Rabu, 08 Desember 2010

Muslim Kelas Menengah Indonesia: Sebuah Pencarian Identitas Tahun 1910-1950


Latar Belakang Sosial, Ekonomi dan Budaya
 Pada awal abad ke-20 Indonesia mengalami suatu perkembangan penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini, ketita daerah perkotaan menggeser peranan komunitas pedesaan sebagai tempat berlangsungnya perubahan. Jika tuntutan akan lahan dan tenaga kerja dari kaum penjajah telah mengubah tatanan masyarakat pada abad ke-19, maka pertumbuhan usaha perdagangan dan industri pada abad ke-20 telah merangsang pembangunan dibidang kehidupan sosial di pusat-pusat kegiatan tersebut (D. H. Burger, Sociologische-Economische Geschiedenis van Indonesia, disunting oleh J. S. Wigboldus, 2 jilis, Koninklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam, 1975; W. F. Wertheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, W. Van Hoeve, Den Haag, 1956. Dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 2008. Hal. 129).
 Di berbagai kota, terjadi kebangkitan golongan borjuis pribumi. Kelas baru ini terdiri atas kaum pengusaha dan cendekiawan yang menguasai cakrawala kehidupan kota. Kaum bangsawan dan pangreh praja yang disebut golongan priyayi, tersisih. Hanya di kota-kota yang masih kuat sifat kejawennya seperti di Surakarta dan Yogyakarta, kaum bangsawan tua masih menikmati kedudukan tinggi dalam pandangan masyarakat. Alhasil banyak ningrat yang bergabung dengan golongan menengah memprakarsai dan ikut berkecimpung dalam banyak usaha bersama yang tumbuh selama dasawarsa pertama dan kedua abad ke-20.
 Peranan perdagangan dan industri dalam menggerakan mobilitas sosial, terutama sangat menonjol di sektor pertekstilan dan batik di beberapa kota di Jawa, juga industri rokok di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun kegiatan usaha golongan menengah pribumi ini selalu terancam oleh barang impor dan persaingan modal dari Cina, namun mereka mampu menghadapi tantangan tersebut. Dalam suatu kerangka yang disebut ekonomi dualistik, kegiatan perdagangan dan industri pribumi itu timbul hingga membawa masalah tersendiri, yakni kebencian kaum pribumi terhadap para pemilik modal asing raksasa (Kuntowijoyo: 2008).
 Di samping perdagangan dan industri, peranan pendidikan, dalam mobilitas sosial juga tak dapat dikesampingkan. Sartono mengemukakan kebijakan pengangkatan pegawai negeri didasarkan pada pendidikan dan pendidikan ala Barat lebih didahulukan. Meskipun untuk jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan dituntut adanya “trah” bangsawan, pendidikan umumumnya telah menghasilkan mobilitas vertikal dari banyak orang tanpa memandang asal usul keturunan (Sartono Kartodirjo:1984). Lulusan sekolah menduduki jabatan di badan-badan pemerintahan, perusahaan swasta, dan selebihnya berwiraswasta. Sementara itu, pelayanan pendidikan untuk kaum pribumi makin luas, demikian juga usaha penerbitan dan media massa di kalangan penduduk asli.
 Dengan latar belakang sosial ekonomi di atas, selanjutnya kita menuju pada pembahasan tentang golongan menengah Muslim. Terlebih dahulu perlu kita bedakan antara golongan Muslim berorientasi pada kebudayaan Islam yang disebut kaum santri dengan golongan Muslim tradisi atau adat, dan dari golongan Muslim yang berorientasi pemikiran sekuler Barat. Golongan menengah santri memiliki sejarah yang panjang. Orang-orang percaya bahwa penganjur dan penyebar Islam pertama adalah kaum pedagang di kota-kota sepanjang pantai. Oleh karena itu, pusat-pusat kaum santri di bagian-bagian kota yang disebut kauman di kota-kota Jawa, juga merupakan pusat perdagangan dan industri. Pusat-pusat kaum santri ini memperoleh pujian dalam dokumen tahun 1909 karena memiliki semangat dagang bangsa pertengahan atau kelas menengah yang menggeluti bidang perniagaan. Tempat-tempat tersebut antara lain ialah Kotagede di Yogyakarta, Laweyan di Surakarta, dan Kauman di Kudus (Mitsuo Nakamura: 1983)
 Kasus banyaknya kauman menarik untuk dicermati. Kauman adalah suatu pemukiman yang diperuntukan bagi para pejabat keagamaan dalam pemerintahan pribumi. Penduduknya adalah para abdi dalem santri yang mengabdikan diri dalam pemerintahan dan karenanya termasuk golongan priyayi. Dari segi status sosialnya mereka termasuk golongan priyayi, tetapi dari segi kelas sosialnya mereka termasuk kelas menengah. Mereka tak canggung untuk berkecimpung dalam kegiatan komersial dan perdagangan seperti golongan priyayi lainnya. Ahmad Dahlan, pendiri gerakan Muhammadiyah adalah cohtoh seorang santri yang merangkap pedagang dari Kauman. Dia adalah seorang khatib di Masjid Agung Keraton Yogyakarta, juga terkenal sebagai pedagang batik yang berhasil memiliki jaringan perdagangan di banyak kota.
 Para santri mungkin merupakan kelompok yang paling dinamis dalam sejarah Indonesia. Pada abad ke-19, kebangkitan agama dalam bentuk pembenahan lembaga pendidikan pesantren dan gerakan tarekat Islam, dipimpin oleh para pemuka agama di pedesaan, yakni para kiayi. Pemerintah Kolonial selalu mencurigai kaum santri, sehingga melakukan beberapa usaha dan tindakan untuk membatasi pengaruh kaum santri terhadap kebangkitan agama. Kebangkitan agama sebagai gerakan juga telah mendorong gerakan menentang kekuasaan kolonial, bersamaan dengan berbagai gerakan protes di daerah pedesaan Jawa (Sartono Kartodirdjo: 1973). Berlainan dengan kebangkitan pada abad ke-19 yang bersifat pedesaan, kolot, dan konservatif, kebangkitan kaum santri pada abad ke-20 bersifat kekotaan, reformis dan dinamis. Harry J. Benda menyatakan bahwa kebangkitan kaum santri kota berjuang melawan empat seteru: formalisme kolot, kebudayaan adat dan priyayi, sikap kebarat-baratan, dan status quo penjajahan (Harry J. Benda: 1983).
Sarekat Islam (SI) Sebagai Gerakan Sosial dan Politik
 Pada awal abad ke-20, di tengah-tengah kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk pribumi, kaum santri berhasil menghimpun kembali kekuatan dalam masyarakat untuk melancarkan gerakan baru. Kelahiran Sarekat Islam (SI) merupakan peristiwa yang luar biasa dan tidak ada duanya karena mendahului gerakan kebangsaan, sementara dari segi Islam, ia mendahului gerakan keagamaan (Kuntowijoyo: 2008).
Pendirian Sarekat Dagang Islam di Betawi pada tahun 1909 telah diikuti kegiatan yang sama dibanyak kota lainnya. Sarekat Dagang Islam di Surakarta didirikan pada tahun 1911 dan yang kemudian menjadi gerakan kebangsaan, khususnya setelah berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1913. Sarekat Islam bagi masyarakat desa dan kota merupakan gerakan yang sudah lama ditunggu-tunggu untuk suatu perubahan. Bersama-sama dengan gerakan santri lainnya, SI menanggapi perubahan yang disebabkan oleh proses penguangan, pemiskinan, dan integrasi masyarakat pribumi ke dalam perekonomian dunia.
 SI kemudian menjadi organisasi massa. Hanya di beberapa tempat saja pengurusnya terdiri atas para pedagang, seperti yang ada di Jatinegara, yang ketujuh anggota pengurusnya adalah pedagang. Di tempat lain, SI biasanya mencakup semua kelompok dalam lapisan masyarakat setempat, termasuk para priyayi dan petani. Bahkan di Madura dan Surakarta, para serdadu pribumi adalah anggota SI (Kuntowijoyo: 2008). Daya tarik organisasi tersebut bagi masyarakat ialah rasa kebersamaan sosial yang ditekankan dalam SI. Orang dapat membayangkan bahwa urbanisasi merupakan ancaman atas rasa keterikatan massa rakyat. SI menanggapi tantangan tersebut dengan menyelenggarakan riungan di masjid, menekankan usaha gotong royong seperti dalam paguyuban atau perkumpulan kematian. Belum pernah sebelumnya dan tak akan pernah terjadi lagi, suatu organisasi sosial Indonesia mampu menggalang begitu banyak golongan dalam masyarakat. Dalam kerangka stratifikasi masyarakat kolonial maupun tradisional, SI merupakan sebuah organisasi wong cilik. Para pedagang dan golongan menengah di dalamnya sering bertindak sebagai pemrakarsa, pengurus atau penyedia dana. Sebagai suatu gerakan massa, SI bahkan dibiayai melalui uang iuran seluruh anggotanya yang mempunyai kartu anggota (Kuntowijoyo: 2008)
 Permusuhan antara SI dan masyarakat etnis Cina dilandasi perbedaan ideologi. Golongan menengah santri menyatukan dirinya dengan rakyat menentang apa yang disebut Tjokroaminoto sebagai kapitalisme durhaka meskipun ia tak pernah merinci gagasannya ke dalam penafsiran yang sistematik tentang bangunan masyarakat yang dikehendaki. Mudah untuk menyimpulkan bahwa di dalam tubuh SI hidup perasaan anti-Cina yang keras. Bangsa Cina adalah saingan utama para pengusaha pribumi dan merupakan sasaran prasangka rasial massa rakyat. Hak-hak istimewa yang diberikan kepada bangsa Cina oleh pemerintah kolonial cukup memberikan alasan untuk menyamakan Cina dengan kaum penjajah (Kuntowijoyo: 2008). Ideologi yang dirumuskan secara sistematik akhirnya disuntikan oleh golongan kiri SI atau apa yang disebut dengan SI Merah yang berasal dari cabang Semarang di bawah pimpinan Semaun. Hal ini bukan berarti bahwa radikalisme massa rakyat adalah hasil propaganda golongan kiri. Banyak pengurus cabang/ranting di kota-kota kecil melancarkan tindakan keras menentang pemerintah tanpa persetujuan pengurus pusat SI.
 Salah satu contoh yang paling terkenal ialah kasus SI “Afdeeling B” di Jawa Barat yang mempunyai pengaruh besar di daerah pedesaan. Diberitakan bahwa penduduk di kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Bandung menunggu-nunggu kedatangan Imam Mahdi atau Ratu Adil (Kuntowijoyo: 2008). Sartono dengan tepat menyatakan bahwa ideologi SI telah berubah menjadi ideologi yang bersifat mistik dan keagamaan, pada waktu SI merentangkan sayapnya ke daerah pedesaan (Sartono Kartodirdjo: 1973). Ratu Adil telah dijadikan pekik perjuangan penduduk desa yang tertindas di Jawa dan Madura pada abad k-19, dan kemunculannya kembali dalam kalangan SI pada abad ke-20 dapat dipandang sebagai kelanjutan dari tradisi radikalisme.
 Penyatuan diri kaum santri golongan menengah dengan massa wong cilik mulai memudar ketika SI menghadapi tekanan dari golongan sayap kiri radikal dalam tubuhnya yang membentuk Partai Komunis dari cabangnya di Semarang. SI dipaksa untuk melihat ke dalam dirinya setelah usahanya menggalang massa rakyat gagal dan prakarsanya diambil alih oleh kaum komunis. Untuk beberapa waktu, para pemimpin SI mengerahkan segala daya upaya untuk menahan kemunduran dengan memberikan dukungan kuat kepada kaum buruh. Namun, kaum komunis pastilah lebih terlatih dalam perkara yang berkaitan dengan kaum proletar di lingkungan industri tersebut. Sementara itu, kepemimpinan agama dalam tubuh SI juga mengalami kemerosotan karena adanya pertentangan mengenai doktrin kepemimpinan tertinggi SI, antara Tjokroaminoto dan para ulama. Setelah membersihkan SI dari kaum komunis pada tahun 1923, SI juga mengeluarkan Muhammadiyah pada 1927. Para ulama aliran tradisional keluar dari SI yang didominasi golongan modern untuk mendirikan organisasi sendiri yaitu Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Pada akhirnya, kepemimpinan agama kaum santri golongan menengah diambil alih oleh Muhammadiyah dan Nhdlatul Ulama. Dengan demikian, SI ditinggalkan kaum proletar dan kaum ulama (Kuntowijoyo: 2008).
 Namun sebelum mengalami kemunduran, SI telah meninggalkan tonggak sejarah yang pasti akan selalu dikenang, yaitu menjadikan kaum santri golongan menengah pada umumnya mempunyai suatu kesadaran yang tinggi. Sedangkan pada penduduk pada umumnya, SI menanamkan akarnya di masyarakat dengan pembentukan massa yang dijiwai ajaran Islam, yaitu umat. Jika penyatuan diri dengan massa rakyat agaknya membawa mereka pada sebuah jalan yang buntu, pengikatan diri pada umat memberikan pada mereka suatu arah yang jelas. Konsep umat barangkali lebih memberikan arti kepada kaum santri karena jelas termuat dalam Al-Qur’an. Gagasan tentang wong cilik atau massa rakyat dengan kesadaran golongan, kelas, atau kedudukan, bagi mereka pada waktu itu tidak jelas disebutkan dalam ajaran Islam. Akan tetapi, umat sebagai suatu konsep, mudah diberi tanggapan yang berbeda-beda dan terikat pada kebudayaan. Ironisnya ialah bahwa kebangkitan umat Islam telah membawa akibat pengucilan diri golongan Muslim dari percaturan politik setelah mereka gagal memimpin massa rakyat.
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama: Gerakan Pendidikan dan Sosial Islam
 Setelah SI mengalami kemunduran, para santri pengusaha bergabung ke Muhammadiyah, sedangkan para santri petaninya memilih NU. Disebabkan sifat kedesaannya yang menjadikan NU berkebudayaan petani, tradisional dan konservatif. Pada dasarnya, baik Muhammadiyah yang beraliran modern maupun NU yang beraliran tradisional memiliki suatu persamaan, yaitu fakta bahwa keduanya didirikan dan disebarkan melalui hubungan pribadi dan keluarga (Mitsuo Nakamura: 1983). Para pemimpin Muhammadiyah berpusat disekitar kampung Kauman di Yogyakarta, sedangkan pemuka NU di Pondok Pesantren Tebuireng di Jawa Timur. Bahkan sampai saat ini, situasi kepemimpinan kedua organisasi itu pada dasarnya tetap sama meskipun disiratkan bahwa para pemimpin NU tipe kharismatik-otoriter dari kebudayaan petani, sedangkan para pemuka Muhammadiyah adalah tipe rasional-demokrat dari kebudayaan borjuis. Perbedaan keduanya terletak pada kenyataan bahwa dalam organisasi Muhammadiyah, para pengusaha berhasil menduduki jabatan penting, sedangkan di NU, para kiyai memonopoli kedudukan penting sedangkan para pengusahanya hanya memainkan peranan penunjang.
 Munculnya Muhammadiyah mendapat sambutan baik dari golongan menengah perkotaan di Jawa dan Madura. Di Jawa bahkan tidak hanya golongan menengah dan terdidik, melainkan juga kaum bangsawan setempat menyambut dengan baik gerakan pembaharuan tersebut. Sultan HB VII di Yogyakarta bahkan menghibahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah sekolah Muhammadiyah. Di Sumatera, daerah pembaharuan agama dibarengi dengan munculnya kaum muda, gerakan Muhammadiyah juga mendapatkan sambutan yang baik.
 Muhammadiyah melambangkan sebuah masyarakat terbuka dalam proses kelahirannya. Kumpulan pangajian pada malam hari, kegiatan dakwah yang dilakukan dengan tabligh, sangat berbeda dengan suasana pertemuan masyarakat tertutup seperti dalam gerakan tarekat yang biasanya diliputi suasana ”angker”. Sesungguhnya, Muhammadiyah menentang pratik tarekat yang dianggapnya berlebih-lebihan dan penuh dengan syirik  (Dhofier: ) Sebagaimana kecenderungan sikap modern dalam Muhammadiyah yang membedakan organisasi ini dengan kalangan agama tradisional, Muhammadiyah juga membedakan dirinya dalam banyak hal dengan kalangan abangan yang cenderung berkebudayaan sinkretik.
 Meskipun demikian, Muhammadiyah tidak luput dari kritik atas kekurangannya. Tidak seperti kaum tradisional, Muhammadiyah telah mengikis ikatan tradisi antara kiai dan santri yakni suatu ikatan antara pengasuh dan anak asuh digantikan oleh ikatan antara pengurus dan anggota. Selain itu, Muhammadiyah juga menghilangkan lambang-lambang sebagai pernyataan dunia santri yang penuh pesona. Tak ada lagi upacara keagamaan dan tetabuhan serta nyanyian agama, seperti salawatan dan barzanji. Pilihan untuk menghapuskan kehidupan yang penuh dengan perlambang dan menggantikannya dengan kehidupan yang lebih rasional dan praktis tidaklah khas Muhammadiyah karena merupakan ciri gerakan Puritan di dunia Barat, suatu semangat kebangkitan keagamaan yang mendampingi kelahiran masyarakat industri (Kuntowijoyo: 2008).
 Tidak seperti Muhammadiyah yang merintis jalan bagi umat memasuki masyarakat industri modern yang berorientasi pasar, Nahdlatul Ulama lazimnya dikaitkan dengan masyarakat tani pedesaan. Akan tetapi, ini tidak seluruhnya benar. Sejarah pendirian banyak pesantren menunjukan bahwa banyak dari para kiai sesungguhnya adalah pedagang. Di antara kiai yang terkenal sebagai pendiri NU pada 1926, mungkin hanya K.H. Hasyim Asy’ari yang seorang tuan tanah, golongan petani menengah. Kiai lainnya seperti, K.H. Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang pengusaha yang bekerja sebagai syekh atau pengurus rombongan haji dan juga sebagai prokol. K.H. Bisri Syamsuri adalah seorang wiraswastawan, sedangkan kiai Ridwan seorang pedagang batik (Dhofier:). Dhofier dengan bukti-bukti yang ada padanya menyebutkan bahwa pesantren-pesantren di daerah Jawa Timur sebagai pemelihara ideologi konservatif Islam juga memaklumi dan mampu menanggapi kebudayaan kota (Dhofier: ) Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa banyak pesantren terkenal terletak di kota-kota pantai, tempat Islam diperkenalkan pada abad-abad sebelumnya.
 Meskipun demikian, kita dapat mengatakan bahwa dengan latar belakang keanggotaan yang banyak sekali terdiri atas penduduk dengan kebudayaan desa, pesantren tersebut menjadi “dikaum tanikan” ketimbang kaum tani yang “dikotakan. Latar belakang masyarakat tertutup dari kaum tani, melindungi pesantren dari dunia luar. Gangguan dari campur tangan birokrasi diperkecil oleh dinamika masyarakat tertutup yang memberikan kepada umatnya, kebudayaan tersendiri yang bebas. Misalnya, dalam stratifikasi sosial, kebudayaan santri pedesaan menciptakan hirarki sendiri yang menempatkan para kiai pada lapisan paling atas dalam lapisan masyarakatnya. Sering kali di desa kiai menjadi saingan berat lurah dalam kehidupan politik di tingkat masyarakat tersebut. Peristiwa pemberontakan kaum tani menunjukan bahwa pengaruh para kiai di desa sering lebih luas dan lebih kuat ketimbang kekuasaan para pamong desa. Apa pun latar belakang desanya, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya para kiai tersebut mengambil gaya hidup kosmopolit ala kaum elit.
 Kelembagaan yang penting di kalangan kaum tradisional ialah pesantern, juga biasa disebut pondok yaitu sebuah sekolah berasrama yang menjadi tempat tinggal kiai maupun santrinya. Dalam pondok tersebutlah para santri hidup dan belajar, suatu hal yang lebih merupakan gaya hidup. Sistem pendidikannya terdiri atas dua metode, yakni bandongan dan sorogan. Bandongan lebih menyerupai ceramah, dengan para santri diajari buku-buku agama secara berkelompok. Sedangkan sorogan, ialah belajar sendiri dengan para santri yang membawa kitab pilihannya sendiri untuk dibahas bersama sang kiai. Yang terpenting ialah iklim keagamaan dalam kehidupan sosial mereka di pondok, keterikatan secara emosional kepada kiai, sesama santri dan gaya hidup.
 Pada sekitar tahu 1910-an, sistem pengajaran tradisional di pesantren sebagian ditata kembali, digantikan oleh sistem sekolah berjenjang yang disebut madrasah dengan kurikulum yang ditetapkan. Sistem ini menghapuskan tradisi “santri kelana”, yakni kondisi dimana seorang santri harus berkelana dari pesantren satu ke pesantren lainnya untuk mencari kiai yang ahli dalam suatu ilmu agama tertentu untuk belajar kepadanya. Antara tahun 1916 dan 1934, madrasah sekali lagi mendapat penataan dengan memperkenalkan sistem belajar tujuh tahun, termasuk dua tahun persiapan untuk penguasaan bahasa Arab ditambah lima tahun untuk belajar ilmu agama dan pengetahuan umum, bahasa Indonesia, Matematika, dan ilmu bumi. Pembaharuan pengajaran terus berlanjut hingga dasawarsa 1950-an (Dhofier:)
 Pesantren juga menjadi tempat sosialisasi dan pendidikan politik bagi kaum santrinya. Tidak seperti Muhammadiyah yangt beraliran pembaharuan, NU menolak bantuan pemerintah dan lebih suka bebas dari campur tanganya, dan kenyataan bahwa pemerintah juga menuduh pesantren mengadakan kegiatan gelap yang bersifat pendidikan politik. Dari segi sikap politiknya yang tradisional, menarik untuk disimak bahwa meskipun pesantren bersifat nonkooperatif terhadap pemerintahan kolonial, pesantren tidak aktif dalam gerakan protes terhadap pemerintah. Pesantren memusatkan perhatiannya pada upaya pendidikan keislaman dan menghindari pertentangan. Sebutan pasif terhadap pesantren barang kali benar untuk beberapa daerah terutama Jawa Timur. Akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi daerah Jawa Barat yang mempunyai tradisi pesantren juga. Kita telah kemukakan di awal bahwa daerah Jawa Barat mempunyai kecenderungan kuat ke arah radikalisme. Sedikitnya sifat radikalisme di Jawa Timur barangkali disebabkan oleh keberhasilan politik pemerintahan kolonial dengan pembentukan golongan petani menengah di daerah tersebut. sesungguhnya, pemerintah kolonial mengharapkan bahwa gerakan keagamaan nonpolitik seperti Muhammadiyah dan NU dapat menjadi penghalang gelombang pasang gerakan kebangsaan yang radikal, (Kuntowijoyo: 2008). Suatu harapan yang sebagiannya terwujud. Sebab dalam suatu hal, kaum modern dan tradisional untuk sekali lagi dipersatukan oleh sentimen agama, pada tahun 1937 membentuk Majelis Islam A’ala Indonesia (MIAI), sebuah badan untuk semua gerakan keagamaan, termasuk yang beraliran politik. Menjelang akhir kekuasaan Belanda dan setelah proses sosialisasi politik berpuluh-puluh tahun , umat Islam Indonesia pun akhirnya siap untuk memasuki babak baru, melangkan dari umat menjadi warga negara.
Dari Umat ke Warga Negara
 Adalah pendudukan Jepang yang melambungkan umat pada kepemimpinan nasional. Jika selama masa penjajahan Belanda, golongan muslim berada pada kedudukan yang tertinggal, menjadi korban dari sikap dan tindakan yang berat sebelah, maka situasi tersebut dijungkirbalikan Jepang yang lebih memilih kaum santri dari pada kaum priyayi. Kebijakan ini diambil karena Jepang mengharapkan peranan para pemimpin Muslim dalam menggalang kekuatan massa rakyat untuk kepentingan perang mereka.
Pada tahun 1942 didirikanlah oleh Jepang Kantor Urusan Agama, awalnya dikepalai oleh seorang pejabat Jepang yang Muslim, akan tetapi kemudian diserahkan kepada orang Indonesia. Pada tahun 1944, kantor tersebut dikepalai oleh K.H. Wahid Hasjim dari NU. Ini adalah suatu hal yang luar biasa karena peristiwa semacam ini tak pernah terbayangkan pada masa penjajahan Belanda. Di antara kegiatannya, kantor ini menyelenggarakan latihan untuk para penghulu dan kiai. Nilai latihan tersebut bagi umat lebih penting dari pada yang diharapkan oleh Jepang sendiri. Para pejabat keagamaan tradisional, yakni para penghulu dan para pemimpin umat diperkenalkan pada masalah-masalah politik modern.
 Jepang juga membantu pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk menggantikan MIAI. Pada tahun 1944, Jepang juga mendirikan Hisbullah yang bersifat semi militer bagi pemuda Muslim. Tampaknya Jepang bukan secara kebetulan memilih kaum muslim untuk menduduki jabatan dan kedudukan penting di Kantor Urusan Agama dan Hisbullah, tetapi dengan suatu rencana yang pasti. Pihak Jepang lebig mempercayai para pemimpin dari golongan Muslim dari pada pemimpin dari golongan priyayi untuk menggalang masa.
 Pada masa setelah kemerdekaan, usaha menanamkan kesadaran berwarga negara yang telah dimulai Jepang diteruskan agar para pemuda Muslim yang menduduki jabatan di lingkungan militer dan pemerintahan sipil dapat mempertahankan kedudukannya. Akan tetapi, peralihan dari umat kepada warga negara tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak faktor yang ikut mendorong timbulnya pertentangan antara kaum santri dan para pemimpin nasional. Penyakit lama masa lalu, yakni sikap saling mencurigai antara santri dan priyayi, antara santri dengan kaum abangan, terefleksikan dalam pertentangan politik modern.
 Pertentangan yang paling parah terjadi di daerah Jawa Barat yang dalam sikap radikalismenya para petani kaum santri dengan tradisi yang lama menyambut dengan positif berdirinya gerakan Darul Islam pada tahun 1948. Gerakan ini bertujuan untuk menumpas kaum komunis di Indonesia dan mendirikan negara Islam. Oleh sebab yang sama, segolongan masyarakat di daerah selatan Jawa Tengah yakni Angkatan Oemat Islam juga mendukung gerakan Darul Islam pada tahun 1951 (C. van Dijk: 1981). Akan tetapi mayoritas Muslim Indonesia tetap bernaung di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia, betapapun dan berapa pun yang harus dibayar dalam kehidupan politik di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar