Rabu, 01 Desember 2010

ANGKATAN OEMAT ISLAM: GERAKAN ISLAM LOKAL DI KEBUMEN 1945-1950

Pendahuluan
Angkatan Oemat Islam (AOI) didirikan sekitar September-Oktober 1945. Sebagai gerakan kelaskaran, sudah banyak gerakannya dalam menghadapi usaha-usaha militer Belanda antara 1945-1950 di kebumen. Gerakan ini tidak akan menarik perhatian kalau pada akhirnya, yaitu 1 Agustus 1950, tidak tercatat sebagai pemberontak.dari semua pemberontakan yang ada di Indonesia pada tahun-tahun itu, AOI mempunyai tempat tersendiri. Kalangan tentara menganggap AOI indispliner, sementara itu menteri agama RIS, Wahid Hasjim berpendapat ada salah paham antara AOI dan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).1 Di bawah ini adalah usaha meninjau struktur dan fugsi sosialnya untuk melihat seberapa jauh corak organisasinya telah menempatkan pergerakan itu dalam posisi sebagai pemberontak. Sekalipun tidak ada data terperinci, suatu analisis masih mungkin dilakukan.
Pada Oktober 1945 telah berdiri AOI, AMGRI (Angkatan Muda Guru Indonesia), dan Barisan Banteng. Pada bulan November berdiri pula Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Barisan Buruh Indonesia (BBI), PERWANI, GPII, Hisbullah, Laskar Rakyat, dan Srekat Tani Indonesia (SATRIA) yang kemudian menjadi BTI (Barisan Tani Indonesia). Dari daftar di atas tampak beracam gejala masyarakat yang mulai mengelompokan diri dalam suatu badan. Badan-badan itu mempunyai basis sosial masing-masing. Ada badan yang mempunyai hubungan vertikal dan nasional, serta ada yang hanya bersifat lokal. AOI adalah badan lokal yang merekrut anggota-anggotanya dari petani desa dan lebih berdasarkan agama.
Susunan kepengurusan AOI yang pertama adalah Kiai Mahfud (ketua), Moh. Sjafei (wakil ketua), Saebani (penulis), dan Affandi (bendahara).2 Tak lama setelah pembentukannya resmi, ranting-ranting AOI segera berkembang di desa-desa hampir 22 kecamatan seluruh Kebumen. Dengan dukungan seperti itu, tak heran jika kemudian AOI segera menjadi badan kelaskaran yang terkuat.
Adalah tujuaan dari tulian ini untuk menganalisis mengapa AOI yang pada mulanya sangat potensial bagi perjuangan akhirnya terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah—suatu perjalanan yang unik dalam riwayat organiasasi sosial.
Analisis Tentang Kekuasaan Elite dan Kelompok Sosial di Pedesaan
Dahulu, Kebumen termasuk dalam wilayah Bagelen sebagai suatu daerah vorstenladen—yang sesudah perang Jawa, pada 1830, menjadi daerah Gubermen1. Di bawwah pemerintah Hindia Belanda, segala peraturan pemerintah yang menyangkut desa seperti cultuur-stelsel, dan pajak-pajak terasa sampai ke desa. Begitu juga kegiatan seperti gugur gunung yang pernah dilaksanakan pada masa pendudukan Jepang. Pamong desalah yang berkewajiban memikul tugas-tugas itu. Pemerintah desa cenderung muncul dan berkembang menjadi kekuasaan legal. Gejala-gejala ini menunjukan bahwa tradisi lama yang menganggap lurah sebagai Patriacrch desa mulai meluntur dan digantikan oleh tradisi baru, yaitu lurah hanyalah seorang pejabatdari sebuah birokrasi yang bersifat rasional dan impersonal. Inilah yang mnyeebabkan loyalitas penduduk berubah dari ikatan non-kontraktual ke ikatan kontraktual, yang dikuatkan dengan sangsi hukum positif. Singkatnya status lurah telah digantikan oleh power akibat solidaritas sosial lama yang mulai retak.
Ketika itu di desa, sesungguhnya telah muncul sistem stastus yang lain, yaitu yang lebih didasarkan pada ukuran agama. Kiai atau haji mempunyai status tinggi pula. Dalam pengaruh, kiai dapat menyaingi lurah, sehingga kedua power elite desa itu berada dalam posisi berhadapan. Selebihnya mereka membawa social group masing-masing atau sebaliknya.
Demikianlah, kita melihat bahwa di desa terdapat dua kelompok rural elite, yaitu elite birokrasi dan elite agama, atau lurah dan kiai. Keduanya sama-sama mempunyai otoritas. Lurah dengan otoritas tradisional yang kemudian menjadi rasional dan kiai dengan otoritas kharismatik. Lurah dijamin oleh tradusu dan hukum, kiai oleh kekeramatan perseorangan. Lurah adalah pewaris little tradition, sementara kiai adalah pewaris dari great tradition, yang pertama tradisi Jawa dan yang kedua tradisi Islam.
Sebenarnya, tidak ada perubahan struktural maupun fungsional di desa jika tidak ada perang persiapan-persiapan perang meimbulkan kecemasan—sesuatu yang menyebabkan penduduk mencari natural leader di tengah-tengah kekacauan tersebut. Max Weber mengatakan bahwa natural leader pada saat-saat kekacauan fisik, psikis, ekonomis, etis, religius, atau politis, bukanlah pejabat-pejabat, tapi orang yang mempunyai kesangguan badan dan batin, kekuatan yang dipercaya sebagai gaib yang tak dimiliki setiap orang. Itu sebabnya pandangan orang tertuju kepada kiai dan bukannya kepada lurah. Pada latar semacam inilah, AOI mendapat sambutan yang sangat responsif dari penduduk. Di pihak lain, kedudukan legal lurah sebagai kepala desa dan formal group semakin terancam. Dengan adanya dua formal group yang saling bersaing dan bertanding itu, mekanisme pemerintahan desa menjadi beku.
Meskipun demikian, dalam pandangan Angkatan Perang dan pemerintah, lurah masih tetap dianggap sebagai satu-satunya pemimpin di tengah rakyat.2 Sinyalemen ini tidak sesuai dengan kenyataan sosial di desa. Pada pertengahan 1948, lurah Gondanglegi diserbu oleh pemuda-pemuda AOI dari Kutawinangun dan Kedungwot. Inilah konflik antara santri dan abangan, atau antara kanan dan kiri.3 Lurah mencari perlindungan pada Angkatan Perang. Selain itu berdiri Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) pada tahun itu. Usaha untuk memperkuat desa dan birokrasi lewat pembentukan Pager Desa (Pasukan Gerilya Desa) dengan instruksi dari MBKD (Markas Besar Komando Djawa) No. 11/MBKD/49 di Kebumen, tidak banyak mengubah kekuatan desa. AOI rupanya masih lebih berpengaruh.4 Dua power elite masih saling berhadapan.
Organisasi Sosial
ketika AOI diminta menyerahkan pasukannya kepada Angkatan Perang, terjadilah perbedaan pendapat yang tajam. Banyak hal yang harus dipikirkan oleh pemuka AOI. Tapi Batalion Lemah Lanang ditambah dengan Ki Surengpati dari Hisbullah diresmikan sebagai Bn9/Be IX/III; dan pelantikannya dilakukan pada 17 Mei 1950. Kesulitan-kesulitan itu terjadi karena secara struktural dan fungsional, organisasi sosial AOI bereda dengan pasukan lain. Di bawah ini adalah uraian mengenai organisasi sosialnya.
Hukum agama selalu menjadi pertimbangan pemuka AOI. Dalam rapat, Kiai Mahfud akan menulis ayat-ayat di papan, kemudian bermusyawarah tentang arti dan pelaksanaan ayat-ayat itu. Ketika pada November 1945 AOI berangkat untuk front Sidoarjo di Surabaya, sebelum pasukan dikirim, perbekalan dan bahan makanan dikirim lebih dahulu. Tindakan ini didasarkan pada sebuah ayat yang mendahulukan kata amwalikum (harta benda) daripada anfusikum (dirimu) dalam ayat tentang jihad.5
Dalam kepengurusan AOI, bagian ruhani mempunyai peranan besar. Pelajaran-pelajaran ruhani yang diberikan meliputi tauhid, fiqih, dan juga tarikh Nabi. Para prajurit di asramakan, mendapatkan latihan militer, bimbingan pelajaran ruhani, dan pada waktu senggang juga wirid atau shalat malam. Mereka tampak bersedia mensucikan diri sebelum mati syahid. Basis moral agama itu dapat dipandang sebagai formula politik bagi AOI yang meungkinkannya menarik pengikut.
Anggota AOI adalah petani dari desa-desa, berbeda dengan badan lain yang beranggotakan pegawai, buruh, atau pedagang. Pada tahun 1948, AOI ditugasi membantu keamanan di Kebumen untuk pembersihan sisa-sisa pemberontak Madiun; juga diserahi tugas NTR dari 123 desa di sebelah utara Kebumen dengan mengangkat enam kepenghuluan yang beranggotakan tiga puluh orang kiai.6 Ini menunjukan beberapa kemajuan dalam hubungan dengan outer group. Juga masuknya Bn. Lemah Lanang ke APRIS, dan integrasi Ki Surengpati Hisbullah ke dalamnya—gejala-gejala yang memberikan harapan kalau tidak tibatiba terputus karena peristiwa berikutnya.
Hubungan antara AOI pusat dan kiai-kiai desa di tingkat ranting sudah lama terjalin—sesuatu yang misalnya menyebabkan AOI tidak mengubah organisasi sosial yang di bawa dari desa sebagai basisnya. Solidaritas lama yang berdasarkan ikatan informal dan nonkontraktual tetap berjalan meskipun AOI mengembangkan suatu solidaritas organis lebih daripada solidaritas mekanis seperti yang terdapat pada zaman lampau. Hubungan seperti itu, seperti halnya sangat terasa di daerah pedesaan Jawa, bersifat langsung intim, personal, dan langgeng. Solidaritas sosial semacam itu lebih diintensifkan lagi dengan adanya asrama tempat anggota yang sudah homogen—dengan pengalaman, latar belakang kebudayaan, dan agama yang sama—dikumpulkan. Dengan cepat, suatu perilaku kolektif menjadi pola tingkah laku mereka. Yaitu suatu perasaan kolektif yang di dalamnya kohesi sosial terjadi sesama anggota, sementara perasaan bermusuhan muncul terhadap kelompok di luarnya. Prasangka mereka yang lama terhadap abangan, priyayi, atau orang asing, mulai mencari bentuk. Perselisisan sudah terjadi ketika pada Februari 1949, Mayor Sudarmo mulai mengonsolidasikan pasukan di Kebumen.7
L’ Enfant Terrible
Seharusnya AOI telah membubarkan diri ketika Bn. Lemah Lanang diresmikan menjadi bagian APRIS. Tetapi AOI tidak bubar. Pada 31 Juli 1950, seorang anggota AOI ditemukan mati tertembak setelah berkelahi dalam sebuah jeep dengan anggota-anggota CPM. Pada pagi harinya, 1 Agustus 1950, Somolangu ternyata sudah dikepung, setelah usaha pendekatan sebelumnya gagal dilakukan, sehingga perang menjadi tak terhindar.
Perubahan yang cepat dalam revolusi dan juga kekacauan perang telah membawa disorganisasi pribadi dan sosial. Anggota AOI mula-mula berniat menjadi anggota sukarelawan, melaksanakan jihad, kemudian akan kembali ke pondok setelah perang selesai. Tapi setelah itu mereka menghadapi problem-problem: 1. Menjadi tentara tetap atau tidak; 2. Jika masuk APRIS, senjata yang dulu dimiliki tidak lagi menjadi haknya; 3. Beberapa batalion APRIS dicurigai sebagai komunis; 4. AOI harus bubar atau terus; 5. Ada usaha mutasi personil dan tempat bagi Bn. Lemah Lanang dalam rangka agar mereka dapat dipecah-pecah; 6. Suatu disiplin rasional tidak tepat untuk mereka; 7. Demobilisasi akan membawa problem baru; 8. Mereka sendiri terlalu terisolasi, sehingga menyusahkan kerja sama dengan pasukan lain; 9. Persaingan yang terjadi antar pasukan telah berkembang menjadi konflik; dan 10. Mereka takut menghadapi hal-hal baru.
Rupanya di desa, AOI dapat dipandang sebagai reaksi santri terhadap birokrasi, sebagaimana gerakan Samin adalah reaksi abangan terhadap birokrasi. Kiai Mahfud dan kiai-kiai AOI tidak berhasil membina pola hubungan baru baik dengan cara intragroup maupun intergroup. Mereka tampak lebih sebagai broker yang gagal, yang tidak berhasil menerjemahkan institusi nasional ke dalam komunitas lokal, atau menerjemahkan unsur kosmopolitan Islam ke dalam lingkungan lokal penduduk pedesaan.
Barang kali karena anggotanya terdiri atas para petani dan tidak terdapat golongan menengah yang receptive di kalangan mereka, mereka kemudian cenderung kembali ke basisnya, yaitu suatu komunitas tertutup, semacam revivalisme dari pondok dengan santri sebagai pelaku utamanya. Tampak apa yang disebut cultural-lag dalam tubuh AOI, sehingga terdapat jarak antara kota-desa, nasional-lokal, modernisme-revivalisme, atau masyarakat terbuka-masyarakat tertutup. Intelegensia AOI yang mempunyai tugas lebih dari sekitarnya tidak menjalankan perannya secara maksimal. Pesantren atau pondok yang seperti desa pada umumnyacenderung mempunyai otonomi, tidak mersa perlu akan tambahan, timbal balik dari subordinasi. Pesantern tetap bertahan untuk suatu little-communty dengan corak yang
homogen, lamban, dan merasa cukup-diri.1
Keinginan Kiai Mahfud yang mengatakan sesudah perang kiai akan kembali mengajar dan santri akan kembali ke pondok, tidak semudah itu dapat dijalankan. Transformasi masyarakat tamapaknya tidak berlangsung secepat yang dicita-citakan. Ini menyebabkan otoritas kharismatis dimintai pertanggungjawaban dan dengan demikian dituntut untuk selalu menunjukan kekuatannya. Situasi ini menjadikan pemimpin AOI terseret untuk kembali kepada otoritas karismatis dan mempermanenkannya, dan itu berarti menghadapkannya pada birokrasi, yaitu RIS. Dikabarkan bahwa AOI bahkan akan mendirikan negara merdeka sendiri dengan batas-batas Sungai Lukula di barat, Sungai Gebang di timur, Wonosobo di utara, dan Laut Selatan di selatan; atau setidaknya mendirikan suatu daerah kepoetihan yang didiami oleh orang-orang Muslim yang saleh.
Perubahan dari geurilla forces ke regural army yang diusahakan oleh pemerintah mempunyai dampak tertentu bagi AOI. Otnomi dalam politik dan ekonomi yang sangat perlu dalam perang gerilya, telah dengan baik dilaksanakan oleh AOI. Selama ini AOI sama sekali otonom, tidak ada subordinasi dari birokrasi pemerintah atau angkatan perang. Mitos tentang kekuatan diri sangat dikenal begirtu AOI banyak melakukan keberanian dan kesuksesan dalam perang gerilya—sesuatu yang juga memunculkan apa yang disebut warlordism pada tahun 1950-an. Kelas berkuasa yang memang masih berada di tangan lama, minus Belanda, menggusarkan AOI. Selama ini AOI sudah merupakan suatu power group yang berpengaruh, tapi tak cukup berbuat banyak karena bukan ruling-class—suatu keadaan yang dianggap tidak adil.
Pada bulan September 1950, setelah peristiwa AOI meletus, rapat ulama diadakan di Candi, dipimpin oleh Kiai Haji Umar Nasir.2 Rupanaya peristiwa ini menunjukan gejala seperti yang terjadi pada birokrasi kolonial dengan adanya golongan agama sekuralis yang mendapat status formal dalam birokrasi dan ulama revivalis yang didukung oleh peduduk desa.3 Tampak sekali bahwa sebagai gerakan Islam, AOI mengikuti pola kebudayaan santri pedesaan abad ke-19—sesuatu yang aneh karena pada tahun 1950-an itu, gerakan Islam lain cenderung bersifat urban, reformis, dan dinamis.
KESIMPULAN
Lebih dari segalanya, kasus AOI adalah suatu problem sosial. AOI bukan semata-mata badan kelaskaran, tetapi suatu pergerakan sosial yang abortif karena gagal mencapai sasaran pergerakannya.1
Dalam menyelesaikan problem sosial, yang sebagian anggota masyarakatnya memisahkan diri, sebaiknya diadakan sosialisasi. Seandainya suatau penyelesaian damai terlaksana, niscaya jiwa dari 1.500 hingga 2.000 orang akan selamat dari kematian, dan keretakan sosial selanjutnya dapat dihindari, tapi, sejarah rupanya telah bergerak terlaku cepat sebelum timbul perkiraan mengenai apa yang bakal terjadi. Kini, tampak bahwa sudah saatnya ilmu-ilmu sosial mendapat perhatian untuk menyelesaikan problem-problem sosial seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar