah
dan menyebut gelar kerajaannya, yaitu Sang Suparba Taramberi Tribuana. Maka sampailah berita itu kepada Demang Lebar
Daun, raja dari negeri Palembang. Pada akhirnya dinikahkanlah Sang Suparba dengan
puterinya bernama Wan Sendari, dan diangkatlah Sang Suparba menjadi Raja di
negeri Melayu. Beberapa waktu kemudian, Sang Suparba meneruskan perjalanannya
menuju Bintan. Di tengah perjalanan dia singgah di Teluk Sapat Kuantan, dan
bertemu dengan masyarakat Minangkabau. Karena dapat membunuh ular Sakti Muna,
Sang Suparba kemudian diangkat menjadi Raja Minangkabau. Setelah itu
diteruskanlah perjalanannya, bertemulah Sang Suparba dengan raja Bintan
Permaisuri Iskandar Syah dan menikahi putrinya. Dari Bintan perjalanan
dilanjutkan menuju ke Tumasik. Karena melihat seekor singa di tengah padang
lapang, kemudian Tumasik diberi nama Singapura, yang selanjutnya baginda
mendirikan sebuah negeri yang besar. Sang Suparba atau Bacitram Syah mempunyai
dua orang anak yaitu Raja Kecil Besar dan Raja Kecil Muda. Dari keturunan-keturunan inilah yang kelak
kemudian menjadi raja-raja Negeri Malaka. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa keturunan raja-raja Melayu berasal dari Sultan Iskandar Zul Qarnain yang
anak cucunya turun di atas Bukit Siguntang Mahameru.
Demikianlah susunan ceritanya, sudah jelas bahwa cerita atau
dongeng ini tidak
dapat
dipertanggung jawabkan dengan ilmu sejarah. Nanti akan kita kupas betapa
pengaruh pelajaran Tasawuf di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar