Senin, 02 Januari 2017

Dongeng Tasawuf: Mendewakan Raja Bagian 2

Kitab Al Insan Al Kamil karangan Abdulkarim Jailany telah tersebar di Indonesia (Malaka) bersama-sama dengan karangan Fiqih lainnya. Dalam kitab tersebut, banyak diceritakan tentang Nabi Khidhir yang disebut masih hidup. Diceritakan juga tentang tujuh petala bumi yang artinya ialah tujuh lapis bumi yang masing-masingnya didiami oleh makhluk berbagai macam bentuknya. Menurut kitab tersebut, di laut juga terdapat makhluk yang mempunyai masyarakat sendiri. 
Maka disusunlah dongeng itu, dijadikan khayal untuk "tuah" raja. Karena Nabi Khidhir dalam tafsir merupakan wazir dari Sultan Iskandar Zul Qarnain, maka Nabi Khidhir juga yang menjadi Wali Hakim untuk menikahkan puterinya Raja Kida Hindi dengan Sultan Iskandar. Sang puteri ialah "Syahrul Bariyah". Inspirasinya diambil dari Al Qur' an, Surat "Lam Yakun" terdapat dua kalimat yang hampir sama, yaitu Khairul Bariyah, artinya manusia yang baik dan Syarul Bariyah, artinya manusia yang jahat. Maka dari itu nama tuan puteri menyerupai kedua kalimat tersebut, yaitu Syahrul Bariyah, yang artinya ialah "bulan orang". Tidaklah dipikirkan lagi apa arti dari nama yang demikian, melainkan yang terpenting indah bacaannya, “Syahrul Bariyah”.
Pernikahan puteri Syahrul Bariyah dengan Sultan Iskandar Zul Qarnain, menghasilkan seorang putera yang diberi nama Aristun Syah. Apabila kita selidiki nama-nama raja Persia dan Iran, tidak terdapat nama "Aristun”, yang ada hanyalah nama Aristo, filsuf terkenal murid dari Plato. Aristo adalah guru yang mendidik Iskandar sebelum baginda menjadi raja. Ahli-ahli sejarah filsafat menyatakan bahwa Iskandar berjasa mempertemukan Filsafat Yunani dengan mistik India, karena pada dirinya sangat besar pengaruh ajaran Aristoteles. Tetapi menurut sejarah tidak ada anak Iskandar yang bernama Aristo atau Aristun.
Mengenai bumi berlapis tujuh dan makhluk dasar laut, dilengkapi dengan turunnya Raja Suran ke dasar lautan menggunakan keranda kaca. Di sana kemudian bertemu dengan Raja Lautan bernama Aftabu’l Ardh. Dalam bahasa Arab tidak terdapat suatu kalimat dengan huruf F.Th.B., sehingga tidak ada makna atau arti yang terkandung dalam kalimat Afthab. Dari nahkah kuno “Sejarah Melayu” dapat membantu kita untuk membuka rahasia yang ada. Dalam naskah tersebut bukan ditulis Afthab dengan huruf Faa bertitik satu, melainkan huruf Qaaf yang bertitik dua, Aqthabul Ardh. Aqthab adalah kalimat jama’ dari Quthub yang berarti wali tertinggi dalam kepercayaan orang Shufi yang berjumlah tujuh orang, sehingga jama’nya menjadi aqthab.  Naskah lama yang disalin dari tangan ke tangan, turun temurun itu, pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, tidaklah mustahil apabila dalam satu penyalinan ada satu titik yang tertinggal sehingga Quthub menjadi futub atau Aqthab menjadi Afthab. Di sini sangat jelas betapa besar pengaruh Tasawuf terhadap susunan hikayat tersebut.
Raja Suran kembali ke daratan dengan mengendarai kuda semberani yang bernama Farasu’l Bahri. Dalam hal ini sangat tepat dalam memberikan nama karena Farasu’l Bahri mempunyai arti Kuda Lautan. Akan tetapi, saat membuat nama untuk puteri Raja Aftabu’l Ardh yang dinikahkan dengan Raja Suran, kembali terdapat kalimat yang sukar diartikan yaitu “Mahtabul Bahr”. Mungkin lebih sesuai apabila ditulis “Mahbathul Bahr”, yang berarti yang dalam sekali daripada lautan.
Putra Raja Suran yang bernama Bicitram Syah, merasa sedih karena mendapat pembagian kerajaan yang keci dari ayahnya, sehingga ia meninggalkan kampung halamannya. Kemudian pada hikayat yang ke dua, disebutkan bahwa baginda telah sampai di puncak Gunung Siguntang Mahameru. Setelah bertemu dengan Wan Empuk dan Wan Melini, hilanglah nama Bicitram Syah, diganti dengan Sang Suparba. Dan oleh Bat yang keluar dari lembu, diresmikan juga gelarnya yang baru yakni Sang Suparba Taramberi Tribuana.
Raja Nusyirwan Al Adil adalah salah seorang Maharaja Persia yang sangat terkenal.  sebagai puncak kemegahan Dinasti Sasan, sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri mengakui bahwa beliau dilahirkan pada masa Persia dipimpin oleh Raja Nusyirwan, maka dikaitkan juga keturunan Raja-raja Melayu dengan raja-raja Iran.
Saat Bicitram Syah ditanyai oleh Wan Empuk dan Wan Malini, apakah mereka  bangsa jin, bangsa dewa atau bangsa manusia. Raja tersebut kemudian menjawab bahwa mereka adalah bangsa manusia, dan mempunyai pertalian darah dengan Nabi Sulaiman AS.
Hasilnya, semua puncak kegemilangan sejarah yang terdapat dalam agama Islam, dalam ajaran Tasawuf, pada kemegahan Iskandar Macedonia yang pernah menaklukan India, semua kejayaan Hindustan dan Iran, semuanya diletakkan pada silsilah keturunan Raja-raja Melayu pada masa itu.
Apakah “sejarah” ini dikarang? Tun Sri Lanang mengakui sendiri bahwa beliau hanya menyusunnya saja, sesaat setelah menemukan sebuah naskah yang dibawa orang dari Goa. Pada waktu itu Goa merupakan pusat kekuasaan Portugis. Saat Malaka jatuh ke tangan Portugis, naskah tersebut diambil dan kemudian dibawa ke Goa. Setelah munculnya Kerajaan Johor sebagai kelanjutan dari Malaka, yang menjadi rebutan Belanda dan Aceh,  pada tahun 1612 barulah naskah tersebut dapat dikembalikan dari Goa.  Dengan demikian, jelaslah bahwa sejarah, atau “dongeng” indah tersebut disusun pada masa Raja-raja Melayu masih berada pada singgasana megah Malaka. Perlu diingat, pada masa itu Malaka merupakan pusat perdagangan dunia. Orang Arab menamai Malaka dengan Malaqat yang artinya tempat pertemuan segala anak dagang, orang Hindustan, Tamil, Persia, Jawa dan Aceh. Sehingga dapat dimengerti apabila segala sari cerita membawa segala macam budaya mereka.
Harus diingat juga betapa besarnya pengaruh Tasawuf pada masa itu. Dapat dimengerti jika buku-buku bacaan tentang Tasawuf ikut mempengaruhi, sehingga Sri Baginda Maharaja Melayu adalah keturunan Hindustan, Nabi Sulaiman, Persia, Maharaja Lautan dan menjelma sebagai dewa yang turun dari kahyangan di atas Bukit Seguntang Mahameru.
Kalau sudah demikian tingginya martabat beliau, sehingga yang menikahkan nenek moyang beliau dengan anak Raja Kida Hindi adalah Nabi Khidhir sendiri, apakah tidak akan percaya pada “tuah” kebesaran beliau? Masihkah masyarakat akan menentang? Tidakkah akan kena kutuk? Apalagi salah satu keris kebesaran baginda pada awal turun di atas Bukit Seguntang ialah keris “Si Curik di Manung Giri” yang sangat sakti. Keris tersebut dapat mendatangkan malapetaka apabila membantah raja. “Tujuh tahun kemarau Panjang, mati katak mati ketam, mati belalang berjentikan, mati udang di selat batu, mati ikan di dalam air. Ulunya berpanjut putih, mayat dua seusungan, jejak ditikam mati juga!" Pedang beliau adalah pedang jenawi memutus rantai.

Demikianlah dongeng dari kaum Shufi yang menyelinap ke dalam sejarah Raja Melayu setelah masuknya Agama Islam. Cara yang demikian juga terdapat di tanah Bugis kepada Sawirigading dan terdapat juga di tanah Jawa pada Kerajaan Mataram Islam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar